logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

5. Sejarah Kelam Hukum Adat

Pov Author:
Sementara itu di tempat lain, seorang lelaki tercenung menatap api yang membakar rumput kering sisa makanan sapi di dekat kandang yang berada di kebun miliknya. Bertahun-tahun sudah dia menjadi seorang petani. Memiliki isteri yang selalu mengeluhkan kemiskinannya, dengan dua orang anak lelaki yang tumbuh remaja. Anak-anak yang berbudi baik. Anak-anak yang tidak pernah menuntut lebih kepadanya atau kepada ibunya.
Sebenarnya dia-lelaki itu- Pak Andi- ayahnya Titan dan Remon, merasa sangat kesal dengan orang-orang yang menjahili buah hatinya. Tapi dia memang tidak bisa berbuat apa-apa. Hukum adat telah memasung semua hak-haknya. Akh, andai saja ....
Sesaat, pikirannya menerawang ke masa silam, masa yang sangat memilukan.
"Bunuh! Bakar saja dia, Pak Wali! Anjing kurap, kotoran babi! Sampah tidak berguna! Bunuh ...! Bakarrr!"
Hingar-bingar​ teriakan di halaman Rumah Gadang itu terasa begitu menakutkan bagi Andi. Ibu dan bapaknya sudah bersimpuh di hadapan masyarakat kampung untuk tidak menghakiminya.
"Tolonglah, Pak, jangan bunuh anak kami. Cuma Andi anak kami satu-satunya. Kami mohon, Pak!" Ibunya memeluk kaki lelaki setengah baya yang berwajah dingin itu. Saat ini keputusan ada di tangan Wali Nagari dan Pemangku Adat. Nagari sudah tercoreng oleh ulah Andi. Andi yang alim, yang terkenal sebagai lelaki Masjid, ternyata tidak lebih dari seorang pezina hina-dina. Dia telah membuntingi salah satu anak gadis orang kaya-raya dan terpandang di kampung itu.
"Anak kalian telah membuat aib di kampung ini. Susah payah kita menjaga supaya nagari ini selamat dari dosa, tapi anak lelaki kalian tega berbuat nista! Dia harus dihukum!" Pak Wali Nagari yang berwajah dingin itu menatap kobaran api yang ada di tangan masing-masing warga. Warga terlihat begitu murka. Tanpa mereka sadari, salah seorang pria dekat kerumunan itu, mencoba naik ke atas Rumah Gadang, dalam hitungan menit dia berhasil menyeret Andi keluar dari dalam kamarnya.
"Bunuh .... Bakar ...! Habisi tanpa sisaaa!" teriaknya sambil menarik tangan Andi yang meratap minta ampun.
"Bundooo, tolong Andi, Bundooo! Tolong Ayah! Andi tidak mau mati! Tolong ...!" Tubuhnya makin terseret ke tengah khalayak ramai. Tanpa dikomando, tendangan dan pukulan mendarat di tubuhnya. Ibu dan Ayahnya makin menjerit-jerit, memohon untuk tidak menyiksa Andi.
"Hentikan!" Teriakan menggelegar keluar dari mulut Pak Wali. Sontak suasana menjadi sunyi senyap. Ibunya Andi terisak-isak menahan tangis. Deru nafas warga seolah menyatu dengan hembusan angin malam.
"Tidak ada yang boleh menyentuhnya sebelum aku memberikan keputusan!" ancam Pak Wali sambil membesarkan matanya ke warga. Semua orang menunduk. Semua orang takut kalau Pak Wali marah. Siapa pun tahu, kalau Pak Wali orang berilmu tinggi. Kanuragan dan batinnya sudah tidak diragukan lagi. Belum ada yang mampu menandinginya.
Andi wajahnya sudah babak belur. Darah kental mengalir dari mulutnya bercampur dengan ludah. Matanya lebam. Dia terlihat susah bergerak,  mungkin ada tulangnya yang patah.
"Malam ini, lelaki ini, akan kita sidang di balai-balai (balairung) adat. Apa pun keputusannya harus dia terima."
Semua orang masih diam. Para Tetua Adat berbisik-bisik dengan Pak Wali.
"Bawa dia!" perintah Pak Wali kepada dua orang lelaki kekar di sampingnya. Semua orang berbondong-bondong mengikuti Pak Wali dan Andi yang diseret ke balairung adat. Ibu dan ayahnya sambil menangis dan tergopoh-gopoh mengikuti dari belakang. Istighfar dan do'a tidak putus-putus dari bibir kedua orang tua itu.
"Andi ... Anak bundooo .... Ya Allah, selamatkan anak kami ...!" Dengan tertatih-tatih suami isteri itu mengikuti rombongan yang mengarak Andi ke balairung adat.
Suasana terasa senyap. Hanya terdengar lentingan percikan api obor di tangan warga. Malam tak berbintang, bulan pun tak mewujud.
"Sesuai keputusan adat, anak lelaki yang bernama Andi, harus menikahi wanita yang dizinainya. Lelaki pezina hanya untuk wanita pezina. Dan membayar denda ke kampung. Setelah mereka dinikahkan, mereka akan dikucilkan dari hubungan masyarakat. Mereka akan tinggal di daerah yang berada di luar kampung. Apa pun keperluannya di kampung ini, dia tidak punya hak dan kewajiban. Hukum telah diputuskan. Malam ini, sidang adat ini berakhir!"
Mendengar putusan Pak Wali, ibu dan bapak Andi hanya bisa menangis sambil memeluk buah hati mereka yang menggerung histeris. Tidak pernah terbayangkan oleh Andi kalau dia akan dikucilkan.
***
"Onde mande, Nak oiii, dosa apa yang bunda lakukan sehingga ditimpa azab seperti ini!? Anak gadis nan aku manja, nan aku sayang, nan aku cinta, tega membuat malu dan mencoreng nama baik keluarga. Ke mana muka akan dicurukkan, Nak oiiii ... onde mandeeee ...." Sementara itu, sebelum hukum dijatuhkan ke Andi, seorang ibu paruh baya meratap histeris di depan anaknya yang pucat pasi. Mata anak gadisnya itu sudah bengkak karena terlalu lama menangis.
Brak!
Pintu kamarnya didobrak secara paksa oleh orang yang baru datang. Mandor Mahmud, ayahnya, menggertakkan rahang begitu melihat putrinya itu terisak-isak.
"Putusan nagari sudah turun. Kau akan dinikahkan dengan lelaki yang menzinaimu. Setelah ini selesai, jangan kau injakkan lagi kakimu di rumah ini. Jangan pernah kau memanggil aku ayahmu lagi. Sudah cukup aib dan dosa yang kau timpakan ke keluarga ini." Suara lelaki itu tajam menusuk. Membuat anak gadisnya itu meraung.
"Onde mande, Yah oi ... Ampunilah ambo, Yah ... Sudah buruk benar nasib badan diri. Tak bisa anakmu ini menjaga diri dan kehormatan. Ampuni ambo,  Bundoo!" Si gadis hendak merangkul bundanya, namun tangannya segera ditarik oleh Mandor Mahmud.
"Sekarang tidak ada lagi gunanya kau meratap. Penyesalan selalu datang terlambat. Berkiraplah kau dari sini! Usah kau injakkan lagi kaki kotormu itu di rumah ini!"
"Nur .... Anak bundooo ..., onde Nur, kenapa begini jadinya, Nur, oi!" Bundanya terus meratapi kepergian anaknya yang diseret paksa oleh suaminya menuju balairung desa.
***
Kedua pasangan itu dinikahkan secara cepat di depan masyarakat kampung. Malam ini mereka akan segera diungsikan. Harus keluar dari kampung. Andi yang masih babak belur berjalan menuju di mana seorang lelaki tampan berdiri dengan congkaknya, menyilangkan tangannya di dadanya.
"Puas kamu, Randu? Puas kamu melihat aku terusir dari kampung ini? Ingat sumpahku ini, Randu, aku tidak rela dunia dan akhirat. Kamu tidak akan pernah merasa bahagia lagi. Wahai bumi, wahai langit! Dengar sumpahku ini!"
Seiring dengan selesainya teriakan Andi, guntur menggelegar di angkasa.
"Patuih tungga!" teriak orang banyak terkejut. Sementara itu lelaki yang dipanggil Randu, pucat wajahnya mendengar kata-kata Andi.
"Banyak bicara kau! Pezina malang! Berulang kali kuingatkan. Tapi kau tak pernah bisa menjaga kelamin kau tu! Kau rasakanlah akibat perbuatan kau tu!" Randu mendorong tubuh Andi hingga tertelentang.
Semua orang kembali bersorak-sorai.
"Usir ... usir ... usir!" Begitu mereka berteriak sambil terus mendorong tubuh Andi dan Nurmala. Hingga ketika sampai di perkebunan yang memisahkan kampung. Kedua insan anak manusia yang kena laknat itu disuruh untuk terus berjalan. Menuju sebidang tanah dengan sebuah pondok kayu yang diberikan ayah Nurmala. Bagaimana pun sakit hatinya seorang bapak, dia masih tidak tega membiarkan anaknya beralas tanah beratapkan langit. Sehingga bertahun-tahun, ke dua orang itu dikucilkan dari masyarakat.
***
Seiring dengan jauhnya Andi dan Nurmala dari pandangan mata, Randu merasakan dadanya berdebar kencang. Perasaannya tidak enak dan tenang. Dia berlari kembali ke kampung. Tanpa dia sangka dan dia duga, hujan pun turun deras mengguyur bumi. Malam itu semuanya jadi beku, sebeku hati Andi dan Nurmala.
***
Pak Andi menyiram sisa pembakaran rumput kering itu dengan kencingnya. Kemudian menginjak-injaknya sehingga api itu jadi padam.
Dia memastikan kandang sapinya sudah terkunci dengan aman sebelum perlahan-lahan keluar dari tempat itu. Sudah pukul dua pagi. Badannya sungguh letih, tapi letih lagi batinnya.
"Lelaki tidak berguna! Burungmu saja yang besar! Otakmu kecil!" Dia selalu mengingat makian Nurmala kepadanya. Keluhan, kemarahan, kebencian yang tidak ada habisnya.
Akh Nur, tidak bisakah kamu berdamai dengan masa lalu?

Komento sa Aklat (34)

  • avatar
    Bin KamaludinKhairunnaim

    kon

    01/03

      0
  • avatar
    Arjuna Anji

    very good

    04/04/2023

      0
  • avatar
    Melsya Tresnane Widodo

    seru ceritanya

    18/02/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata