logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Menerima Cinta dokter Andi

Rahasia dokter Andi
Part 8
***
"Maaf, Mbak Lulu. Tadi saya terpaksa bilang ke teman-teman saya, kalau Mbak Lulu itu calon istri saya. Soalnya kalau nggak seperti itu, mereka akan terus saja mengejek saya. Yang saya nggak laku-lah, penakut-lah, terlalu pilih-pilihlah, dan sebagainya, yang bikin kuping saya panas mendengarnya," kata dokter Andi, saat kami sedang dalam perjalanan pulang.
"Iya, Dok. Nggak apa-apa. Saya juga maklum kok."
"Terima kasih ya, Mbak. Mbak Lulu mau mengerti. Terima kasih atas pengertiannya."
"Sama-sama, Dok. Dokter nggak perlu sampai berterima kasih segala. Saya nggak melakukan hal apa pun," kataku dengan perasaan tak enak hati.
Hening ….
"Atau … gimana kalau kita jadikan kenyataan saja, apa yang tadi saya bilang ke teman-teman saya. Gimana, Mbak Lulu setuju nggak?" tanya dokter Andi, setelah beberapa waktu, membuat aku mengernyitkan dahi.
Apa aku tak salah dengar, dengan apa yang diucapkan dokter Andi barusan, batinku.
"Maaf, Dok. Maksudnya gimana ya? Saya kurang paham," tanyaku memastikan. Barangkali saja aku yang ke-ge-er-an. Sudah menafsirkan ucapan dokter Andi terlalu berlebihan. Padahal dokter Andi tak bermaksud seperti apa yang ada dalam pikiranku. Kan bakalan bikin malu jadinya kalau kejadiannya seperti itu.
"Ya … seperti yang tadi sudah saya bilang ke teman-teman saya, kalau Mbak Lulu itu adalah calon istri saya. Apa Mbak Lulu mau, jadi calon istri saya yang sebenarnya?" tanya dokter Andi, tanpa menoleh ke arahku.
Aku tertegun sejenak. Ternyata benar apa yang kudengar tadi, telinga ini belum tuli dan aku tak sedang merasa ke-ge-er-an. Dokter Andi memang mengatakan hal tersebut. Membuat diri ini serasa terbang melayang.
"Kok diam, Mbak? Atau mungkin Mbak Lulu sudah punya calon sendiri?" tanya dokter Andi, pandangannya tetap mengarah lurus ke depan.
Aku menggeleng. "Saya belum berpikir ke arah sana, Dok," jawabku.
"Kalau gitu, boleh dong saya mengajukan diri untuk jadi calon pendamping Mbak Lulu? Apa Mbak Lulu mau jadi calon istri saya?" tanya dokter Andi. Kali ini ucapannya terdengar tegas seolah minta kepastian.
Untuk beberapa waktu aku bergeming. Tak tahu harus menjawab apa. Karena selama ini, aku dan dokter Andi tak pernah sekali pun bicara masalah pribadi. Kami berbincang hanya sebatas yang berkaitan dengan pekerjaan, antara seorang pimpinan dan staf. Terus terang, aku merasa kaget, walaupun ada terselip rasa senang dalam hati. Kenapa tiba-tiba saja dokter Andi memintaku untuk jadi calon istrinya?
"Pertanyaan saya tadi ggak perlu dijawab sekarang, Mbak Lulu. Nggak apa-apa, mungkin Mbak Lulu perlu waktu untuk berpikir dulu, karena memang ini sangat mendadak," kata dokter Andi, setelah beberapa waktu aku hanya diam. Barangkali dia tahu apa yang aku pikirkan.
Aku mengangguk. "Iya, Dok. Maafkan saya. Saya perlu waktu untuk berpikir dulu dan menjawabnya. Karena jujur saja, saya nggak menyangka sama sekali, dengan apa yang Dokter katakan tadi."
Dokter Andi manggut-manggut. Setelah itu, kami tak saling bicara lagi, sampai mobil yang kami kendarai masuk ke halaman rumahku.
"Mbak Lulu, terima kasih ya, sudah bersedia menemani saya," kata dokter Andi, setelah mematikan mesin mobilnya.
"Iya, Dok. Sama-sama. Saya juga senang kok bisa menemani Dokter ke pesta pernikahan tadi."
"Kalau gitu, saya langsung pulang aja ya. Tolong sampaikan salam saya untuk Ibu-nya Mbak Lulu," lanjut dokter Andi.
"Dokter nggak singgah dulu?"
"Nggak, Mbak. Terima kasih. Lain kali saja saya mampir. Ohh … iya, besok pagi saya jemput ya, biar kita bisa berangkat bareng ke puskes. Jadi Mbak Lulu nggak perlu berangkat terlalu pagi dari rumah untuk nunggu bus."
Aku mengangguk. "Iya, Dok.Terima kasih banyak sebelumnya," kataku, sambil turun dari mobil dokter Andi. Aku segera masuk ke rumah, setelah bayangan mobil dokter Andi tak terlihat lagi.
***
Malam harinya, aku tak bisa tidur. Entah kenapa, bayangan perempuan dengan wajah menyeramkan itu tiba-tiba muncul di dalam pikiran. Seakan melekat di pelupuk mata. Sulit sekali dihilangkan. Padahal sudah beberapa kali aku mencoba untuk tak lagi mengingatnya. Tapi semakin aku berusaha untuk melupakan, wajah perempuan misterius itu semakin tak bisa pergi dari pikiran.
Aku menghela napas dalam. Aneh! Siapa sebetulnya perempuan itu? Kenapa wajahnya begitu menyeramkan? Apa yang sudah terjadi dengan dia sebenarnya? Kenapa dia seakan mengikuti ke mana saja aku pergi? Apa aku pernah mengenal perempuan itu sebelumnya? Bermacam pertanyaan melintas di kepala.
Aku menoleh ke arah jam weker yang ada di atas meja. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah 12 malam. Aku menarik napas dalam, mencoba sekali lagi mengingat kembali wajah perempuan misterius itu. Barangkali saja aku lupa, kalau memang pernah mengenalnya sebelum ini. Beberapa menit berlalu. Tapi aku tetap saja tak berhasil mengingat siapa perempuan pemilik wajah menyeramkan itu. Sampai akhirnya aku pun tertidur, karena memang sudah sangat mengantuk, dan mataku sudah tak kuat lagi untuk dibuka.
***
Keesokan harinya, dokter Andi benar datang menjemputku. Pukul 6 pagi mobilnya sudah terparkir di halaman rumah. Entah pukul berapa tadi dia pergi dari rumahnya. Tampak dia kemudian berbincang dengan ayah yang kebetulan sedang berada di teras depan, sembari menunggu aku selesai berdandan.
Setelah selesai, aku segera ke depan. Aku dan dokter Andi kemudian berpamitan pada ayah dan ibu untuk berangkat ke puskesmas.
"Apa tadi malam sudah Mbak Lulu pikirkan, soal permintaan saya yang kemarin?" tanya dokter Andi, ketika sudah sekitar 15 menit mobil yang kami kendarai melaju di jalan raya.
Aku mengangguk. "Sudah, Dok. Saya sudah memikirkannya."
"Jadi, apa jawabannya, Mbak?" tanya dokter Andi. Kentara sekali kalau dia sudah tak sabar ingin mendengar jawaban dariku, meskipun pandangan matanya masih tetap lurus mengarah ke depan setir mobil.
Aku masih diam untuk beberapa saat.
"Kok malah diam? Apa Mbak Lulu bersedia jadi calon istri saya?" tanya dokter Andi, entah untuk yang keberapa kalinya.
Aku menghela napas panjang. "Insya Allah, saya bersedia, Dok," jawabku.
Tiba-tiba dokter Andi mengerem mobilnya secara mendadak, membuatku kaget bukan main. Dia lalu menatapku. Wajahnya tampak sumringah.
"Alhamdulillah … terima kasih, Mbak. Kamu sudah bersedia jadi calon istri saya," kata dokter Andi dengan mata berbinar.
Aku tak tahu, kenapa dia terlihat sampai sebahagia ini mendengar jawabanku. Padahal kan, dia bisa saja dengan mudah mencari calon istri yang dia inginkan. Dengan profesi dan kehidupan yang sudah mapan, perempuan mana yang akan menolak jika akan dijadikan istri oleh dokter Andi. Tak perlu bersusah payah untuk bekerja, semua materi sudah tercukupi. Tapi entahlah. Mungkin ada alasan lain yang tak aku ketahui.
***
Bersambung

Komento sa Aklat (344)

  • avatar
    Pipit Hanyanto

    semangat bikin karya baru lagi...semua karya nya sdh aku baca semua...jempol buat kakak....sukaaaa

    06/01/2022

      1
  • avatar
    LaundryHappy

    alur ceritanya bikin penasaran dan nggak bisa di tebak🤩 suka banget bacanya,,, membuat pingin lanjut baca terus sampai tamat🤗👍👍

    03/01/2022

      0
  • avatar
    Ria Friana

    aku suka crita yg berbau horor, misteri. penuh teka teki, jd waktu baca berasa jedag jedug.. pokok nya keren lah sensasi nya kalau baca cerita model beginian, semangat terus yaa untuk penulisnya. good luck 🤗

    31/12/2021

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata