logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Secangkir Teh, Secangkir Harapan

Usai salat magrib, Shanum menghampiri ibunya yang sedang duduk di ruang keluarga. Adiknya tampak asik dengan gawai sambil merebahkan badan di kasur busa yang semakin tipis. Televisi tabung 21 inch terlihat menyala, menampilkan sinetron kesukaan kaum hawa kala maghrib menjelang.
"Bu, mau aku buatin teh?" Shanum menawarkan secangkir teh hangat kepada ibunya yang baru saja selesai mengaji.
"Boleh, tapi ... kamu udah makan, Nduk?" Ibunya bertanya sambil meletakkan Al-Qur'an di atas meja dan melepas mukena.
"Belum, Bu," jawab Shanum.
"Makan dulu, Ibu udah hangatkan sayur dan ikan kesukaan kamu." Tangan Shanum dipegangnya. Sambil tersenyum, ibunya meminta gadis sulungnya untuk segera makan.
"Iya, Bu. Shanum buatin teh hangat dulu, ya." Dia balas dengan tersenyum pula, lalu melepaskan genggaman ibunya dan menuju dapur.
"Mbak, bawain pisang goreng juga ke sini, yo. Sekalian bawain, ok?" sambung Embun sambil mengedipkan mata kepada kakaknya.
"Ish, ogah ... ambil aja sendiri." Shanum menjulurkan lidahnya, meledek adiknya yang terlihat mulai kesal.
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Hujan sepertinya masih belum mau meninggalkan bumi. Gemericik airnya memecah sunyi. Shanum segera bergegas pergi ke dapur. Mengambil cangkir dan memasukkan teh celup melati kesukaan ibunya. Sesendok gula pasir dan air panas dia tuangkan, kemudian mengaduknya dengan pelan. Setelah itu, nasi dan lauk pauk disiapkannya kemudian dia letakkan di piring. Tak lupa juga pisang goreng pesanan adiknya. Dengan menggunakan nampan panjang, dia membawa semua itu kembali ke ruang keluarga. Shanum duduk bersebelahan dengan ibunya sambil menyantap ikan asin dan sayur asam favoritnya.
"Mmmm ... masakan Ibu emang terbaik. Uenake poll." Shanum memuji ibunya.
"Kamu itu, paling bisa kalau muji," ucap ibunya sambil melepas kacamata dan meletakkannya di atas meja, kemudian menyeruput secangkir teh yang dibuat Shanum.
"Oh iya, Nduk. Hari ini kamu kemana aja? Magrib baru pulang, baju basah kuyup, adikmu juga sampe susah menghubungi." Ibunya menatap dengan wajah penasaran.
"Pacaran kali, Bu. Sama Mas Gio," sambung Embun dengan nada mengejek.
"Ngawur!" Shanum melempar bantal kursi ke arah adiknya.
"Enggak, Bu. Jadi, hari ini Shan ada kuliah sore. Dosennya gak bisa masuk siang soalnya ada keperluan. Kebetulan handphone Shan juga 'lowbat.' Shan keujanan pas jalan ke depan nungguin ojeg lewat. Terus Gio lewat. Ya udah Shan minta ikut buat anterin sampe rumah." Rupanya Shanum berbohong kepada ibu dan adiknya. Dia menyembunyikan apa yang dilakukannya hari ini.
"Gitu, ya? Ibu cemas, tak kirain kamu kenapa-kenapa. Gak biasanya pulang magrib," ucap ibunya sambil menghela napas. Merasa bersyukur karena anaknya baik-baik saja. Sementara itu, Shanum hanya tersenyum mendengar pernyataan ibunya.
Sayup-sayup terdengar suara azan isya dari masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Shanum. Sesekali tawa mereka mengudara. Canda keluarga sederhana itu menutupi pilunya sasana hati setelah ditinggal kepala keluarga. Aura kasih sayang tampak terpancar mengelilingi kebersamaan mereka. Kehangatan pun menyelimuti malam yang kian dingin akibat derasnya hujan.
"Bu .... " Tiba-tiba Shanum memegang tangan ibunya dan seketika canda tawa keluarga kecil itu terhenti.
"Ya .... " jawab ibunya.
"Doain Shan ya, Bu. Shan mau ngajuin beasiswa universitas," tuturnya.
"Beasiswa?" Ibunya terlihat sedikit terkejut mendengar ucapan Shanum.
"Iya, Bu. Kalau Shanum berhasil mendapatkan beasiswa. Kan, Ibu gak perlu bayarin kuliah Shan lagi toh, Bu," paparnya.
"Shanum juga mau cari kerja sampingan, buat bantu Ibu dan Embun." Shanum melanjutkan pernyataannya.
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Ibunya terdiam sesaat. Matanya mulai berkaca-kaca. Tak menyangka kalau anaknya akan berpikir sejauh itu untuk membantu perekonomian keluarga. Jika hanya mengandalkan dari hasil penjualan sembako memang sangat kurang. Belum lagi Embun—adiknya Shanum—yang sebentar lagi lulus SMA dan membutuhkan biaya banyak untuk kuliah. Ayah Shanum bukan seorang PNS atau pegawai kantor yang meninggalkan banyak harta. Melainkan hanya buruh tani yang sawahnya beliau sewa dari tetangga. Hanya motor matic satu-satunya peninggalan sang ayah.
"Embun gak lanjutin kuliah juga gak papa kok, Bu," sambung Embun.
"Aku juga mau kerja aja sambil ambil kursus jahit. Mbak Shanum fokus aja sama kuliahnya. Kalau Mbak udah lulus, aku bisa gantian masuk kuliah," tutur Embun dengan tenang. Namun, wajahnya terlihat menyimpan kesedihan.
"Koe iki, ngomong opo toh, Dek? Kamu yang harusnya fokus sekolah. Belajar yang rajin biar nilaimu bagus. Kamu gak usah khawatir, pokoke masalah biaya kuliah, itu urusan aku." Shanum menjelaskan dengan penuh percaya diri.
"Tapi, Mbak .... "
"Ssssst!!! Udah, ga usah banyak ngomong. Ibu sama Embun bantu doa aja. Ok?" tukas Shanum. Senyumnya cukup menutupi kekhawatiran ibu dan adiknya.
"Maafin Ibu ya, Nduk. Ibu merasa bersalah karena Ibu gak bisa bantu banyak. Warung kita ini hanya warung kecil. Hasilnya hanya cukup buat makan. Ibu juga gak punya barang berharga buat Ibu jual." Ibunya menangis terisak.
Shanum dan adiknya mendekat, mengusap air mata yang menetes, lalu bersamaan memeluk sang ibu. Suasana haru begitu terasa. Ada sesal yang mengganjal di hati ibu mereka. Ada bimbang yang menyangkut di pikiran Embun, dan ada keyakinan diri yang kuat di dalam hati Shanum. Ketiga perempuan itu akhirnya saling menguatkan dalam pelukan, doa, dan asa yang sama.
****
[Shan, besok kuliah pagi. Jangan telat, ya!]
[Oh, iya. Jangan lupa bawa persyaratan pengajuan beasiswa yang aku bilang tadi sore.] Isi pesan Whatsapp Gio mengingatkan Shanum.
Dia hanya membuka dan membaca pesan tersebut tanpa membalasnya. Gio adalah sahabat karibnya dari kecil. Sedari SD hingga menginjak perkuliahan, mereka selalu bersama dan saling suport jika salah satu dari mereka mengalami kesulitan. Bahkan, saat SMP dan SMA mereka bersaing dalam urusan rangking dan kompetisi lain. Beberapa kawan lamanya sempat terheran-heran dan menaruh kecurigaan kepada mereka berdua. Banyak yang mengira kalau Shanum dan Gio menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat. Kecurigaan teman-teman mereka semakin kuat karena sampai saat ini, baik Shanum maupun Gio tidak dekat dengan lawan jenis manapun.
Bagi Gio, pacaran hanya membuang waktu dan menambah dosa. Jika memang sudah waktunya. Dia akan memilih wanita mana yang akan dia singgahi hatinya dan mengajaknya ke pelaminan. Gio memang sosok yang religius dan dewasa. Sementara itu, bagi Shanum tidak ada kata pacaran dalam kamus hidupnya. Meskipun hatinya menyimpan perasaan terhadap seseorang, tapi sebisa mungkin dia tidak mau mengotori dirinya dengan perbuatan yang dilarang agama. Dia hanya ingin menikah dan pacaran setelah sah. Keduanya, memilih untuk memantaskan diri, kemudian berlabuh ke tempat yang semestinya. Satu hal juga yang sama dari kedua sahabat ini, bahwa mereka rupanya sama-sama sudah menuliskan nama seseorang di dalam catatan kalbu mereka masing-masing.

Komento sa Aklat (404)

  • avatar
    Xaviera

    Bagus banget nget... ceritanya😍😍

    18/05/2022

      0
  • avatar
    Damaya_29

    Senangnya Shanum bisa ketemu si anu🙈

    17/05/2022

      0
  • avatar
    ishaqlaila

    secangkir teh, secangkir harapan. selalu ada jalan utk rekonsiliasi. mantap

    04/05/2022

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata