logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Retak Hati Kedua Kali

Mulanya, Shanum merasa pelik saat menelan takdir yang tidak dia inginkan. Ikhlas menerima adalah jalan satu-satunya. Namun, dia tidak bisa berlari menjauh dari sosoknya. Setiap kali bertemu di kampus, dia berusaha untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, belum lagi saat bertemu di cafe. Shanum mulai menjaga jarak dengan Haz. Dia tidak mau lagi menjemput dosennya kalau mata kuliah berlangsung. Untuk saat ini, Gio yang mengingatkan, memastikan, atau menjemput Haz di ruang dosen.
Tanpa terasa, sudah sekitar enam bulan Shanum bekerja di cafe milik Haz. Sebelumnya, Gio menyarankan untuk menanggalkan tempat tersebut. Sahabatnya itu juga bahkan sudah mencari tempat kerja baru untuk Shanum. Namun, Shanum menolaknya dan memilih bertahan di tempat Haz dengan alasan gajinya lebih besar dan lebih dekat dengan indekos juga kampusnya.
****
"Shan! hangout, yuk." Gio datang menghampiri Shanum yang duduk santai di kelas.
"Kapan?" tanya Shanum.
"Kita ikut, donk," sambung Ara dan Rezky.
"Ishhh! Kalian ganggu kita aja," tutur Gio dengan nada berkelakar.
"Astagaaaa, tau deh, tau. Pasangan baru gak mau diganggu." Rezky mengolok Shanum dan Gio.
"Hahaha, boleh. Ikut kan, Shan? Hari ini, 'kan kuliah selesai lebih cepat. Yuk. " seru Gio.
"Ok," jawabnya singkat sambil membaca novel filsafat—Dunia Shopie—karya Jostein Gardeer.
Hari itu, kelas mereka selesai lebih awal dikarenakan dosen terakhir tidak masuk. Mereka langsung hangout menuju gramedia expo di Galeria Mall. Lokasinya yang dekat kampus menjadi pilihan. Meskipun tempatnya tidak terlalu besar, tapi outlet yang tersedia di dalam mall cukup lengkap. Terlebih bagi kaum mahasiswa, harga makanan dan barang-barang di sana masih cocok di kantong mereka.
Gio memarkirkan mobilnya di basement dalam mall, lalu masuk dan mengelilingi mall lawas tersebut. Mall dengan pengunjungnya yang tidak terlalu padat ini menyediakan fasilitas seperti coffeeshop, restoran, supermarket, salon dan department store. Shanum dan Ara nampak asik melayangkan pandang pada baju yang berjejer di setiap outlet. Gio dan Rezky hanya membuntuti mereka dari belakang.
"Perempuan, gini, nih kalau nge-mall. Semua diputerin, semua diliatin," cetus Rezky.
"Maklum, emak-emak. Kita kaum adam cukup ngikutin aja di belakang," sambung Gio dengan gaya sok asiknya.
"By the way, perut gua kruyukan mulu daritadi. Makan, yuk," ajak Rezky kepada tiga kawannya.
Mereka langsung menuju foodcourt di lantai tiga. Saat menaiki lantai dua, Haz berada di eskalator samping mereka. Keberadaannya tidak disadari oleh Shanum, Gio, maupun Rezky. Namun, tidak dengan Ara. Dia melihat Haz berjalan sendirian sambil memegang gawainya. Sontak Ara berteriak memanggil Haz.
"Pak Haz!" seru Ara memanggil Haz sambil melambaikan tangan. Rezky, Gio, dan Shanum secara bersamaan menengok ke arah Haz.
"Hay .... " Haz pun terkesiap.
[Pak Haz?] decak Gio dalam hati.
"Shan, Pak Haz." Gio berbisik, menarik lengan baju Shanum.
"Iya, gimana dong?" Shanum terlihat panik.
Gio dan kawan-kawannya berdiri di balkon lantai dua sambil menunggu Haz yang berjalan ke arah mereka. Awalnya, Haz mau melanjutkan ke tempat yang dia tuju, tapi setelah melihat Shanum, dia berbalik ke lantai atas mengikuti mereka dari belakang.
"Kalian di sini?" tanya Haz.
"Iya, Pak. Bapak kok sendirian?" sahut Ara.
"Oh, iya. Ini mau ketemu temen." Haz melirik ke arah Shanum yang terlihat acuh dan tidak menghiraukan keberadaan Haz.
"Kalian mau ke mana?" lanjut Haz. Pria 26 tahun tersebut mengenakan kemeja abu-abu muda dengan gaya rambut yang sama saat dia bekerja.
"Kita mau makan di foodcourt, Bapak ikut?" lontar Rezky.
"Ah, gak. Kalian aja. Temen saya menunggu di bawah." Haz tersenyum dan menolak permintaan mereka. Beberapa saat kemudian mereka berpamitan. Haz yang memperhatikan Shanum begitu dingin tanpa mengeluarkan sepatah kata pun akhirnya memanggilnya. Haz berjalan cepat dan menarik tangan Shanum.
"Wait, Shan!" Haz menghela napas.
Ara dan Rezky yang melihat pemandangan langka tersebut terbelalak. Sementara itu, Gio langsung menarik mereka berdua untuk lebih dulu ke lantai tiga. Mereka meninggalkan Shanum bersama Haz di lantai dua.
"Maaf .... " Haz melepaskan genggamannya.
"Ada apa ya, Pak?" ujar Shanum dengan santai.
"Eumm .... " Tiba-tiba Haz merasa canggung dengan Shanum. "Kamu kenapa selalu menghindari saya? Kamu masih marah dengan kejadian waktu itu?" desaknya.
"Hahaha, Bapak ini. Ada-ada aja. Siapa yang menghindar?" Shanum menahan diri untuk tidak terbawa suasana hatinya.
"Enggak, saya tau kamu, Shan," tandasnya.
"Bapak tau apa tentang saya?" Suasana kini menjadi dingin. Mereka saling bertatapan. Mulut mereka membisu, tapi nanar seperti mengisyaratkan sesuatu.
Dari lantai bawah, Reina berdiri menghentikan langkahnya. Memperhatikan dengan siapa Haz berdiri. Dia mulai mengingat Shanum yang dia temui saat di cafe. Benaknya bertanya-tanya, dia mulai mencurigai Haz dan segera berjalan menuju eskalator.
Gio yang berada di foodcourt lantai tiga ijin berpamitan kepada teman-temannya untuk pulang lebih dulu. Dia merasakan sesuatu yang tidak enak karena Shanum belum juga menyusulnya ke atas. Saat Gio turun dari eskalator, dia melihat Shanum masih berdiri di lantai dua bersama Haz.
"Bapak gak perlu khawatir, saya baik-baik aja sampai sekarang, saya juga sudah memaafkan calon istri Bapak, bahkan sejak kejadian hari itu," urai Shanum dengan senyum kaku.
"Tapi, semenjak kejadian itu. Saya merasa kalau kamu mulai menghindari saya. Kalau memang tidak ada apa-apa seharusnya kamu tidak seperti ini. Gaya bicara kamu kepada saya juga mulai berbeda. Bahkan saat kita bertemu di cafe, kamu gak pernah menegur sama sekali." Haz mengungkapkan semua rasa penasarannya selama ini kepada Shanum.
"Siapa Bapak berhak mengatur hidup saya? Maaf, kerabat pun bukan. Saya hanya karyawan dan mahasiswa Pak Haz. Sudah sewajarnya sikap saya seperti itu bukan?" tegas Shanum. "Maaf, Pak. Teman-teman saya sudah menunggu di atas." Shanum pergi begitu saja meninggalkan Haz.
"Shanum!" Haz kembali menarik lengan Shanum.
Reina yang mulai dekat di belakang Haz segera mempercepat langkahnya. Hatinya mulai tersulut emosi melihat mereka berdua.
"Lepas!" murka Reina.
Plakkk!!!
Tamparan keras menghantam wajah Shanum. Pipinya memerah, Shanum hanya mematung memegang pipinya. Betapa terkejutnya Haz melihat sikap emosional calon istrinya. Semua orang yang lalu lalang mulai mengalihkan pandangannya kepada mereka bertiga. Gio yang melihat kejadian tersebut segera berlari menghampiri Shanum.
Plakkkk!!!
Tangan Gio menampar keras wanita yang mengenakan high heels merah dan tas Hermes tersebut. "Sakit?" bentak Gio.
Reina semakin murka dan emosinya semakin meledak. "Siapa kamu? Berani-beraninya ... " Saat Reina ingin melayangkan tangannya ke arah Gio. Haz menghentikan dengan cepat.
"Cukup!" bentak Haz kepada Reina.
"Kalau kamu ketauan melakukan ini lagi kepada Shanum. Saya tidak akan tinggal diam!" Teriak Gio sambil menunjuk ke arah Reina.
"Saya pastikan juga, Shanum tidak akan bekerja lagi di cafe Bapak," celetuk Gio kepada Haz.
Shanum masih memalingkan wajahnya dari Haz dan Reina. Gio pun dengan tergesa-gesa mengajak Shanum turun dan angkat kaki dari mall tersebut. Haz tampak menyimpan sesal yang teramat dalam. Dia bimbang dengan keadaan hari itu sekaligus marah dengan perlakuan Reina kepada Shanum.
****
Hari itu, adalah hari dimana Shanum merasa dirinya begitu sial. Hatinya semakin hancur, tapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dia yang sudah mulai move on dari Haz dan menata hatinya. Kini harus kembali retak dan hancur berkeping-keping akibat ulah Reina. Rasanya, dia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Dadanya begitu sesak menahan tangis dan amarah.
"Kamu baik-baik aja, Shan?" Gio menyodorkan tisu. Mobilnya melaju pelan. Dia merasa sakit hati melihat sahabatnya diperlakukan dengan tidak baik. Ingin rasanya dia memeluk dengan erat dan menenangkan Shanum. Namun, sungguh tidak mungkin dilakukan.
"Kalau dengan menangis, hati kamu bisa lega, nangis aja, Shan. Jangan ditahan." Gio melirik ke arah Shanum.
Sesaat mereka termangu. Air mata mulai menetes di pipi Shanum. Dia menangis tanpa suara. Bibirnya kelu. Bola matanya mulai merah. Gio yang melihat sahabatnya menangis kemudian menepi di pinggir jalan dan mematikan roda empatnya. Mereka membisu, hanya suara bising kendaraan yang memecah sunyi senja itu.
"Shan .... Shanum?" Gio menyapa Shanum yang bersandar di kaca mobil. Karena Shanum tidak merespon, Gio bersenandung mengalihkan suasana dan menghiburnya
"Ehm, ehem, cek, cek .... " Gayanya Bak Vokalis hendak membawakan lagu di panggung besar. Diambilnya botol air mineral, lalu ....
"Ehm .... "
You are my sunshine
My only sunshine
You make me happy
When skies are gray
You'll never know, dear
How much I love you
Please don't take my sunshine away
(Jasmine Thomson)
Shanum menoleh, merampas botol air mineral yang dijadikan mikrofon oleh Gio.
"Aku lagi sedih, kamu malah nyanyi!" Shanum berteriak sambil menangis dan melayangkan benda yang dia pegang ke kepala Gio.
"Aw!!! Sakit!!! Sadis kamu." Gio mengelus kepalanya.
"Kamu lebih sadis, tau gak!" Shanum menangis semakin nyaring.
Gio yang melihat Shanum menangis justru tertawa geli. "Hahaha, gitu dong. Nangis aja yang kenceng. Nanggung amat." Gio melajukan kembali mobilnya dan mengantar Shanum ke indekos.

Komento sa Aklat (404)

  • avatar
    Xaviera

    Bagus banget nget... ceritanya😍😍

    18/05/2022

      0
  • avatar
    Damaya_29

    Senangnya Shanum bisa ketemu si anu🙈

    17/05/2022

      0
  • avatar
    ishaqlaila

    secangkir teh, secangkir harapan. selalu ada jalan utk rekonsiliasi. mantap

    04/05/2022

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata