logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

4. Sang Pelindungku

Titan View:
Lututku berdarah. Tangan tergores terkena bebatuan cadas ketika aku dan Remon terjatuh di jalan yang menurun. Rasa takut yang tadi begitu hebatnya berganti dengan rasa marah yang teramat sangat. Marah pada keadaanku yang lemah, marah atas ketidakberdayaanku.
Robin!
Tak henti-hentinya makhluk satu itu menggangguku.
"Re, kamu ga' apa-apa?" Aku berjalan tertatih-tatih dalam rangkulan Remon. Lututku sakit sekali. Remon mengusap matanya. Sepertinya dia menangis.
"Re ga' apa-apa, Uda. Re hanya kesal sama si Robin. Sampai kapan dia akan bersikap jahil begini ke kita, ke Uda khususnya. Jangan sampai aku memotong kepalanya dan membuang mayatnya ke jurang!"
"Tsssss ...!" Aku menahan tubuhnya. Kata-katanya barusan membuat aku takut. "Kamu tidak boleh berpikir begitu, Re. Uda tidak mau kamu menjadi orang jahat. Ingat Re, setiap kejahatan pasti akan dibalas oleh Tuhan. Kita sabar saja, ya?"
Aku memeluk tubuhnya, mendekatkan kepalaku ke lehernya. Kuusap-usap punggungnya.
"Uda, Re hanya kesal sama tingkah lakunya. Kenapa dia begitu bahagia melihat Uda tersiksa? Sakit jiwakah dia?"
"Husss, sudah! Yang penting kamu ga' apa-apa 'kan, Re?"
"Iya Uda, hanya lecet sedikit di betis. Uda kuat jalan?" Remon kembali merangkulkan tanganku di bahunya.
"Kuat. Tapi pelan-pelan aja, ya, Re, lutut Uda berdarah dan sakit!" bisikku ke telinganya. Karena perihnya mulai menusuk-nusuk.
"Berdarah?" Remon terkejut mendengar kata-kataku. Dia langsung melepaskan rangkulannya dan mendudukkanku di batu besar. Tangannya meraih sesuatu dari saku celananya. Sebuah senter.
"Re periksa dulu, Uda!" Dengan senter kecil di tangannya Remon menyinari lututku, memang berdarah dan luka disana.
"Brengsek, tuh, si Robin! Kalau ketemu lagi akan aku buat dia babak belur." Remon geram sekali. Dia berdiri dan berjalan mendekati pagar yang memagari perkebunan di samping jalan kecil ini. Dia mematahkan beberapa helai daun Jarak. Tidak lama kemudian dia mendekatiku.
"Tahan, ya, Uda, Re oleskan getah daun Jarak ini biar lukanya cepat kering!"
Aku menganggukkan kepalaku lemah. Ah, Re, aku sayang sama kamu. Aku merapatkan gigiku ketika getah daun Jarak itu menyatu dengan kulitku yang luka. Perih dan sedikit ngilu. Remon juga memberikan getah tersebut di luka-lukaku yang lain.
"Gimana Uda? Masih sakit?" Remon menatap mataku.
Aku tersenyum. Kuusap kepalanya lembut.
"Udah baikan, Re. Makasih, ya? Sini getahnya biar Uda oleskan juga ke betis kamu yang luka."
Jalan menuju rumahku seperti lagu yang sering kudengar dari teman-teman sekolah," mendaki gunung turun ke lembah", kadang mendatar, kadang menurun, kadang mendaki, membuatku harus serba hati-hati dalam berjalan. Rumahku memang terpencil dari perkampungan penduduk, ada pun tetangga cuma satu-satu dan itu jaraknya pun berjauhan. Kami sekeluarga seolah terisolir. Pernah kutanya ke Ayah kenapa rumah kami sedemikian jauh dari pemukiman penduduk, Ayah hanya tersenyum sambil mengusap kepalaku. Aku takut bertanya pada Amak, karena dulu Remon pernah bertanya, dia malah menangis meraung-raung sambil memukul-mukul dadanya. Amak sangat sensitif, sehingga kami harus serba hati-hati dalam bertanya.
Sekali-kali Remon menggendongku di punggungnya ketika jalannya agak lumayan menurun. Sungguh, entah bagaimana aku tanpa dia. Lagi-lagi aku merasa tidak berguna.
***
Malam terus merangkak. Kami sampai di rumah ketika Amak, kulihat sedang membaca Al-Qur'an. Suara Amak antara terdengar dan tidak. Dia terlihat begitu khusuk. Dia mengakhiri bacaannya ketika dia mendengar kami menutup pintu.
"Anak Amak sudah pulang?" tanyanya sambil membuka mukena dari tubuhnya. Kami menunduk takut, aku masih dirangkul oleh Remon.
"Sudah Mak, baru sampai!" ujarku sambil berjalan tertatih.
"Titan!" panggilnya ketika aku hendak memasuki bilik. "Kenapa kakimu?"
Aku orang yang tidak bisa berbohong. Jantungku serasa menggigil.
"Titan ... Titan tadi ...!" Suaraku seperti tercekik di tenggorokan.
"Terjatuh, Mak!" lanjut Remon dengan tegas. "Tadi kami melihat ular besar, kaget dan lari tunggang langgang, Mak!" Sempurna, dusta Remon sangat sempurna. Aku hanya menundukkan kepala ketika Amak mulai memeriksa luka-lukaku.
"Aduh, harus hati-hati, Nak. Kalau lihat ular, diam saja. Dia tidak bakalan ganggu kalian. Udah dikasih daun Jarak luka-lukanya?"
"Sud ... sudah, Mak," ujarku gugup.
"Ya sudah. Sekarang ganti pakaian kalian. Siapkan perlengkapan buat sekolah besok. Amak pagi-pagi harus ke pasar. Jadi, kalian buat sarapan sendiri, ya?"
"Iya, Mak!" jawab kami serempak. Amak memeriksa pintu masuk. Kebiasaannya untuk selalu memeriksa segala sesuatunya. Aman atau tidak. Walau kadang aku tertawa geli di dalam hati, seandainya pun ada pencuri, apa yang akan dicuri di rumah sederhana dan miskin ini?
"Ayah mana, Mak?" tanya Remon sambil meminum segelas air. Wajahnya yang tadi pucat terlihat segar kembali. Dia memberikanku segelas air ketika aku menatapnya. Aku meminumnya dengan penuh selera. Terasa segar dan nikmat. Padahal cuma air putih biasa.
"Akh, Ayah kalian itu tahu sajalah. Palingan masih di warung kampung. Dasar pengangguran seperti itu tidak usah kalian pikirkan." Amak mendengkus kesal.
Huff, Ayah!
Selalu saja pulang ke rumah ketika jam dua belas. Kadang kasihan Amak sering ditinggal seperti ini. Tapi Amak juga aneh, kalau Ayah ada bawaannya marah-marah mulu. Apa pun yang dilakukan Ayah selalu saja salah.
"Uda, ayo ke kamar. Re udah ngantuk." Remon lagi-lagi merangkulkan tanganku ke bahunya.
"Mak, kami tidur dulu."
"Iya ... Mimpi yang indah, ya, Nak? Jangan lupa berdo'a." Mak mengecup pipi kami sebelum akhirnya kami terdampar di bilik gelap dan sempit ini.
Aku menaiki dipan yang cuma muat untuk dua orang itu. Memang hanya bisa untuk tidur telentang, telungkup, miring ke kiri dan ke kanan. Ga' bisa bergerak macam-macam. Aku tidurnya diam, beda dengan Remon yang grasak-grusuk.
Kadang aku harus memeluknya erat-erat agar tidak lasak dan banyak bergerak.
"Uda, masih sakit kakinya?" Remon menaiki dipan dan tidur di sampingku.
"Ga' sakit banget. Sudah mendingan. Cuma terasa pegal kaki Uda, Re."
"Mau Re pijitin?"
"Ga' usah, Re. Biarkan saja. Lagian ini sudah malam. Besok kita mesti bangun pagi-pagi. Sekolah juga begitu jauh." Aku menghela nafas dalam-dalam. Sesak.
Remon memeluk tubuhku.
"Re sayang sama Uda. Uda jangan sedih,  ya?"
Bagaimana aku tidak sedih, Re. Aku sebagai seorang kakak tidak bisa menjaga diriku sendiri, apa lagi melindungimu. Aku merasa tercipta sebagai makhluk yang tidak berguna. Tidak terasa air mata meleleh di sudut mataku.
Aku mendengar deru nafas Remon yang teratur. Kasihan adikku ini. Aku mencium keningnya sambil berdo'a semoga kami selalu diberi kesehatan. Dijauhkan dari segala penyakit. Amin.
Aku bangkit dari tidurku dan menyelimuti tubuh kami berdua. Kembali aku berdo'a kepada Tuhan, semoga selalu diberi ketenangan lahir dan batin. Dijauhkan segala kesedihan. Amin.

Komento sa Aklat (34)

  • avatar
    Bin KamaludinKhairunnaim

    kon

    01/03

      0
  • avatar
    Arjuna Anji

    very good

    04/04/2023

      0
  • avatar
    Melsya Tresnane Widodo

    seru ceritanya

    18/02/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata