logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

6. Usaha Brian

"Icha? Kamu Icha, bukan?" tanya Brian antusias. Matanya menelisik wajah di depannya. Wajah yang seminggu ini selalu mengganggu pikirannya.
Gadis berkemeja merah dengan celemek hitam menempel di tubuhnya itu, mengangkat wajah yang semula tertunduk takut. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Bekerja setengah hari, setelah perkuliahan selesai menjadi pilihan untuk tambahan uang jajan. Ia sadar, tak bisa terus menggantungkan hidup pada sang ibu.
"M ... Mas Brian," ucap gadis itu terbata.
Liana yang melihat itu paham. Atasan dan pelayan itu sudah saling mengenal. Entah di mana mereka berkenalan. Namun, ia lihat di mata Brian tatapan yang berbeda ditujukan pada gadis itu. Tatapan yang sebelumnya belum pernah ia lihat sama sekali. Baik untuknya maupun beberapa kenalan wanita lainnya.
"Kamu kerja di sini?" tanya Brian.
"Iya, Mas. Maaf saya ambilkan kopinya dulu," ucap Icha. Ia bergegas saat manajer restoran tempatnya bekerja sudah memperhatikannya dari jauh.
Brian mengangguk paham. Ia harus menahan diri agar Icha tidak terkena masalah.
Bersamaan dengan itu, klien Brian datang. Tak lama kemudian, mereka terlibat pembicaraan yang serius.
Kurang lebih sekitar dua jam mereka di sana. Klien Brian sudah dari lima menit yang lalu pergi. Brian masih di tempat, ada yang ia tunggu di sini.
"Pak, ada masalah?" tanya Liana setelah membereskan berkas pertemuan hari ini.
"Hmm ... kamu bisa kembali ke kantor sendiri, Li? Saya masih mau di sini," ucap Brian.
"Baik, Pak," Liana kemudian berdiri dan dengan sopan meninggalkan atasannya.
Ada yang Brian tunggu. Ia menunggu sampai Icha selesai bekerja.
Masih dua jam lagi sampai Icha selesai bekerja. Ya, selama dua jam itu rencananya ia akan mengantar Icha pulang sekaligus meminta nomor ponselnya.
Agar tak kentara, Brian memesan minuman dan beberapa camilan. Meski, entah makanan itu akan ia makan atau tidak.
Icha menghampiri meja Brian untuk yang kesekian kali. Kali ini Icha membawa nampan berisi jus jeruk dan kentang goreng lengkap dengan saus tomat.
"Terima kasih, Cha," ucap Brian sambil tersenyum.
"Sama-sama, Mas," jawab Icha.
Hanya sebatas itu. Icha tak berani berlama-lama di meja tamu. Kalau tidak, ia akan ditegur oleh atasannya.
Brian mengamati Icha yang mondar mandir mengantarkan pesanan para tamu restoran.
Memandanginya seperti itu, membuat rasa rindu yang seminggu ini Brian pendam sedikit terobati.
Sepertinya, hatinya telah tertawan oleh gadis manis itu.
Sesekali Icha melirik heran saat melewati meja Brian untuk mengantarkan pesanan. Ia heran kenapa Brian berlama-lama di sini. Namun, gadis itu tidak terlalu memikirkannya. Icha hanya fokus bekerja agar hari pertama bekerja ini dapat ia lewati dengan mulus tanpa masalah. Gadis berusia dua puluh tahunan itu tak mau diberhentikan pada hari pertamanya bekerja.
Tak terasa adzan Maghrib berkumandang. Dua jam telah terlewati. Brian bersiap untuk ke mushola di untuk menunaikan sholat Maghrib.
Berjalan ke mushola yang tak jauh dari tempat para tamu menikmati hidangan, Brian berpapasan dengan Icha.
"Cha!" tegur Brian.
"Eh, Iya, Mas," ucap Icha.
"Pulang jam berapa?" tanya Brian.
"Habis sholat mau pulang, Mas," jawab Icha.
"Oke, aku anterin, ya," ucap Brian.
"Eh, anu, gimana, Mas? Anterin?" tanya Icha. Gadis itu takut salah dengar apa yang diucapkan Brian baru saja.
"Nanti pulangnya bareng. Aku anterin ke rumah," ucap Brian.
"Gak apa-apa, aku naik angkot aja nanti, Mas." Icha berusaha menolak secara halus. Walau bagaimanapun ia baru mengenal Brian. Tak elok rasanya jika harus langsung menerima ajakan lelaki yang baru dikenalnya.
"Santai aja, Cha. Rumahku sejalur, kok," ucap Brian.
"Hmm, kalau Mas Brian gak repot ya gak apa-apa," ucap Icha. Ia tak enak jika terus menerus menolak ajakan Brian. Sepertinya Brian juga lelaki baik-baik.
"Gak, kok. Yaudah kita sholat dulu, yuk," ajak Brian.
Akhirnya dua muda-mudi itu melaksanakan sholat Maghrib berjamaah di mushola bersama dengan jamaah yang lainnya.
***
"Cha, kamu sudah makan?" tanya Brian.
"Sudah, Mas. Memang Mas Brian lapar?" Icha balik bertanya pada Brian.
"Hehehe, tadi aku sudah makan banyak di restoran, terlalu kalau masih lapar. Emang perutku perut karet, hahahaha." Brian mencoba bercanda dengan Icha.
Icha yang mendengar guyonan Brian tersenyum.
"Maaf, Mas," ucap Icha sungkan.
"Gak apa-apa, Cha. Santai aja," jawab Brian.
"Oia, Mas Brian emang sering ke restoran tempat aku kerja?" tanya Icha.
"Iya, tiap rapat aku selalu pakai resto itu. Masakannya enak, tempatnya nyaman, apalagi sekarang ada kamu," jawab Brian.
"Eh, apa, Mas?" tanya Icha. Ia memastikan tak salah dengar.
"Eh, gak. Hehehe," jawab Brian.
"Mas Brian tadi sengaja nunggu aku?" tanya Icha.
"Ehem, gimana ya?" Brian balik bertanya. Ia malu mengakui jika ia benar menunggu Icha. Ya, setidaknya ia harus lebih berkharisma sedikit. Agar tak kentara mengejar Icha.
"Gimana apanya, Mas?" tanya Icha.
Icha menyesal bertanya pertanyaan itu pada Brian. Ia takut dicap perempuan yang kegeeran. Iya kalau benar Brian menunggunya. Kalau tidak, malulah Icha.
"Ehm, maksud aku, Mas Brian ... apa emang suka lama di sana?" tanya Icha terbata-bata.
"Ohhh, iya. Aku sering menghabiskan waktu di sana, Cha," jawab Brian.
Icha mengangguk-angguk. Ia merutuki dirinya yang keceplosan bertanya pada Brian apakah sengaja menunggunya. Mana mungkin Brian tertarik pada gadis sepertinya.
Suasana di dalam mobil menjadi canggung. Kedua anak muda itu sama-sama gugup untuk melanjutkan percakapan. Mereka bingung apa yang harus ditanyakan.
Baik Icha maupun Brian mereka berdua takut salah berkata. Mereka berdua tak ingin meninggalkan kesan buruk pada salah satu dari mereka.
Namun, rasa sepi itu sangat menyiksa Brian. Bagaimana bisa ia diam saja sementara Icha ada di sampingnya. Ia harus mendapatkan nomer ponsel Icha malam ini juga. Kalau tidak ia akan menyesal telah melewatkannya.
"Cha, kamu baru kerja di sana?" tanya Brian. Ia mencoba mencairkan suasana yang membeku sejak tadi.
"Iya, Mas. Tadi hari pertamaku. Makanya tadi aku takut banget dimarahi atasanku. Takut salah," jawab Icha.
"Eh, iya. Maafin sekretaris aku tadi, ya," ucap Brian.
"Gak apa-apa, Mas. Memang itu salahku, karena gugup aku sampai lupa bawa kopi pesanan Mas Brian," ucap Icha dengan lancar.
Brian senang suasana tak secanggung tadi.
Brian terus berpikir. Bagaimana ia bisa mendapatkan nomer ponsel Icha. Alasan apa yang akan ia gunakan agar Icha tak curiga.
Sambil terus mengobrol. Sesekali mereka tertawa berdua. Namun, Brian resah. Sebentar lagi mereka tiba di rumah Icha. Namun, ia belum menemukan alasan untuk mendapatkan nomer ponsel Icha.
Akhirnya mobil berhenti di depan rumah gadis itu. Sebuah rumah sederhana dengan halaman yang sangat asri. Bila hari terang dapat dipastikan bunga warna-warni bermekaran dengan indahnya.
"Mas, terima kasih banyak, ya. Maaf merepotkan," ucap Icha.
"Iya, gak apa-apa, Cha," jawab Brian.
Icha ke luar dari mobil. Namun, saat hendak masuk terdengar suara memanggilnya.
"Cha!" seru Brian.
"Iya, Mas?" tanya Icha. Ia urung membuka pagar rumahnya.
"Hmm ... boleh minta nomer ponselmu?" tanya Brian ragu.
Icha tak langsung menjawab. Ia memandangi Brian menatap wajah Brian yang kikuk.
"Untuk pesan kopi kalau ada rapat nanti."
Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal Brian menjadikan kopi sebagai alasan untuk meminta nomer ponsel Icha.
Bersambung

Komento sa Aklat (46)

  • avatar
    GonjangAnton

    ok makasihh

    30/06

      0
  • avatar
    SanjayaKelvin

    bagus

    14/06

      0
  • avatar
    ATIKAH llvuidt ihjkugjv Bg ti ii OKNURUL

    best

    11/05

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata