logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Rencana Pernikahan

Rahasia dokter Andi
Part 10
***
Sampai di perumahan, aku melihat dokter Andi sedang duduk di ruang tengah sembari menonton acara TV.
"Abang panggil saya? Ada apa?" tanyaku.
"Nggak ada apa-apa, Lu. Abang cuma ingin ngobrol aja sama kamu, sambil nunggu waktu pulang," jawabnya.
Aku kemudian duduk di sebelah dokter Andi. Terus terang aku masih merasa canggung berada dalam satu ruangan hanya berdua saja dengannya. Karena selama ini, kami memang tak pernah saling bicara, selain membicarakan masalah pekerjaan.
Kata teman-teman di puskesmas, dokter Andi itu orangnya sangat pendiam. Tak pernah banyak bicara. Kalaupun bicara, hanya seperlunya saja. Itu pun cuma seputar masalah pekerjaan, tak pernah membicarakan hal yang lain. Oleh sebab itu, aku merasa agak sungkan jika harus berdekatan dengan dokter Andi.
Untuk beberapa saat lamanya kami hanya saling diam. Pandangan kami tertuju ke arah layar TV yang ada di depan, tapi pikiran kami entah melayang ke mana.
"Abang mau saya buatin air teh hangat?" tanyaku memecah keheningan, setelah beberapa menit kami hanya saling diam.
"Boleh," jawab dokter Andi singkat, dengan pandangan masih ke depan layar TV.
Aku lantas beranjak dari duduk dan menuju ke dapur untuk membuat air teh hangat. Setelah selesai, aku kembali lagi ke ruang tengah dengan membawa nampan berisi dua cangkir berisi air teh hangat dan satu toples berisi kue kering. Aku kemudian menaruh nampan tersebut di atas meja.
"Silakan diminum air teh-nya, Bang. Kue-nya juga silakan dicicipi," kataku sembari duduk.
Lima belas menit berlalu. Kami masih saling diam. Aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana lagi. Karena diri ini benar-benar merasa canggung.
"Ehm … katanya tadi Abang mau ngobrol," kataku akhirnya, setelah hampir 20 menit kami masih saling diam. Tak betah rasanya duduk berdua tapi tak saling bicara. Malah membuat aku bingung sendiri.
Dokter Andi melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
"Sudah waktunya pulang. Kita ke puskes aja dulu ya, kasihan teman-teman kalau menunggu lama. Kita ngobrolnya nanti aja, setelah salat zuhur," kata dokter Andi seraya beranjak dari tempat duduknya.
Aku hanya mengangguk. Lalu mengikuti dokter Andi kembali ke puskesmas. Sampai di sana, benar saja, teman-teman sudah menunggu. Mereka terlihat sedang duduk di bangku tunggu pasien yang ada di depan setiap ruangan sambil mengobrol.
Ketika aku dan dokter Andi datang, mereka tampak senyum-senyum menggoda. Aku tahu, mereka pasti sedang membicarakan kami yang tak seperti biasanya.
"Ini sudah waktunya pulang. Bapak dan Ibu sekalian boleh pulang sekarang," kata dokter Andi, begitu sampai di dekat para staf puskesmas itu.
Maka, semua staf kemudian satu per satu beranjak dari duduk dan menuju ke pintu depan puskesmas, dimana kendaraan mereka terparkir di sana.
"Lu, Abang mau salat dulu ya. Nanti habis salat, Abang ke rumah, kita ngobrol," kata dokter Andi, setelah semua staf puskesmas pulang. Hanya tinggal Aris saja yang masih ada. Dia sedang membereskan setiap ruangan.
"Iya, Bang," kataku.
Aku lalu pulang ke perumahan. Saat melewati jendela kamar depan, tiba-tiba aku merinding. Bulu kuduk di leher dan kedua tanganku meremang. Sejenak aku menghentikan langkah, lalu mengusap leher dan kedua tangan.
Kenapa tiba-tiba aku jadi merinding gini ya, aku membatin.
Aku lantas mengamati jendela kamar tidurku, yang memang tak pernah dibuka selama aku bertempat tinggal di perumahan ini. Tapi tak terlihat ada hal yang mencurigakan di jendela kamar tersebut.
Akh … mungkin hanya perasaanku saja, kataku dalam hati. Aku kemudian masuk ke rumah. Segera berganti pakaian, mengambil air wudu lalu mengerjakan salat zuhur.
***
Sepuluh menit setelah aku selesai salat zuhur, dokter Andi datang. Kami kemudian mengobrol di ruang tengah, sambil menonton acara TV.
Kami saling memperkenalkan diri masing-masing. Dari cerita dokter Andi, aku tahu kalau dia adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Dan dia anak laki-laki satu-satunya. Dua orang kakak dokter Andi semuanya sudah menikah dan ikut suami mereka masing-masing.
"Jadi sekarang Abang tinggal di rumah cuma bertiga saja?" tanyaku, setelah dokter Andi selesai bercerita.
"Iya. Sejak Kak Wulan menikah 6 bulan yang lalu, dan dia ikut suaminya. Abang nggak tega meninggalkan Ayah sama Ibu di rumah hanya berdua. Oleh karena itu, Abang nggak lagi tinggal di perumahan ini. Abang khawatir dengan keadaan mereka kalau nggak ada yang menunggu," jawab dokter Andi.
Aku manggut-manggut mendengar cerita dokter Andi. Ohh … ternyata seperti itu kejadiannya. Karena selama ini aku masih bertanya-tanya dalam hati, kenapa dokter Andi pindah dari perumahan, tapi semua barang masih dia tinggalkan.
"Kamu sendiri gimana, Lu? Betah tinggal di sini?"
"Lumayan betah sih, Bang. Saya nggak perlu lagi berangkat pagi banget dari rumah biar nggak telat sampai di puskesmas. Cuma kalau malam kadang merasa kesepian aja, soalnya nggak ada teman ngobrol."
"Kalau gitu mendingan kita cepetan nikah aja, Lu. Biar kamu nggak kesepian lagi," usul dokter Andi.
Aku tersenyum mendengarnya.
"Nanti orang tua Abang gimana, kalau kita nikah sekarang? Kasihan kan, mereka harus tinggal berdua lagi. Lagipula kita belum saling mengenal lebih banyak satu sama lain. Kita ketemu kan baru sebulan ini, Bang."
"Kalau kita udah nikah, kamu bisa tinggal di rumah Abang, Lu. Jadi Ayah sama Ibu nggak akan kesepian. Kita bisa minta pindah dari sini ke puskesmas yang lebih dekat dengan rumah. Kan nggak ada keharusan kita kenal lama dulu baru nikah, Lu. Kalau memang kita sudah merasa saling cocok satu sama lain, nggak ada salahnya kita langsung nikah."
Kenapa dokter Andi begitu ingin menikah denganku ya. Padahal kami belum ada sebulan bertemu. Ayah sama Ibu pasti juga akan kaget, kalau aku bilang akan segera menikah dengan dokter Andi. Apa karena dia tak ingin lagi digoda oleh teman-temannya. Akh … entahlah. Aku membatin.
"Gimana, Lu. Kamu mau kan nikah sama Abang?"
Aku menghela napas panjang.
"Saya memang mau nikah sama Abang. Tapi bukan sekarang. Terlalu cepat menurut saya. Abang belum tahu betul siapa saya, begitu juga sebaliknya. Saya belum kenal betul dengan Abang. Gimana kalau kita tunda aja dulu rencana pernikahan itu, Bang. Biar masing-masing kita bisa lebih saling mengenal dulu."
"Baiklah kalau memang itu mau kamu. Abang nggak akan memaksa lagi."
Setelah itu, kami mengobrol tentang banyak hal, tak lagi menyinggung tentang rencana pernikahan. Menjelang waktu asar dokter Andi pamit pulang. Aku mengantarnya sampai bayangan mobil yang dia kendarai hilang dari pandangan.
***
Apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Bidan Lulu? Siapakah sosok perempuan dengan wajah menakutkan itu? Apakah ada hubungannya dengan dokter Andi? Ikuti terus kisah selanjutnya.
***
Bersambung

Komento sa Aklat (344)

  • avatar
    Pipit Hanyanto

    semangat bikin karya baru lagi...semua karya nya sdh aku baca semua...jempol buat kakak....sukaaaa

    06/01/2022

      1
  • avatar
    LaundryHappy

    alur ceritanya bikin penasaran dan nggak bisa di tebak🤩 suka banget bacanya,,, membuat pingin lanjut baca terus sampai tamat🤗👍👍

    03/01/2022

      0
  • avatar
    Ria Friana

    aku suka crita yg berbau horor, misteri. penuh teka teki, jd waktu baca berasa jedag jedug.. pokok nya keren lah sensasi nya kalau baca cerita model beginian, semangat terus yaa untuk penulisnya. good luck 🤗

    31/12/2021

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata