logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Perihal Pesantren

Hari-hariku selalu disibukkan dengan pekerjaan dan pekerjaan yang sering kali membuat aku harus mandi keringat.
Pekerjaan yang membutuhkan semangat lebih, selain mengajar dan mendidik para santriku agar pesantren lebih terpandang maju dengan generasi yang berwawasan akhlak mulia.
Terkadang aku harus lupa untuk tidur sejenak, akupun lupa dengan tidur yang nyaman itu seperti apa.
Bahkan akupun terkadang harus lupa hari. Entah ini hari selasa ataukah ahad?
Yang aku tahu, aku harus selalu aktif dalam menanggung jawabkan pekerjaanku.
Mulai dari berbicara tentang pekerjaan, berdialog dengan pekerjaan sampai menyelesaikan apa saja dokumen yang harus disiapkan di hari esok.
Apalagi bila urusannya tentang penerimaan peserta baru di pesantren dan Madrasah Diniaah.
"Mungkin nanti sore Gus, baru bisa. Kali ini, aku masih mendampingi anak-anak latihan vokal. Aku bersama dengan tim al-banjari kota pusat. Bersama Mas Zahwan yang ikut membina."
"Ya sudah, lanjutkan terus aktivitasmu. Bilangin sama tim lain, aku masih ada banyak pekerjaan, siang nanti aku tetap tidak bisa ke sana. Yaa ...."
"Baiklah Gus, nanti akan aku sampaikan."
"Ya sudah, aku tutup telponnya."
"Bentar, Gus. Samena sudah membaca grub teater dan tim film ppendek belum"
"Ada apa, memang?"
"Itu Gus, bukannya tanggal tiga puluh puluh april kita ada acara pementasan Teater di aula Pondok Pesantren Fatimah Hasyim? Kapan Gus mau ngelatih para tokohnya?"
"Entahlah. Jadwalku masih padat e, ini ... aku masih belum bisa ngelatih. Tolong sampaikan saja ke Gus Hikam. Pelatihannya dia juga bagus. Aku pernah melihat caranya melatih di pementasan dua bulan yang lalu."
"Ya sudah, Gus. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
***
"le, yang daftar jadi santri malah makin banyak ya?"
Umi mehampiriku yang tengah menikmati secangkir kopi moka yang panas.
Aku sebenarnya tadi pinginnya minum kopi hitam, tapi aku cari di dapur tidak ada. Malahan yang ada cuma kopi susu sama kopi moka. Jadi pilih yang ada saja.
Dari pada, tidak meminum kopi sama sekali.
Lantai tiga ini, bagiku tempat bersantai paling nyaman.
Di sini angin berembus dua kali lipat dan bukan cuman itu, di sini akupun dapat melihat pemandangan lautan biru kehijauan bersama pasir putih yang berjarak kurang lebih delapan hingga sepuluh kilo dari sini.
Semua itu bagai memunculkan ide dalam pikiranku memulih setelah sehari penuh otakku tiada henti aku buat bekerja.
Bagiku aktivitas ini memanglah cukup santai, menghilangkan stressku yang tengah merajalela.
Meski sesaat di balik kediaman yang melambat.
"Nggih e Umi, Kulo sampai kebingungan buatin data sebanyak itu. Apa perlu kita buat tarjet tetap di setiap tahun? Kalau kita, tidak membatasi jumlah santri bisa-bisa kita semakin banyak menerima santri setiap tahunnya."
Aku menghadap ke Umi, sambil menaruh secangkir kopi yang barusan aku seruput sedikit.
Sementara Umi mulai menduduki bangku rotan yang berada tepat di utara sofa.
Umi menatapku dengan wajah yang menujukan kebingungan.
Mungkin pikiran Umi juga sama halnya denganku, memikirkan para santri.
"Le, ya memang benar kalau memang sameannya mutusin itu, tapi kalau kita ngasih tarjet bagaimana dengan para orang tua yang sudah jauh-jauh ke sini untuk memondokkan anaknya bila tidak keterima? Malah kecewa nanti, jadinya."
Aku senyum sejenak.
Umi ada benarnya memang. Tidak salah.
"Umi ... teknologi dunia sekarang semakin canggih, kulo hanya perlu menginformasikan melalu media sosial. Mengumumkan pula kriteria dan aspek-aspek yang harus dipenuhi santri. Bukankah banyak santri luar kota datang ke sini, melalui informasi yang kulo buat di media sosial? Sebelum kakek buyut wafat dulu, pernah berpesan. Kalau kita harus menjaga pondok pesantren untuk tetap berkembang, namun kakek buyut tidak menyuruh untuk mencari santri banyak, tetapi santri yang bisa kita jaga dan kita lindungi itu sudah cukup sebagai kewajiban kita."
"Kalau samean mantapnya begitu, terus dan lanjutin saja. Umi sama Abahmu tetap dukung terus."
Belakangan ini, Umi agak sakit-sakitan. Abah juga, tetapi kalau Abah sedikit lebih kuat dari Umi jadi tidak begitu terlalu.
Hampir setiap malam hari aku dengar, kalau Umi batuknya tiada henti.
Kemarin periksa ke dokter, katanya Umi kecapekan.
Mungkin sudah saatnya, aku menjaga Umi lebih maksimal. Karena Umi adalah malaikatku di dunia ini yang pertama sebelum Abahku.
Menjaga Umi agar tetap sehat itu adalah kewajibanku, di samping aku juga yang harus menjaga Abah.
Apalagi aku anak yang paling di emani.
"Nggih, Umi."
"Sudah, Umi ke dapur dulu. Bantu Ibu-ibu dapur masak makanan buat para santri."
"Nggih, Umi."
Aku melihat Umi dengan seksama, Umi yang melangkah pelan menuju lantai bawah.
Kaki Umi mungkin sudah agak sulit dibuat jalan cepat, hingga Umi harus memilih jalan sedikit lambat.
Aku pernah, mencoba menuntun Umi ke suatu acara.
Namun bilangnya Umi malahan tidak usah katanya juga sungkan.
"Masa' usia begini harus sudah dituntun kalau jalan?"
Aku bersyukur masih beruntung ada Abah sama Umi yang bisa mendukungku untuk menjalankan terus pondok pesantren peninggalan kakek buyutku ini.
Di mana kegiatan dan semua peraturan di pesantren ini, Abahlah yang menetapkan.
Kakek Buyutku adalah seseorang yang asli kota Hamrah.
Dengan kerja keras sendiri Ia membangun pondok pesantren ini bersama Nenek Buyut di waktu sejak dulu sebelum aku lahir.
Nenek Buyutku memang bukanlah asli sini, asli orang kota pinggir dan pernah sekali tinggal di sebuah desa di Air Rawas.
Dahulunya memang Istiadat Nenek Buyut dengan Kakek Buyut begitu berbeda, namun cinta di antara merekalah yang membuat mereka bersatu tanpa memandang kata berbeda.
"Assalamualaikum, Gus."
Ada yang mengetuk pintu yang terbuka di sana.
Aku menoleh, langsung mengenal kalau itu siapa.
Bukannya itu yang dikenal Mbak-mbak ndalem yang setiap paginya menyirami tanaman di taman pesantren.
Namanya Rasyikah, bukan?
Tapi buat pagi tadi, aku tidak tahu dianya lagi ke mana? Soalnya tanaman masih pada belum disiram.
"Wa'alaikumsalam. Iya, ada apa?"
Aku menghampiri Rasyikah yang berdiri dengan kepala menunduk tepat berada di ambang pintu.
"Gus ... ada santri putri, yang ingin ketemu sama panjenengannya."
"Siapa?"
Aku memandangnya tanpa senyum tetapi aku juga harus tetap menjaga pandangan untuk tidak berlama-lama menatapnya.
Aku ini, kepribadiannya cuek tidak seperti Gus pada umumnya.
Aku juga tidak perduli apa yang akan dikatakan oleh mereka-mereka yang aku cuekin. Termasuk kepada para santriku sendiri.
Bukan karena aku berlaku seperti ini disebut sombong, hanya saja aku ingin menjadi Gus yang dipandang tegas.
Sehingga mereka yang melihatku selalu ingat untuk disiplin.
Pendiamnya aku pun, bukan berarti aku ini orang yang tidak peduli dan tidak memiliki hati.
Aku juga bisa tersenyum, namun cukuplah senyumku ini jarang terlihat di mata mereka.
Hanya terlihat, bila memang sangatlah dibutuhkan senyumku itu.
Karena harapan aku, ingin menegaskan pada mereka para santri.
Baik itu santri putra maupun santri putri, bahwa tujuan orang tuanya menempatkan di pesantren. Itu bukanlah main-main dan hanya sekedar tertawa apalagi hanya mencari kawan.
Namun di sinilah tempat mereka itu dibimbing agar kelak menjadi orang yang sukses dunia akhirat dengan pengetahuan ilmu.
"Katanya tokoh dari film pendek yang akan tampil pada tanggal tiga puluh april."
Ada apa lagi ini? Bukannya aku sudah nyuruh Gus Hasan, kalau pelatihnya nanti bukan aku tetapi Gus Hikam.
"Suruh ke sini."
Aku lihat Rasyikah mengangguk sambil mundur selangkah tetap menghadapku.
"Baiklah, Gus. Akan saya panggil."
Tidak selang begitu lama setelah aku dengar Rasyika izin, ada santri putri yang memakai hijab kuning langsat tiba-tiba berdiri mematung di ambang pintu tanpa salam.
Kalau itu, aku tidak kenal dia itu siapa?
Tapi jelas-jelas ini yang dimaksud sama santri putri yang Mbak-mbak ndalem tadi.
"Nyari aku, ada apa?"

Komento sa Aklat (115)

  • avatar
    AzahraWiwin

    ceritanya sangat inspiratif, bagus dan memotivasi kita semua. thanks

    24/07/2022

      0
  • avatar
    Dwi CahyaFardana Difka

    Cerita Ini Sangat Menarik Dan Alurnya Juga Indah

    21/07/2022

      0
  • avatar
    Selvia Putri

    seru banget novelnya

    7d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata