logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

|6.| Gara dan Kawan-kawan

Retta masih tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Kini, Retta sedang berjalan di belakang Bu Dara—wali kelas Retta. Hingga pada akhirnya, Bu Dara memasuki kelas berplakat XI IPA 3.
"Selamat pagi, anak-anak. Ibu ada pengumuman penting untuk kalian semua," ucap Bu Dara di depan kelas, menghadap para murid berseragam putih abu-abu yang menatap penasaran ke arah Retta. "Hari ini kita kedatangan murid baru." Bu Dara menoleh ke arah Retta. "Silakan perkenalkan diri kamu."
Retta mengangguk singkat. Gadis itu berusaha tampak biasa saja di hadapan beberapa pasang mata yang jelas-jelas sedang menilainya.
"Nama saya Elvaretta Adinda, biasa dipanggil Retta. Saya pindahan dari SMA Trijaya."
"SMA Trijaya? Di mana, tuh?" sahut salah seorang murid laki-laki berambut klimis.
"Bukan di Jakarta kali," balas teman sebangkunya.
Jadi, ini SMA Pandawa? tanya Retta dalam hati.
Tunggu dulu. Jika memang benar ini adalah SMA Pandawa dan sekarang Retta berdiri di hadapan murid kelas XII IPA 3, itu artinya ....
"Retta, kamu bisa duduk di sebelah Gara," ucap Bu Dara yang membuat kedua bola mata Retta membulat sempurna.
Retta mengangguk kikuk. Gadis itu melangkah pelan menuju satu-satunya bangku kosong di meja paling belakang. Tepat di samping seorang lelaki bertubuh jangkung, alis tebal, hidung mancung, kulit putih, dan rambut lurus berjambul.
Jadi ..., sesempurna ini tampang tokoh fiksi yang Retta ciptakan? Sungguh. Wujuh fisik Gara jauh dari ekspektasi Retta. Lebih tepatnya, jauh melebihi ekspektasi Retta.
"Hai, Gara. Nama gue Retta," ucap Retta sambil mengulurkan jabatan tangan. Meski sudah hapal di luar kepala bagaimana karakter Gara, Retta tetap ingin mencoba berinteraksi dengan laki-laki itu.
Tak kunjung mendapat balasan, Retta menarik kembali uluran tangannya. Gadis itu melirik buku tebal yang sedang Gara baca. Ganendra Javas Kaivan. Retta masih tak percaya bahwa sosok yang duduk di sebelahnya kini benar-benar Gara. Tokoh fiksi yang ia ciptakan dengan sepenuh hati.
"Lagi baca apa, tuh?" tanya Retta, kepo.
"Berisik," ketus Gara.
Retta tersenyum simpul. Ia sudah menduga bahwa respon seperti ini yang akan Retta dapat. Benar-benar karakter Gara. Cuek, dingin, dan kaku. Hanya pada satu orang Gara akan menjelma layaknya seorang balita. Dizara Arisa.
"Nama lengkap lo Ganendra Javas Kaivan, bukan?"
Retta sengaja memancing lelaki di samping kirinya. Dan benar saja, pertanyaan Retta barusan membuat Gara menoleh. Sumpah! Tatapan Gara yang terkesan tajam terasa membius sekujur tubuh Retta.
"Tahu dari mana lo?"
Seulas senyum misterius terlukis di bibir Retta. "Gue tahu semua tentang lo."
"Cewek aneh," ucap Gara sambil melengos ke depan. Memperhatikan penjelasan Bu Dara yang tengah mengajar fisika.
"Lo itu ketua tim basket, kan, Gar?" Retta kembali bersuara. Entah mengapa, mulut Retta seolah segan untuk bungkam.
Gara diam. Sengaja menulikan telinga dan mengabaikan Retta. Namun, gadis itu enggan menyerah.
"Lo anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak pertama lo Samuel namanya, dia udah nikah setahun yang lalu, sekarang istrinya lagi hamil. Kakak kedua lo, Wulan, mahasiswa jurusan akuntansi semester akhir. Terus ...."
Gara melayangkan tatapan tajam pada Retta. "Bisa diem nggak?"
Dengan polosnya, Retta menggeleng. "Lo juga punya pacar, 'kan? Anak IPA 1, Diza namanya. Right?"
"Bacot!" ketus Gara sembari menatap risih ke arah Retta.
***
Pada jam istirahat pertama seperti ini, Gara biasa nongkrong di lapangan basket. Sebab sang pacar—Diza—pasti sedang mengurung diri di perpustakaan.
Jika membicarakan soal Diza, Retta merasa prihatin. Mungkin, kalau Diza tahu segala penderitaan yang ia terima selama ini akibat ulah Retta, gadis itu pasti marah besar. Ya. Dizara Arisa. Gadis cantik dengan segala penderitaannya.
Retta berniat menuju kantin saat 3 orang gadis mengadang langkahnya. Dari tampang dan gayanya, Retta dapat menebak siapa orang-orang di hadapannya sekarang.
"Gue Vio. Dan mereka temen-temen gue, Nita dan Talia," ucap Vio. "To the point aja, ya. Gue mau nawarin lo gabung ke ekskul cheers. Lo mau, 'kan?"
Hhhmmm. Sepertinya, boleh juga. Dengan ikut ekskul cheers, otomatis Retta akan sering bertemu Gara selaku anggota basket.
"Boleh," jawab Retta.
Vio tersenyum simpul. "Bagus. Mulai nanti sore, kita latihan di aula."
"Oke."
Vio, Nita, dan Talia lantas enyah dari hadapan Retta. Melihat hal itu, Retta pun melanjutkan niatnya menuju kantin. Namun sebelum ke sana, Retta memutuskan untuk ke toilet.
'BYURRR!!!'
"Gimana? Seger nggak airnya? Oh! Kurang, ya? Sini, Nit. Ini bocah masih kepanasan katanya."
Sampai di pintu toilet, Retta mendengar suara-suara yang membuat niatnya urung. Itu suara Vio. Dan Retta tahu, siapa yang menjadi korban di sana.
'PLAK!'
"Jangan mentang-mentang lo pacar Gara, lo bisa kecentilan, ya! Lo tahu kan kenapa Gara mau pacaran sama lo? Tahu kan?! Gara itu cuma kasihan sama lo! Karena lo itu cewek penyakitan! Nyusahin banyak orang tahu nggak?!"
Retta tak tahan lagi. Gadis itu melangkah masuk dengan berani. Mengabaikan tatapan bengis dari Vio dan kedua kacungnya.
"Lo nggak pa-pa, 'kan?" tanya Retta pada Diza. "Sini gue bantu." Gadis itu membantu Diza berdiri. Sekujur tubuh Diza basah kuyup. Retta dapat menangkap bekas kemerahan di pipi kiri Diza. Itu pasti bekas tamparan tadi.
"Lo, kok, bantuin dia, sih, Ret?!" protes Nita.
Usai membantu Diza berdiri, Retta melayangkan tatapan tajam ke arah 3 orang gadis di hadapannya. "Kalian bener-bener keterlaluan, ya. Diza salah apa, sih, sama kalian? Diza jahat? Diza ganggu kalian? Hah?! Terus, apa masalahnya kalau Diza pacaran sama Gara? Salah Diza kalau Gara lebih milih dia?"
Rentetan kalimat menohok dari Retta itu lantas membuat Vio, Nita, dan Talia bungkam. Ketiganya melempar tatapan bengis ke arah Retta. Lalu, mereka pergi dari toilet.
Sepeninggalan Vio dan para kacungnya, Retta menoleh ke arah Diza. "Lo bawa baju ganti, 'kan?" tanyanya.
"Lo tahu nama gue dari mana?" Alih-alih menjawab, malah pertanyaan itu yang keluar dari mulut Diza. Detik itu juga, Retta menyadari akan kesalahan fatal yang telah ia lakukan.
Retta telah mengubah alur cerita.
***
Selesai Diza mengganti seragamnya dengan yang kering, Retta mengajak gadis itu makan di kantin.
"Jadi, lo pindahan dari SMA Trijaya?" tanya Diza yang dijawab anggukan oleh Retta. "Luar kota, ya?"
Retta menggeleng. "Di Jakarta."
Kedua alis Diza bertaut heran. "Masa, sih? Perasaan, gue nggak pernah tahu."
"Ada di dunia gue."
"Maksudnya?"
Retta menyeruput es teh manis miliknya. Gadis itu tengah menikmati semangkuk bakso. Sembari menatap Diza lamat-lamat, Retta berkata lirih, "Maaf, ya, Diz."
"Maaf kenapa?" Lagi-lagi Diza dibuat heran.
"Gue udah keterlaluan sama lo."
Diza terkekeh pelan. "Soal Vio tadi? Kenapa jadi salah lo? Yang ada, tuh, gue bilang makasih sama lo. Karena lo satu-satunya orang yang mau temenan sama gue."
Retta menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Kikuk. Retta lupa, bahwa ia menciptakan karakter Diza tanpa satu pun teman. Kecuali Gara.
"Tapi, Ret. Gue masih penasaran, deh. Lo kok bisa tahu banyak tentang gue, sih?" tanya Diza. "Padahal, kan, kita baru ketemu."
"Lo terkenal kali," jawab Retta seadanya.
"Masa, sih?"
"Iya! Siapa coba yang nggak kenal Dizara Arisa di SMA Pandawa? Secara, lo itu cewek yang berhasil naklukin Gara. Cowok paling dingin di muka bumi."
Diza tertawa. "Bisa aja lo."
Di sela-sela obrolan mereka, seseorang dengan aroma maskulin tiba-tiba duduk di samping Diza.
"Nanti pulang tunggu aku," ucap Gara yang lebih terdengar seperti perintah.
"Aku ada yang jemput, Gar. Kamu, kan, ada latihan basket nanti."
"Cuma sebentar. Tunggu aku."
"Tapi, Gar—"
"Nurut aja kenapa, sih?"
Awh! Ternyata, seperti ini rasanya melihat keuwuan Gara dan Diza secara langsung. Pantas saja, Josep, Anang, dan Atha sering protes.
"BUCEN TEROSSS!!!"
Nah, kan. Belum juga Retta selesai bermonolog dalam hati, suara bernada protes itu menggema. Tiga orang lelaki yang Retta duga sahabat-sahabat Gara turut nimbrung di meja mereka.
"Eh, ada yang baru, nih." Kalau didengar dari cara bicaranya yang packboy abis, ini pasti Josep. "Lo anak baru di kelasnya Gara, 'kan? Retta?"
Retta mengangguk singkat. "Lo pasti Josep, ya?"
Josep refleks mendelik. Saking terkejutnya, cowok itu sampai memegang dada. Seolah mencegah apapun yang di dalamnya untuk tidak meloncat keluar. "Dia tahu nama gue, Bro!" seru Josep heboh.
"Bisa santai nggak, sih, Sep?! Sakit kuping gue!" protes lelaki berambut ikal di samping kiri Josep.
"NGGAK BISA! INI MOMEN LANGKA BANGET!"
"Sep ...," ujar Gara dengan tatapan siap membunuh ke arah Josep. Membuat laki-laki itu lantas nyengir.
"Iya maap, Gar."
"Kenalan dulu, dong," kata Josep lagi. Tangannya terulur ke arah Retta. "Meskipun lo udah tahu nama gue. Tapi, nggak afdal kalau nggak kenalan. Gue Josep."
"Retta," balasnya sambil menjabat tangan Josep.
"Waduhhh!!! Tangan orang cantik emang beda, ya! Mulus kek pantat bayi!" seru Josep lebay.
"Iyalah! Emang muka lo? Kek pantet kingkong," sahut laki-laki di sebelah Gara.
"Boddy shamming lo, Nang!" balas Josep, tak terima.
Retta hanya tertawa mendengar itu.
"Gue Anang." Kali ini, cowok di samping Gara yang mengajak Retta kenalan. Gadis itu pun membalasnya tanpa segan.
"Lo pasti Atha, ya?" tanya Retta pada laki-laki yang duduk persis di samping kanannya. "Ketua OSIS di sini."
"Gila! Gila! Gila! Ini mah cenayang namanya!" seru Josep heboh.
Mengabaikan Josep berserta kegilaannya, Atha membalas, "Kok, lo tahu?"
Retta tersenyum tipis. "Tahu aja."
Ternyata ... seperti ini rasanya hidup di dunia novel. Sangat menyenangkan!

Komento sa Aklat (89)

  • avatar
    SianturiSondang

    bintang⁵seru dan

    17d

      0
  • avatar
    GamingRenal

    terimakasi y

    06/07

      0
  • avatar
    Yan Wp

    saya sangat suka

    26/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata