logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 4

'Jangan pernah bertanya tentang cinta padaku
Aku tidak tahu apa-apa, dan
Tidak ingin tahu apa-apa.'
Aku sangat kesal ketika seseorang menabrakku, memecahkan semua gelas di nampanku dan bayangan bakal dipecat secara tidak hormat langsung menghantuiku. Tapi…ketika tangan orang asing itu refleks menggenggam ke dua tanganku, sorot matanya yang menghujamku dengan tatapan tajam, membuatku berhenti bernafas seketika itu juga.
Ia sangat tampan…
“Ara suka ya?”
Aku mengangguk malu-malu, masih membayangkan insiden kemarin malam. Tidak peduli siapa yang bertanya padaku.
“Ibu! Akhirnya anakmu normal juga!!” seruan Titan membangunkan lamunanku, aku langsung mengejar cowok jahil itu agar tutup mulut.
“Diam, Titan!”
Ia menghentikan larinya dan berdiri menghadap padaku.
“Jujur, kamu lagi membayangkan cowok kaya itu kan?” tatapan jahil Titan berubah serius.
“Ng…Nggak. Ara nggak membayangkan apapun.” Dari dulu aku tidak pernah bisa berbohong. Titan seperti tahu diriku luar dalam.
“Terus, kenapa marah?”
Aku diam, antara sebal dan malu. “Sudahlah Titan, lupakan saja.” Kataku akhirnya, memilih duduk di kursi kayu depan rumah.
“Aku tahu, belum pernah kulihat Ara se-syok itu melihat laki-laki. Walaupun sudah dipermalukan di depan mum, dipecat tanpa gaji, Ara masih saja memandanginya. Seperti melihat batu berkilau yang hanya boleh disentuh oleh orang-orang tertentu. Orang seperti kita? Jauh dari jangkauan.” Titan ikut duduk di sebelahku, mengetahui rasa sukaku sekaligus menyadarkanku sebelum aku jatuh terlalu dalam.
“Tenang, hanya rasa tertarik, tidak lebih. Lagipula aku juga tidak akan melihatnya lagi. Aku tahu, orang seperti dia itu…jauh dari jangkauan.” Balasku, walau secara psikologi masih belum terima.
“Ya,” Titan menepuk-nepuk bahuku, menyemangati.
“Ara hanya terpesona padanya karena ia sangat tampan, seperti wanita pada umumnya. Akhirnya kau normal juga.” Titan menekan kedua pipiku, memaksaku memajukan bibir dengan ekspresi lucu, membuat tawanya meledak. Aku mengelus kedua pipiku yang terasa panas, sangat sebal tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Sejenak aku tertegun melihatnya tertawa lepas. Titan tampak tampan disinari cahaya oranye matahari sore, rambut hitamnya melambai di terpa hembusan angin, matanya agak sipit dan baru kusadari warna matanya coklat gelap, tubuhnya bertambah tinggi dengan cepat dan bahunya terlihat lebar. Seperti laki-laki.
Ya, sahabatku telah menjadi seorang pria.
Aku tersenyum menyadari itu. Tapi sebentar, sejak kapan aku jadi memperhatikan fisik laki-laki? Oh Tuhan…sejak kapan Ara jadi segenit ini?
***
“BUK!” Liona mengalihkan perhatiannya dari bacaan majalah fashion ke Kak Sarah yang masuk ke dalam kamarnya dan langsung melemparkan diri di tempat tidur.
“Ada apa, kak?” Liona melepas headset dari telinganya, ingin mendengar cerita Kak Sarah yang akhir-akhir ini terlihat depresi. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kakaknya yang pura-pura memejamkan mata. “Kakak nggak pintar akting.” Ucapnya, membuat Sarah membuka mata dan menatap kosong atap kamar adiknya.
“Kakak benar dijodohkan, Li.”
Liona memandang kakaknya lebih lekat, agak terkejut. “Papa nggak punya perasaan ya, kak? Masa baru umur delapan belas udah dijodohin aja. Zaman kan udah nggak kayak dulu lagi.” Gerutu Liona, namun tidak bisa membantu banyak karena Papa mereka terkenal otoriter dan galak.
“Kakak dijodohkan udah dari dulu, Li. Tahun ini kakak harus tunangan.”
“Apa? Tunangan?!” Liona hampir berteriak histeris, Sarah segera menutup mulut adiknya agar jangan berisik. Ia tidak ingin ada yang mendengar curhatannya.
“Kok bisa? Wah, ini udah melampaui batas kak. Kak Sarah harus berontak, bilang sama papa kalo kakak nggak setuju.”
“Memang ada yang bisa menolak perintah papa? Nggak ada Liona, apalagi perusahaan papa sedang terlilit banyak hutang.” Sarah kembali duduk di samping adiknya, berusaha untuk tetap tegar.
“Dan secara tidak langsung papa sama saja menjual anaknya demi kepentingan perusahaan.” Liona tercekat mengatakan kebenaran itu, ucapannya malah menambah kesedihan Sarah.
Sarah menunduk, menutupi wajahnya dengan rambut gelombangnya yang tergerai indah. Ia menangis. Liona yang mendengar isakan kecil kakaknya segera memeluk, ikut menangis bersama. “Maafkan Liona, kak…” ucapnya terbata-bata. Tangis Sarah semakin keras, diikuti Liona yang memeluknya semakin erat.
Maafkan aku, kak….
Maaf tidak bisa menjadi adik yang berguna untukmu…
“Liona, bangun.” Vivi menepuk bahu Liona, lembut. Tidak biasanya ia tertidur saat materi kuliah disampaikan, Vivi yang melihat Liona tampak kelelahan memutuskan untuk membangunkan gadis cantik itu setelah materi selesai.
“Aku ketiduran ya?” Liona tersadar dengan ekspresi bangun tidur yang tetap cantik, Vivi hanya tersenyum dengan sedikit raut wajah iri melihat temannya yang selalu tampak sempurna. Namun, ada yang berbeda kali ini.
“Kamu nangis ya, Li?”
“Apa?” Liona memeriksa wajahnya, merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia terkejut namun berusaha menyesuaikan diri.
Mimpi itu terasa begitu nyata
***
“Ara! Mau kemana kamu, nak? Makan dulu gih.” Ibuku tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk kedua anak kesayangannya. Tempe goreng, oseng kankung, oseng touge, tahu, ikan asin dan tak lupa sambal goreng, semua makanan sederhana terlihat menggugah selera jika ibu yang memasak.
Titan telah lebih dulu stand by di meja makan, menunggu instruksi ibu angkatnya agar diizinkan makan duluan. Beberapa kali Ibu menepuk tangan Titan yang jahil mengambil tempe untuk mengganjal perut.
“Ara! Cepat makan, nak! Nanti Titan yang menghabiskan makananmu!” seru Ibu, tidak terima jatah makanan anak perempuannya diambil.
“Cepat, Ra! Lapar nih.”
Aku keluar kamar dengan tergesa-gesa, menarik jaket abu-abu dan tas selempangku bersamaan, tingkahku membuat suara-suara gaduh di beberapa tempat. Gayung terjatuh, derit suara pintu, dentuman buku-buku jatuh dan suara kecil lainnya yang meramaikan pagi hari. Dengan gerak cepat aku sudah mengambil piring dan berniat merampas lauk yang tersedia di meja ke piringku sendiri.
“Kamu kuliah, Ra?” tanya ibu, sudah tidak peduli dengan tangan jahil Titan yang tengah merajalela.
“Iya, bu. Ada nilai yang kurang, Ara mau minta tugas tambahan sama dosen.” Ucapku sambil tangan berebut lauk dengan Titan. Ibu hanya menggelengkan kepala, melihat nafsu makanan anak perempuannya yang setipe dengan nafsu makan pekerja bangunan.
“Terus Titan kenapa nggak kuliah?” Ibu mengerutkan kening melihat Titan yang bersikap santai dan belum mandi
“Bosan, bu.” Jawab Titan, seadanya.
“Nilai Titan kan A semua, bu. Ngapain ke kampus buat perbaikan.” Ucapku, lebih seperti menggerutu.
“Memangnya nilai kamu berapa sampai butuh perbaikan?” ibu melirikku yang hampir tersedak makanannya, menyesal telah banyak bicara. Titan diam saja, pura-pura tidak tahu.
“He…he…nilai Ara banyak C-nya bu, ada beberapa yang D jadinya perlu perbaikan.” Malu mengakuinya, tapi mau bagaimana lagi, aku memang tidak suka pelajaran teori. Dari semester pertama kuliah nilai yang paling bagus hanya nilai praktek, sedangkan nilai semua materi tergantung kebaikan hati tiap dosen.
Dan untungnya aku dikenal para dosen, banyak teman yang bilang aku easy going, ramah, dan bisa menghangatkan suasana se-killer apapun dosennya. Namun biar bagaimanapun, tetap saja aku harus mengulang, membuat otak ini bekerja keras lagi untuk yang kedua kalinya.
Ibu refleks melotot, tidak bisa menahan marah. Aku cepat-cepat merapikan piring yang tanpa sisa makanan, meminum sebanyak mungkin lalu mencium punggung tangan ibu dan melangkah cepat keluar rumah.
“ARA, IBU BELUM SELESAI BICARA!”

Aku menendang kerikil di jalan, membiarkan suara ibu yang perlahan menghilang. Dalam hati meminta maaf karena sepertinya selama hidup tidak ada yang bisa kubanggakan pada ibu. Aku mendongak menatap langit, pagi yang cerah dengan sinar yang menghangatkan. Aku menarik nafas dalam-dalam, dan kembali berjalan dengan penuh semangat.
Ketika sedang menunggu bus, aku merogoh saku jeansku dan tidak menemukan uang di dalamnya. Kurogoh lebih dalam lagi dengan wajah agak panik, menyadarkanku bahwa aku pergi ke kampus tanpa uang sepeser pun. Bagus! Aku ingin tertawa saking paniknya. Sempat berpikir pulang, tapi langsung kuurungkan mengingat omelan ibu yang belum usai.
Hm…naik apa ya yang gratis? Otak kecilku ini pun mulai berputar cepat.
***

Komento sa Aklat (75)

  • avatar
    BotOrang

    bagus

    21/08

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus endingnya👍

    21/03

      0
  • avatar
    NoepRoslin

    Kalau dah jodoh tak kan ke mana. Walaupun terpisah pasti akan berdatu kembali..🥰🥰

    22/07/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata