logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

6. Aku Hanya Ingin Berteman

POV Titan
***
"Udaaa, bangun!"
Aku tersentak mendengar teriakan Remon di telingaku.
"Aduhhh, jangan teriak-teriak, Re. Terkejut uda dibuatnya!" ujarku dengan sedikit kesal.
"Hfff ... habis Uda dari tadi Re bangunin, ga' bangun-bangun. Kirain Uda udah lewat!" kata Remon sambil mencoba menarik selimut tebal yang membungkus tubuhku.
"Husss ... sembarangan kalo ngomong! Emang mau uda cepat-cepat mati?" Aku mendelikkan bola mataku.
"Haha, ga'lah! Re ga' mau kehilangan Uda yang Re sayangi." Dia memelukku. Aku balas merangkulnya.
"Hehe, makanya, do'akan uda selalu sehat. Uda saja selalu mendo'akan kamu, Re. Biar ga' bernasib sial seperti uda!"
"Hmm, Re ga' suka Uda ngomong gitu. Walaupun banyak orang yang menghina Uda, selagi Re masih bernyawa, Re ga' bakalan biarin Uda nanggung sedih dan sakitnya sendirian!"
"Ahhh, makasih ya, Adekku sayang. Muaaachhh!" Aku mengecup pipinya.
"Hiii ... Uda akh, jijik! Masih bau mulutnya udah cium-cium. Sana mandi!" Remon melepaskan rangkulannya dan menyerahkan sehelai handuk kepadaku. Aku tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya.
"Makasih ya, Re!" Dia mengedipkan matanya.
Tahukah kalian teman, ini baru pukul setengah lima subuh. Sebenarnya pas Remon bangunin aku tadi, aku sudah bangun. Cuma karena masih ngantuk dan malas banget buat bangun. Sudah kebiasaan kami bangun sesubuh ini. Selalu mandi dulu sebelum menunaikan shalat fajar dan shalat subuh berjama'ah. Walau tidak ke Masjid karena rumah kami yang lumayan jauh dari kampung. Kadang kami lengkap berjama'ah bersama Ayah dan Amak dan terkadang cuma kami berdua. Seperti subuh ini, hanya aku dan Remon yang shalat berjama'ah. Amak masih ngantuk katanya, sedangkan Ayah dia selalu berusaha untuk terus berjama'ah di Masjid.
Sehabis salat subuh, aku menanak nasi pake tungku. Di dapurku yang penuh jelaga dan arang ini tidak ada kompor minyak seperti yang kulihat di buku  atau pun di kedai-kedai minuman. Yang ada hanya tiga buah batu bata yang dijadikan penopang untuk kuali atau  periuk yang digunakan untuk memasak. Di sela-sela batu bata itu dimasukkan kayu bakar yang udah kering. Untuk menghemat minyak tanah, kadang aku mencampur kayu tersebut dengan daun nyiur kelapa yang udah kering.
Dibutuhkan 'saluang' untuk meniup api atau bara yang masih kecil agar tetap menyala. Saluang api itu sejenis bambu kecil yang berongga, yang di arahkan ke dalam tungku lalu ditiup. Jangan kencang-kencang, sewajarnya saja biar baranya tidak beterbangan.
Tugas rutin ini, hanya sekadar memasak air dan menanak nasi. Kalau untuk lauk dan sambalnya itu bagian Amak. Aku belum bisa masak sambal. Palingan menggoreng telur. Masih harus belajar lagi. Cuma harus kuat belajar masak sama Amak, karena beliau, semprotannya maut.
Pukul enam kami sudah berjalan menyusuri jalan setapak dan pematang-pematang sawah yang berbelok-belok. Langit terlihat berawan. Apakah ini pertanda hujan akan turun dan membasahi tanah yang kering kerontang ini??? Aku berharap hujan turun dengan deras. Agar bumi ini hijau kembali.
Seperti biasa, Remon akan bersiul dengan riang gembira. Dia berjalan dengan penuh semangat. Di bibirnya tidak henti tersungging sebentuk senyuman. Kenapa dia bisa terlihat selalu ceria? Kadang aku iri, Remon seolah-olah ga' pernah punya masalah. Seperti pagi ini, walau kami tidak dikasih uang jajan oleh Amak, karena memang lagi tidak ada duit, dia tetap tersenyum. Beda dengan aku, aku sedikit merutuki nasib. Hfff.
"Uda, ga' apa-apa kita ga' jajan hari ini. Kan kita bawa bekal. Jangan marah sama Amak, ya?"
"Uda ga' marah, Re. Hanya sedikit merutuki nasib. Sampai kapan kemiskinan akan menyertai hidup kita ini? Uda ga' apa-apa ga' dikasih makan, ga' dikasih belanja asal kamu bisa makan, bisa jajan Re!" Kata-kataku terasa perih menghunjam jantungku. Yah, aku tidak ingin Remon terlihat miskin dan tidak punya apa-apa. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Aku hanyalah remaja kecil yang tidak tahu bagaimana cara menghasilkan duit. Duit! Sepertinya aku harus lebih berjuang untuk bisa mendapatkan uang.
"Ehh Re, kamu tahu Pak Somad 'kan? Dia lagi butuh tenaga untuk membersihkan rumahnya. Gimana kalo sepulang sekolah nanti kita ke rumah beliau? Hitung-hitung dapat uang jajan?"
"Wah, bagus itu Uda. Ntar kita pulang jam dua, ya, langsung ke sana aja kita?"
"Iya, langsung ke sana aja. Kita 'kan selalu bawa baju ganti. Jadi amanlah." Aku tersenyum senang. Aku rangkul pundak Remon, adikku sayang.
Menit terus berlalu dan kami sudah memasuki jalan besar menuju sekolah. Masih ada sekitar satu setengah kilo lagi agar sampai di sekolah. Aku masih berdebar-debar, kira-kira hal buruk apa lagi yang akan terjadi. Sumbernya cuma satu. Robin. Aku tidak takut sama dia, tapi aku juga tidak berani melawan dia. Robin, siapa, sih, yang tidak kenal dia. Kenakalannya sudah menjadi buah bibir, baik di sekolah mau pun di kampung. Tapi sebandel-bandelnya dia, aku tetap heran. Dia selalu juara kelas. Entah bagaimana caranya dia menyerap pelajaran.
Sudah banyak guru cewek yang menangis ulah kelakuannya. Seperti minggu kemarin, ketika Ibu Rini masuk ke dalam kelas. Dia berbisik-bisik dengan Hadi, teman sebangkunya dia. Bukan bisikan biasa, sih, tapi lumayan bisa didengar oleh seisi kelas.
"Di, itu Ibu Oshin, Ajinomotonya ga' laku,  ya, sampai-sampai harus ngajar matematika di sekolah ini?"
Ibu Rni yang sedang menulis di papan tulis sontak berhenti dan membalikkan badannya. Wajahnya terlihat marah menahan marah.
"Siapa yang barusan bicara?" bentaknya. Kami semua diam. Termasuk si Robin. Dia pura-pura merasa tidak bersalah. Ikut celingak-celinguk.
"Ayo jawab, siapa yang barusan menghina saya?" teriaknya lagi. Ibu Rini memang terlihat lucu sekali. Badannya kecil mungil, mengenakan rok kembang dengan rambut disanggul. Matanya sipit dan kulitnya putih pucat. Makanya anak-anak sering nyebut dia Oshin. Kabarnya sih itu salah satu film Jepang yang dulu ngetren ditahun 90-an.
Kami tetap diam tanpa suara. Bu Rini, menatap Robin dalam-dalam.
"Saya hanya ingin kalian jujur walau sebenarnya saya tahu siapa biangnya. Kalau masih tidak ada yang bicara saya tidak akan mengajar di kelas ini lagi!" ancamnya dengan mata berapi-api. Perlahan-lahan Robin berdiri. Dia maju ke depan. Bu Rini menghela nafasnya panjang.
"Maaf Bu!"ujarnya pelan, "Saya permisi keluar sebentar. Mau boker, nih, Bu. Silahkan dilanjutkan marah-marahnya."
Kami semua melongo mendengar kata-kata Robin, termasuk Ibu Rini. Robin bahkan dengan santainya melenggang keluar. Tanpa merasa bersalah sama sekali. Ibu Rini mengedarkan kembali pandangannya. Lalu tanpa bicara lagi dia mengemasi barang-barangnya dan akhirnya keluar dari kelas dengan mata basah.
Itu baru satu contoh. Tapi tetap aku yang sering dia buli. Capek ada juga, marah jangan ditanya. Sebentar lagi aku dan Remon sampai di sekolah. Anak-anak dari daerah lain pun sudah terlihat. Badanku terasa basah oleh keringat. Ketika aku sampai di gerbang, tiba-tiba aku melihat Robin sedang berdiri di bawah pohon kelapa. Wajahnya terlihat pucat. Sedikit kuyu aku rasa. Wajah yang menunjukkan kelelahan. Sesaat aku simpati padanya sebelun akhirnya dia melihatku. Kembali matanya dibaluri api. Aku segera melangkah dengan cepat sebelum dia mengerjaiku lagi.
"Re, sampai ketemu jam istirahat, ya? Belajar yang rajin!" ujarku sambil tersenyum ke Remon.
"Baik Uda! Sampai ketemu!"
Ini dia, seperti biasa. Ketika aku sampai di pintu masuk kelas, puluhan mata memandangku. Sinis dan meremehkan. Aku menundukkan kepalaku. Dan menuju pojok paling sudut di dalam kelas di mana hanya aku sendiri duduk di sana. Terisolir.
Ga' ada yang mau bicara denganku. Semua orang bersatu menjauhiku. Dengan alasan aku anak orang pezina yang terusir dari kampung. Sebuah cerita yang sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana persisnya. Dan aku sudah capek bertanya sama Ayah dan Amak. Mungkin belum saatnya.
Tiba-tiba segumpal kertas melayang. Hinggap di kepalaku. Kulihat Riki, centengnya Robin cengengesan. Aku hanya menundukkan kepala. Bukan aku takut, aku hanya tidak ingin membuat keributan.
Sekali lagi kertas melayang. Kali ini ditindihi gelak tawa mereka.
"Menghindar donk, Ncong! Terima saja kamu ditimpukin. Senang ya kita jadikan mainan?" teriak Hadi. Aku hanya diam, malah kepalaku makin aku tundukkan. Mungkin karena aku tidak meladeni mereka, mereka jadi capek sendiri.
Tidak lama bosnya datang, si Robin. Wajahnya masih terlihat pucat. Mungkin dia sakit. Bibirnya kering dan entahlah, dia terlihat lesu.
"Napa kamu, Bin? Tumben loyo?" Hadi merangkul bahu Robin, tapi Robin seketika menyentakkan tangannya Hadi.
"Jaga tangan kotormu itu! Jangan pernah menyentuh aku sedikit pun! Aku lagi ga' pengen bicara. Jadi tutup mulutmu dan diam!" Kata-kata yang kudengar terasa begitu sok. Aku hanya tersenyum kecil melihat Hadi dan Riki mengkerut takut.
Hadi dan Riki saling pandang. Mungkin mereka juga tidak suka dibentak seperti itu. Tapi memang dasar mereka kacung,  yah, ga' bisa apa-apa.
Aku kembali menundukkan kepalaku dengan cepat ketika kulihat Robin menatapku sejenak. Tatapan apa itu? Mengerikan! Apa dia ada masalah lagi denganku? Aku harus bisa menjauhinya hari ini.

Komento sa Aklat (34)

  • avatar
    Bin KamaludinKhairunnaim

    kon

    01/03

      0
  • avatar
    Arjuna Anji

    very good

    04/04/2023

      0
  • avatar
    Melsya Tresnane Widodo

    seru ceritanya

    18/02/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata