logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Mulai Bekerja

BPS (Bidan Praktek Swasta) Indri
Part 2
***
Jalanan lengang, hanya ada beberapa sepeda motor yang kujumpai di jalan. Angin malam yang berembus, terasa sangat dingin mengenai kulitku. Jarum jam di tangan telah menunjukkan pukul sembilan malam.
Aku mempercepat laju sepeda motor, agar bisa segera sampai di rumah, dan mengatakan kabar gembira ini kepada kedua orang tuaku.
Setengah jam kemudian, aku telah sampai di depan rumah. Kulihat ayah dan ibu sedang duduk di teras depan, pasti mereka sedang menunggu aku pulang.
"Alhamdulillah, Nit. Akhirnya kamu sampai juga," kata Ibu. Terlihat kecemasan di raut wajahnya. Aku tersenyum.
Ayah segera beranjak dari duduk dan membawa sepeda motorku ke dalam garasi. Aku dan ibu segera masuk ke rumah.
"Gimana, Nit? Ketemu nggak tadi sama Bu Indri?" tanya ibu, setelah kami bertiga duduk di ruang tengah.
"Iya, Bu. Nita ketemu sama Bu Indri. Nita juga udah langsung diterima kerja di sana. Besok pagi udah bisa mulai kerja," kataku dengan wajah sumringah.
"Alhamdulillah …," ucap ayah dan ibu hampir bersamaan. Mereka tersenyum senang.
"Tapi, Nita harus nginep di sana, karena Bu Indri memang nggak punya asisten. Asisten yang lama keluar karena sudah nikah dan ikut ke rumah suaminya."
Sesaat ayah menghela napas panjang. Ibu juga tak bereaksi mendengar perkataanku. Barangkali mereka merasa keberatan, karena aku adalah anak semata wayang mereka dan rumah pasti akan terasa sepi jika aku harus menginap di rumah Bu Indri.
"Tapi tiap hari Minggu Nita dikasih libur kok sama Bu Indri. Jadi Nita masih bisa pulang dan ketemu Ayah sama Ibu," kataku menghibur kedua orang tuaku.
Ayah dan ibu saling berpandangan. Mereka kemudian memandang wajahku.
"Kamu yakin akan tinggal di rumah Bu Indri dan hanya pulang seminggu sekali, Nit?" tanya ibu.
Aku mengernyitkan dahi. Merasa heran dengan pertanyaan ibu. Bukankah selama sekolah di SPK aku tinggal di asrama dan hanya pulang sekali dalam satu bulan? Kenapa sekarang beliau seperti merasa keberatan, padahal kan tiap hari Minggu aku masih bisa pulang.
"Memangnya kenapa, Bu?" tanyaku.
"Ya nggak apa-apa sih, Ibu sama Ayah cuma akan merasa kesepian aja kalau kamu tinggal di rumah Bu Indri," jawab ibu.
"Kan tiap hari Minggu Nita masih bisa pulang, Bu," kataku sembari memeluk ibu.
Meskipun pada awalnya ayah dan ibu merasa keberatan, tapi pada akhirnya mereka memberikan izin kepadaku untuk bekerja dan tinggal di rumah Bu Indri.
Setelah puas menanyakan beberapa hal tentang pertemuanku dengan Bu Indri, ibu menyuruhku untuk segera beranjak tidur, karena hari sudah larut malam.
Aku segera beranjak dari tempat duduk dan masuk ke kamar. Tak memerlukan waktu lama, akhirnya aku pun tertidur.
***
Keesokan harinya, sekitar pukul tujuh pagi aku berangkat ke rumah Bu Indri dengan naik angkutan umum. Diantar oleh ayah sampai ujung jalan, menunggu angkutan umum yang ke arah rumah Bu Indri lewat.
Sepuluh menit kemudian, angkutan umum yang kutunggu akhirnya lewat. Segera aku naik ke dalamnya setelah sebelumnya berpamitan dan mencium punggung tangan ayah.
"Nita berangkat ya, Yah," pamitku pada ayah.
"Hati-hati di jalan, jaga diri baik-baik," pesan ayah.
Hanya ada enam orang penumpang di dalam angkutan umum itu, yaitu aku, Pak Supir, Mas Kernet dan tiga orang penumpang yang lain. Jadi aku bisa menaruh tas pakaian yang kubawa di bangku duduk yang masih kosong.
"Mbak berhenti di mana?" tanya Mas Kernet kepadaku sambil meminta uang ongkos.
"Di rumah Bidan Indri," jawabku, sembari memberikan uang kertas lima ratus rupiah kepadanya.
"Mbak kerja di sana?" tanya Mas Kernet sambil memberikan kembalian tiga ratus rupiah kepadaku.
Aku menganggukkan kepala. Dua orang penumpang yang duduk berhadapan denganku, memandang ke arahku dengan tatapan yang aneh.
[Mereka kenapa ya? Apa ada yang salah dengan ucapanku tadi? Atau ada yang aneh dengan bajuku?]
Aku meneliti baju seragam yang kupakai, barangkali ada yang salah. Namun, aku tak menemukan kesalahan itu.
Aku memakai baju seragam putih-putih, baju yang selalu kupakai saat melakukan tugas praktik ketika di SPK. Tak ada yang salah dengan baju itu, sekali lagi aku menelitinya.
"Minggir … kiri!" teriak Mas Kernet, ketika mobil telah sampai di halaman rumah Bu Indri.
Aku segera turun dan mengucapkan terima kasih kepada Mas Kernet.
Perlahan aku berjalan menuju pintu samping BPS Indri. Tak ada seorang pun yang terlihat di luar.
"Assalaamu'alaikum …."
Aku mengucapkan salam sambil mengetuk pintu.
"Wa'alaikum salam," jawab seseorang dari dalam.
Tak lama, tampak seorang ibu yang keluar dari salah satu ruangan. Umurnya mungkin sama dengan Bu Muji, hanya badannya lebih gemuk dan tinggi dari Bu Muji. Dia tersenyum menghampiriku.
"Ada apa, Mbak?" tanya ibu itu yang belakangan aku tahu bernama Bu Salamah.
"Saya Nita, Bu. Saya perawat baru di sini. Tadi malam saya sudah ketemu dengan Bu Indri," jawabku sembari mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
"Oh … iya, Mbak. Mari masuk. Tadi Bu Indri sudah bilang soal itu sebelum berangkat ke puskesmas," kata Bu Salamah sambil menyambut uluran tanganku.
Bu Salamah kemudian menunjukkan kamar tidurku yang terletak di ruangan depan.
Sebuah ruangan berukuran 12 meter persegi dengan kamar mandi berada di dalamnya. Ada sebuah dipan kayu nomor dua, lemari pakaian dan satu set meja dan kursi.
"Ini kamarnya, Mbak. Kemarin waktu Mbak Siwi belum nikah juga tidur di sini," kata Bu Salamah.
"Iya, Bu. Terima kasih," kataku.
"Saya mau nerusin kerjaan dulu ya, Mbak. Belum selesai ngepel," kata Bu Salamah.
"Iya, Bu. Silakan."
Aku kemudian mengeluarkan barang-barang yang kubawa dari dalam tas. Menaruh baju dan menyusunnya dengan rapi di dalam lemari. Meletakkan peralatan mandi di kamar mandi, perlengkapan berhias diri di atas meja.
Ketika membuka jendela kamar, sejenak aku tertegun. Pohon asam itu ternyata berada lurus dengan jendela kamarku, berjarak sekitar enam meter. Aku melihat ke luar lewat jendela, ada sebuah bangku di luar, yang kupakai duduk dengan Bu Muji tadi malam.
Setelah semua tertata dengan rapi, aku keluar dari kamar dan melihat-lihat keadaan ruangan yang ada di BPS. Kebetulan tak ada pasien yang sedang dirawat.
Ternyata bangunan BPS Indri lumayan besar, terdiri dari ruangan depan dan belakang, yang dipisahkan oleh sebuah taman. Itu di luar rumah yang beliau gunakan sebagai tempat tinggal yang berada di belakangnya lagi.
Di ruangan depan ada tiga buah kamar perawatan, dengan dua buah ranjang dan lemari kecil di masing-masing kamarnya serta kamar mandi di dalam. Terdapat sebuah ruangan untuk kegiatan administrasi, ada sebuah lemari buku, meja dan tiga buah kursi di dalam ruangan itu.
Sedangkan kamarku terletak di bagian paling belakang dari ruangan depan, bersebelahan dengan kamar bayi dan di samping kamar bayi adalah ruang bersalin.
Di ruangan belakang ada tiga buah kamar perawatan, juga dengan dua buah ranjang dan lemari kecil di masing-masing kamarnya. Hanya saja, kamar mandi terletak di luar kamar, terdapat tiga buah kamar mandi di sana.
Di sebelah kamar perawatan, ada ruangan untuk periksa pasien. Di depan kamar periksa itulah tempat pohon asam tumbuh.
Aku memperhatikan pohon asam itu, tak ada yang aneh, tidak juga menyeramkan, tapi kenapa tadi malam seperti ada orang di sana dan terlihat begitu menyeramkan.
"Mbak, minum teh dulu," kata Bu Salamah yang sudah berada di dalam kamar periksa.
"Eh … iya, Bu."
"Lihat pohon asem ya, Mbak?" tanya Bu Salamah.
"Iya, Bu. Kenapa nggak ditebang saja ya, padahal kan akarnya bisa merusak tanah," tanyaku memancing cerita dari Bu Salamah.
Bu Salamah hanya tersenyum, tak menjawab pertanyaanku.
"Ayo kita minum teh dulu," katanya sambil keluar dari kamar periksa. Aku mengikutinya.
Kami duduk di salah satu bangku yang ada di ruang belakang, menghadap ke taman. Ada dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng yang dibawa Bu Salamah dari dapur belakang.
Kami kemudian saling memperkenalkan diri dan bercerita. Lalu, kami mengobrol tentang BPS Indri, atau lebih tepatnya Bu Salamah yang bercerita dan aku yang mendengarkan.
Hingga menjelang waktu zuhur, tak ada pasien yang datang berkunjung.
"Memang seperti ini apa, Bu? Kok nggak ada pasien yang datang?" tanyaku.
"Nanti juga ada, Mbak. Ini kebetulan sedang nggak ada. Yuk kita makan siang dulu, nanti selesai salat saya mau langsung pulang," kata Bu Salamah.
Kami kemudian berjalan menuju dapur yang terletak di paling belakang. Di samping dapur masih ada halaman yang lumayan luas, digunakan sebagai tempat untuk mencuci dan menjemur, yang dikelilingi tembok bata yang tingginya mencapai sekitar tiga meter.
Ada sebuah pintu di antara tembok itu, sepertinya pintu menuju ke arah luar. Sebenarnya aku penasaran, ingin melihat ada apa di luar tembok, tapi tak merasa enak dengan Bu Salamah.
"Itu pintu apa, Bu?" tanyaku sambil menunjuk ke arah pintu dengan jari telunjuk.
"Di belakang itu kebun, banyak tanaman buah-buahan di sana," jawab Bu Salamah.
Aku manggut-manggut, tak bertanya lagi. Kami kemudian makan siang dan salat zuhur setelah selesai makan.
"Bu Salamah nggak jadi pulang?" tanyaku.
Kami sudah berada di ruang depan kembali, duduk di ruangan administrasi. Aku melihat-lihat semua bentuk laporan BPS, jadwal piket pegawai, dan lain-lain.
"Nanti nungguin yang piket siang. Biasanya jam segini Bu Paini sudah datang," jawab Bu Salamah sambil membaca koran.
Tak lama berselang, Bu Indri datang. Beliau langsung menuju ke ruangan administrasi.
"Kamu sudah datang, Nit?" tanya Bu Indri ramah.
"Iya, Bu. Jam delapan tadi pagi," jawabku.
"Sudah lihat kamarnya?"
"Sudah, Bu."
"Sudah lihat-lihat seluruh ruangan yang ada di BPS ini?"
"Sudah, Bu."
"Yuk kita makan, nanti setelah itu kamu bisa pelajari apa saja yang harus kamu lakukan di sini," ajak Bu Indri.
"Tadi saya sudah makan dengan Bu Salamah, Bu."
"Oh … ya sudah, saya ke belakang dulu ya, kalau ada pasien, tolong dilayani saja kalau dia mau," kata Bu Indri.
"Baik, Bu."
Bu Indri kemudian pergi ke belakang meninggalkan kami. Bu Paini belum juga datang, Bu Salamah terlihat mulai gelisah. Beberapa kali dia melihat jam dinding, sudah pukul setengah dua siang.
"Bu, kalau mau pulang, pulang aja, saya yang nunggu di sini. Mungkin Bu Paini sedang ada perlu, jadi terlambat datang," kataku.
Bu Salamah menatapku.
"Bener, Mbak? Saya boleh pulang dulu, nggak nunggu Bu Paini?" tanya Bu Salamah.
Aku mengangguk. "Iya, Bu."
Baru saja Bu Salamah akan beranjak dari duduk, tiba-tiba masuk seorang perempuan sebaya Bu Salamah sambil tersenyum-senyum.
"Maaf, Bu Salamah. Saya telat, tadi ada perlu," kata perempuan itu yang ternyata adalah Bu Paini.
Mereka lalu mengobrol sambil berjalan menuju ke ruangan belakang. Mungkin sedang melakukan operan, istilah yang kami-para tenaga kesehatan-pakai, saat bergantian shift.
Aku sudah bertemu dengan tiga orang ibu yang bekerja sebagai tenaga non medis di BPS Indri. Bu Muji, Bu Salamah dan Bu Paini. Berarti nanti malam yang piket adalah ibu yang kutemui sedang mengepel lantai tadi malam, saat pertama aku datang ke BPS Indri.
***
Bersambung

Komento sa Aklat (263)

  • avatar
    Sweetypie

    cerita nya bener² menarik, setiap bab nya selalu di buat penasaran terus gaya bahasa dan cara penulisan pun enak untuk di baca dan di pahami

    26/12/2021

      2
  • avatar
    Elviera

    Best banget cerita ini penuh dengan misteri dan teka teki... Tidak terlalu serem tapi kalau dibikin film mungkin serem sihhh hahha😂kalau kalian semua penasaran boleh start reading yaaa😍😍😍

    21/12/2021

      0
  • avatar
    Sri Sunarti

    bagus banget ceritanya

    2d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata