logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 7

~Why you gonna be so rude.. don’t you know I’m human too, I wanna marry him anyway ~
Aku bernyanyi samar mendengarkan lagu, headset di kedua telingaku berdengung karena musik yang kuatur terlalu keras. Aku suka malam minggu seperti ini, bersandar di kursi lebar yang dibuat Titan di depan rumah kami, terbuat dari susunan bambu yang dikaitkan dengan pohon mangga besar. Bersantai sambil memejamkan mata, tentunya menikmati hembusan angin malam.
“DAR!”
Titan menepuk bahuku tiba-tiba. Aku membuka mata, sama sekali tidak merasa kaget. Kecewa melihat ekspresi datarku yang tidak diharapkannya, Titan menggerutu tak jelas kemudian ikut bersandar di sebelahku.
“Itu kacamata siapa?” tanyanya, heran melihatku memakai kacamata rayban di malam hari. “Ada deh.” Aku melepas kacamata itu dan menggenggamnya, malas menjawab.
“Nggak malam mingguan nih?” aku ganti bertanya, mengalihkan pembicaraan.
“Nggak lah, siapa yang mau diapelin.” Titan mengerutkan kening, aku tahu ia jarang memikirkan perempuan. Aku bahkan pernah khawatir ia pecinta sesama jenis karena baru kusadari temannya yang kebetulan perempuan hanyalah aku, selain itu tidak ada.
Ia memang punya banyak teman, tapi dari kelompoknya sendiri. Titan suka kegiatan sosial dan hal yang berunsur ilmu pengetahuan, menurutku ia terlalu kaku untuk bisa mendapatkan pacar dalam waktu dekat.
“Itu si Rani anak tetangga sebelah, kayaknya suka sama kamu. Abis tiap ke sini yang selalu ditanyain, Mas Titannya ada nggak? Mas Titan lagi kuliah ya? Mas Titan nggak sakit kan?” aku meniru gaya kemayu Rani. Ia baru lulus sekolah, dan tingkahnya terhadap Titan seperti ingin minta dinikahi.
Titan hanya tersenyum mendengarnya. “Tapi enak kan? Dapet cemilan gratis mulu.” Aku mengangguk setuju. “Bener banget, tuh Rani emang the best deh sama urusan masak memasak. Terakhir dia bawa…pan cake kalo nggak salah namanya, buat kamu.”
Untuk sekedar melihat wajah membosankan Titan, Rani rela sering datang ke rumah memberikan makanan buatannya sendiri. Kadang sedih juga melihat cintanya yang bertepuk sebelah tangan, tapi sekaligus bersyukur ada manusia yang akhirnya jatuh cinta pada Titan, setidaknya aku dan ibu mendapat untung makan gratis.
“Eh, ibu kemana Tan?” aku menengok ke rumah kami yang pintunya sedikit terbuka, tidak terdengar sayup-sayup suara televisi yang biasanya terdengar.
“Rapat Rt kayaknya.” Ucap Titan dengan nada malas, lalu mulai menguap. Aku meliriknya sebal. “Payah, baru jam segini udah ngantuk. Anak mami.” Gerutuku, tapi Titan tidak peduli, ia malah merebahkan diri pada bangku bambu dan menyanggah kepalanya dengan kedua tangan bersilangan.
“Ih, itu kan…” dua orang ibu melewati rumah kami, memandang kami lalu mulai berbisik satu sama lain. Seperti mendapat gosip untuk dibicarakan besok pagi. Aku menelan ludah kesal. Beginilah hidup di kota pinggiran, tidak ada yang boleh melanggar norma, kalau ada sesuatu yang tidak biasa mereka akan kompak mengucilkan, menganggap orang tersebut salah dan merekalah yang paling benar.
Semua berawal dari keputusan ibu mengangkat Titan sebagai anak ketika ibu merantau ke kota Jakarta seorang diri. Awalnya lingkungan mendukung dan semua berjalan dengan tenang, namun ketika Titan beranjak remaja, ibu membawa anak kandungnya yaitu diriku untuk tinggal bersamanya di sini. Warga yang melihat Titan dan aku tinggal dalam satu atap namun tidak memiliki hubungan darah mulai resah.
Mereka membujuk ibu untuk memisahkan tempat tinggal kami, namun ibu bersikeras bisa menjaga kami. Titan dan aku sangat menjaga rasa percaya ibu. Walaupun sampai sekarang kekhawatiran masyarakat tidak terbukti, tetap saja sebagian orang yang tidak suka melihat kerukunan kami membicarakan hal buruk di belakang.
“Sudahlah, tidak usah dihiraukan.” Titan yang tahu kegelisahanku kembali duduk. Dalam segi apapun, aku tahu dia lebih bisa bersikap dewasa dibanding bocah ceroboh sepertiku.
“Kenapa kita tidak membuat kamu menjadi sepupuku saja? Bukannya kamu pintar mengurus surat-surat, Tan? Setidaknya tetangga tidak mencurigai kita seperti ini terus. Lagipula bukannya mudah mengubah statusmu yang tadinya anak angkat menjadi sepupuku, anak kandung dari adik ibu yang telah meninggal misalnya.” Aku mencoba alternatif pilihan, mengingat Titan sangat ahli membuat dokumen-dokumen pribadi.
Entah belajar darimana, tapi selama aku tinggal bersamanya, ia yang mengurus akte lahir dan ijazah SMAku yang kata ibu hilang akibat banjir.

“Dari bayi setelah ibu kandungku menelantarkanku di pinggir jalan aku sudah berada di sini, Ra. Ibumu yang pertama kali menemukanku dan langsung mengangkatku sebagai anak atas bantuan sesepuh di sini. Kalau nanti statusku berubah menjadi sepupumu masyarakat malah akan semakin curiga, jadi biarkanlah mereka membicarakan kita di belakang. Kita hanya perlu menjaga nama baik ibu, Ara.”
Aku sedih mendengar kisah Titan, bagaimana pun juga ia adalah orang yang paling menderita. Ibu kandungnya meninggalkan Titan kecil seorang diri, perasaan dikhianati pasti melekat pada sosok pemuda ramah seperti dirinya.
“Apa kau tahu kabar ibu kandungmu?”
Titan memejamkan mata, seakan tidak ingin membicarakan kesedihannya. “Setelah meninggalkanku ibu mengalami tekanan jiwa yang berat, ia menghabisi sisa hidupnya di rumah sakit jiwa. Hanya itu yang kutahu. Saat usiaku menginjak remaja kuberanikan diri mencari informasi tentang ibu kandungku, walau sedikit sekali yang bisa kudapatkan tapi akhirnya aku tahu alasan kenapa ibu membuangku.” Titan menghembuskan nafas berat, ada airmata yang berusaha ia tahan.
Aku merasa bersalah karena mengungkit masa lalunya, tidak sepantasnya ia mengingat kenangan buruk itu. karena kini ia telah memiliki keluarga walau dengan cara yang berbeda. Ia memiliki ibuku yang cerewet, baik dan peduli, ia juga memiliki saudara super ajaib sepertiku, yang setidaknya bisa ia andalkan jika kena palak preman kampus. Aku harus bisa melupakan kesedihannya.
“Jadi kacamata ini milik siapa?” Titan mengambil kacamata dari tanganku, memutar-mutar dengan wajah penasaran. Ia dengan cepat bisa mengendalikan emosi yang sempat ingin meledak tadi. “Sepertinya barang mahal, kamu tidak mencurinya kan?”
“Aku tidak mencuri.” Kurebut kacamata itu, lalu kupakai kembali dengan tampang keren.
“Bagus nggak?”
“Ya, lebih bagus lagi kalau seluruh wajahmu tertutupi.” Titan tertawa sambil mengacak-acak rambutku.
“Cepat katakan siapa yang memberimu?”
“Hm… lebih tepatnya aku meminjam dan lupa mengembalikan.”
“Ara tahu dimana ia tinggal? Cepat kembalikan.” Titan selalu seperti ini, tidak suka jika aku meminjam barang. Ia seperti pen-streril yang tidak mau ada barang orang lain di dalam rumah kami lebih dari tiga hari.
“Masalahnya…” aku mulai kesulitan berbicara.
“Titan, apa menurutmu jika seseorang dipertemukan secara tidak sengaja dua kali berturut-turut dinamakan takdir?”
“Maksudmu?” dahi Titan berkerut, tidak mengerti.
“Aku bertemu lagi dengan orang kaya yang sangat tampan itu, dan sepertinya… kaca mata ini miliknya.” Aku tersenyum ragu ke Titan yang masih tidak mengerti.
“Bisa kau jelaskan lagi lebih detail?”
***

Komento sa Aklat (75)

  • avatar
    BotOrang

    bagus

    21/08

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus endingnya👍

    21/03

      0
  • avatar
    NoepRoslin

    Kalau dah jodoh tak kan ke mana. Walaupun terpisah pasti akan berdatu kembali..🥰🥰

    22/07/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata