logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Malaikat Penolong

Gawai Shanum berdering, sebuah pesan whatsapp masuk.
[Shan, aku di depan rumah kamu. Pada kemana, sih, pagi-pagi gini kok, sepi?]
Shanum yang sedang sarapan bersama ibu dan adiknya sontak tersentak membaca pesan dari Gio. Karena terlalu terkejut, dia tersedak dan menghentikan makan paginya.
"Kamu itu kenapa 'to nduk? Mbok ya kalau makan itu pelan-pelan," tanya ibunya dengan heran. Beliau menepuk punggung Shanum dan mengambilkan air mineral.
"I ... itu, Bu. Gio di depan." Shanum menunjuk ke arah pintu depan rumahnya.
"Apa? Siapa? Mas Gio? Mas Guantengku? Wait, Mbak. Aku yang buka pintu," sambung Embun. Mendengar nama Gio, dia langsung heboh dan beranjak dari kursi makan. Dia berlari ke arah ruang tamu lalu membuka pintu. Disusul Shanum dan Ibunya mengikuti di belakang Embun.
"Hai, Mas Ganteng. Tumben pagi-pagi udah di sini. Mau ngapain?" tanya Embun penasaran.
"Eh, Embun. Assalamualaikum, Dek Manis." Gio menyapa dengan salam dan seringai senyum yang membuat Embun semakin berdecak salah tingkah.
"Waalaikumussalam, orang salam tuh dijawab salam, bukan disenyumin. Minggir!" Shanum mendorong adiknya yang berdiri di depan pintu.
"Nak Gio? Ayo masuk, ikut sarapan dulu. Pasti belum sarapan, 'kan?" pinta ibu kepada Gio.
"Gak usah, Bu. Kita udah telat. Gio udah sarapan." Belum sempat Gio menjawab, Shanum sudah mendahuluinya. Ditariknya lengan baju Gio dan mereka berpamitan.
"Aku ikut, anterin aku juga ke sekolah ya, Mas Gantengku," cetus Embun dengan gaya centilnya.
Mereka bertiga kemudian berpamitan dan berangkat menuju sekolah Embun, lalu ke kampus. Sementara itu, Gio memasang wajah kecut kepada Shanum karena gagal sarapan bersama mereka.
****
Di kampus
Pagi ini, dibuka dengan mata kuliah Sosiologi Komunikatif. Sebagai wakil ketua kelas, Shanum bertanggung jawab menghubungi dosen untuk memastikan kehadirannya. Semangatnya kian bergelora karena hari ini hendak bersua dengan seseorang yang dia kagumi. Dia pun sudah siap untuk menjemputnya di ruang dosen. Detak jantungnya berdegup kencang saat berdiri tepat di pintu masuk ruang Haz. Sesaat berhenti untuk mengatur napas, lalu diketuknya pintu tersebut dengan pelan dan mengucapkan salam.
"Waalaikumussalam, masuk." Suaranya terdengar dari dalam ruangan.
Shan membuka pintu dan masuk dengan langkah perlahan. Dia menundukan kepalanya. "Pagi, Pak. Maaf, hari ini Bapak ada mata kuliah di kelas saya," terang Shanum.
"Oh, iya. Tolong bawakan ini ya, Shan." Haz menyerahkan proyektor kepada Shanum. Lalu pergi mendahuluinya.
Shanum berjalan tepat di belakang Haz. Dia memperhatikan setiap gerak langkah dosennya. Kemeja biru muda dipadukan dengan celana wal slim fit abu-abu dan ikat pinggang hitam menambah kegagahan dosen muda tersebut. Gaya rambut low fad membuatnya terlihat selalu rapi. Tingginya sekitar 180cm. Selisih 15cm dengan Shanum. Shanum tiba-tiba tersenyum malu. Entah apa yang dia pikirkan
Sesampainya di kelas, Shanum membantu Haz menyalakan proyektor kemudian duduk di bangku paling belakang bersebelahan dengan bangku Gio. Pembelajaran berlangsung dengan baik. Namun, tidak dengan Shanum. Dia melamun sejak tadi dan kurang fokus dengan apa yang dosennya sampaikan. Rupanya, dia masih memikirkan tentang pekerjaan sampingan.
"Tahukah kalian? Pembelajaran mengenai sosiologi komunikasi memiliki peran penting untuk membangun kesadaran kritis kita tentang produksi, distribusi, penggunaan, dan efek komunikasi dan media dari perspektif sosiologis." Haz menjelaskan tentang materi yang disampaikannya.
"Ada yang ditanyakan?" Haz melempar pertanyaan kepada mahasiswanya.
"Saya, Pak." Gio mengangkat tangan kanannya dan bersiap memeberikan pertanyaan.
"Ya, Gionino?" Haz mempersilakan.
"Selain dari apa yang Bapak jelaskan barusan, manfaat apa lagi yang akan kita dapatkan dalam perspektif sosiologis?" tanya Gio.
"Pertanyaan yang bagus, Gio. Sosiologi itu memungkinkan untuk mempelajari bebagai fenomena sosial dalam masyarakat. Sehingga setiap fenomena sosial dalam masyarakat dapat dijelaskan secara logis, sistematis dan berdasarkan pada metode-metode penelitian sosial tertentu dalam penelitian. Nah, pengetahuan ilmiah tentang masyarakat manusia ini diperlukan untuk mencapai kemajuan di berbagai bidang," jelas Pak Haz.
Gio menganggukan kepalanya, lalu Pak Haz melanjutkan penjelasan pertanyaan Gio. "Pemahaman dari perspektif sosiologis itu sangat relevan lho. Dalam studi komunikasi sendiri dapat menjadi dasar untuk membangun kerangka berpikir yang konstruktif bagi kalian ketika mengeksplorasi dan meneliti berbagai masalah dan masalah komunikasi," paparnya.
"Gimana, Gio?" tanya Pak Haz kepada Gio.
"Ok, Pak. Sangat jelas," sahut Gio.
"Baiklah, hari ini cukup. Semoga apa yang saya paparkan dapat dimengerti, dan untuk Shanum tolong ke ruangan saya. Terimakasih." Pak Haz merapikan kembali perlengkapan mengajarnya. Dia kembali ke kantor.
Shanum yang sedari tadi termangu tidak merespon sama sekali penjelasan dan permintaan dosennya. Dia hanya memainkan bolpoinnya dan mencoret-coret note book.
"Woy, ngelamun ya?" Suara Gio membangunkan Shanum dari lamunannya.
"Hmm, ya. Apa? Udah selesai ya?" Shanum tersentak dan merapikan hijabnya.
"Jadi, daritadi kamu gak dengerin dosen ngomong apa? Ckckckck parah ni anak. Kamu dipanggil Pak Haz tuh, sono, cepet!" seru Gio sambil berteriak di telinganya Shanum.
"Hah? Ngapain Pak Haz manggil aku?" tanyanya.
"Mana aku tau, cepet sono!" teriak Gio.
Shanum bergegas pergi ke ruangan Haz. Dia mempercepat langkahnya. Rupanya, dia masih bertanya-tanya kenapa dosennya meminta dia untuk segera datang menemuinya. Ada resah di hatinya, tetapi segera dia tepis. Sesampainya di ruang dosen, dia berhenti sejenak. Langkahnya terasa berat. Namun, dengan pikiran positifnya, dia segera masuk. Ada beberapa ruangan yang dia lewati. Ruang dosen muda itu terletak di ujung, tepat ruangan ke empat dari arah kiri pintu masuk. Dia pun mengetuk pintu yang bertuliskan nama "Yohanz Berend, BBA. M.I. Kom."
"Assalamualaikum, Pak," salam Shanum.
"Waalaikumussalam, masuk," sahut Haz.
"Duduk, Shanum," pinta Haz.
Shanum duduk di sofa panjang. Sementara dosen berlesung pipi itu duduk di kursi kerjanya. "Maaf, Pak. Ada apa ya, Pak? Kok Bapak minta saya ke sini?" ujar Shanum. Gadis bermata sipit itu menanyakan rasa penasarannya.
"Kamu dari awal saya masuk tidak memperhatikan. Saya liat kamu hanya melamun. Kamu tau konsekuensinya ketika tidak menyimak apa yang saya sampaikan?"
tegur Haz dengan tegas.
"M—maaf, Pak. Saya akui salah dan memang benar saya melamun." Nanarnya terlihat bingung dan menyesal.
"Kamu mikirin apa? Sampai-sampai gak merhatiin paparan saya?" tanya Haz.
"Mmm ... gini, Pak. A—ku, lagi butuh pekerjaan buat bantu keuangan Ibu. Adikku sebentar lagi masuk kuliah dan butuh biaya banyak. Saat ini, keadaan keuangan kami sedang tidak stabil." Shanum menjelaskan dengan suara lirih.
"M—maaf, Pak. Saya gak bohong, kok. Saya siap dihukum karena kurang fokus hari ini, " lanjutnya.
Haz hanya tersenyum melihat raut gelisah gadis berjilbab pink itu. Sebenarnya, Haz tidak bermaksud menakuti Shanum. Dia hanya menginginkan jawaban atas ketidakseriusan mahasiswinya dalam mengikuti mata kuliah ketika di kelas. Haz memang tegas ketika kelas berlangsung. Dia kurang suka jika ada mahasiswanya yang tidak memperhatikan penjelasan materi darinya.
Shanum masih tertunduk dan sedih. Wajah putihnya berubah menjadi merah karena rasa bersalah. Kedua telapak tangannya mulai dingin. Setiap kali Shanum panik dan merasa bersalah, dia akan memainkan jari telunjuk dengan ibu jarinya. Haz yang bersandar di kursi kerjanya memperhatikan dengan saksama tingkah Shanum. Wajahnya semakin manis tatkala kepanikan melanda. Di laci mejanya, Haz mengambil selembar kartu nama. Dia berdiri menghampiri Shanum lalu menyerahkan kartu nama tersebut.
"Apa ini, Pak?" Shanum mengangkat wajahnya ke arah Haz.
"Pulang kuliah, datang ke alamat yang tertera di kartu nama itu. Hubungi nama yang tercantum. Bilang aja, kalau kamu diterima magang di sana," lontar Haz.
Shanum masih gamam dengan pernyataan Haz. "M—maksudnya? A—ku, eumm ... Aku?" Shanum tergagap sambil memandang Haz.
"Ya, kamu diterima kerja di cafe saya." Haz mempertegas pernyataannya.
"T—terimakasih, Pak. Ya Allah, aku bingung mau ngomong apa. Tapi, makasih banyak, Pak. Makasih." Netranya mulai berkaca-kaca. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Dibalik kebingungannya, Shanum berterimakasih kepada Allah karena satu kesulitan hari itu terselesaikan. Dia juga berterimakasih kepada dosennya karena sudah menjadi malaikat penolong bagi dirinya. Berkali-kali dia pandang kartu nama tersebut, berkali-kali juga dia pandang wajah pria gagah nan rupawan itu lalu pamit pergi dari ruang tersebut. Dia keluar dengan wajah sumringah dan perasaan bahagia.

Komento sa Aklat (404)

  • avatar
    Xaviera

    Bagus banget nget... ceritanya😍😍

    18/05/2022

      0
  • avatar
    Damaya_29

    Senangnya Shanum bisa ketemu si anu🙈

    17/05/2022

      0
  • avatar
    ishaqlaila

    secangkir teh, secangkir harapan. selalu ada jalan utk rekonsiliasi. mantap

    04/05/2022

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata