logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 43 THE END

BAB 43
AKHIR KISAH
ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU.
Berkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan.
"Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?" tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.
Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?
Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode silent. Ah, syukurlah, lelaki itu rupanya masih menganggapku penting. Atau mungkin aku saja yang menilai berlebihan.
Segera saja aku menghubunginya kembali, baru deringan kedua, Hendra sudah mengangkat panggilanku.
"Halo, Assalamualaikum. Ada apa, Nay? Kenapa menelepon sampai sebanyak itu?" tanya Hendra dari ujung telefon dengan suara cemas.
"Waalaikumsalam, aku khawatir sama kamu. Tiba-tiba saja perasaanku tak enak. Kenapa kamu memutuskan sambungan teleponku begitu saja? Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyaku menggebu-gebu karena rasa penasaran.
"Maaf, tadi ada sesuatu hal tentang pekerjaan yang mengharuskan aku fokus, Nay. Maafin aku, ya? Tak ada sedikit pun niatku untuk tak memperdulikan dirimu," ujar Hendra dipenuhi perasaan bersalah.
"Tak apa, sekarang sudah selesai?" tanyaku memastikan.
"Sudah kok. Memang ada apa kamu menghubungi ku? Apa ada sesuatu yang penting ingin kamu sampaikan?" tanya Hendra.
"Aku hanya ingin membahas tentang pernikahan kita," ujarku mantap.
Dan mengalir lah obrolan kami seputar konsep pernikahan, sewa gedung, makeup, sovenir dan lain sebagainya. Membahas hal menyenangkan seperti itu membuatku lupa menanyakan siapa wanita yang kudengar suaranya dalam telepon kemarin. Ah, biar saja, mungkin dia rekannya Hendra dan mereka sedang membahas masalah pekerjaan. Tak mengapa, aku percaya pada Hendra. Dia tak mungkin bertingkah aneh-aneh apalagi melukaiku. Bukankah dia sudah berjanji sebelumnya?
Pernikahanku sudah ditetapkan tanggalnya, sekitar tiga minggu lagi. Cepat memang, Hendra sengaja menyewa Wedding Organizer yang terkenal bagus dan cekatan serta tak perlu diragukan lagi performanya. Tentu saja hal itu membuatku senang dan terharu. Sebentar lagi aku akan menyandang status sebagai istri, lagi. Oh, ya ... aku sampai lupa. Besok aku berniat akan menemui Rosa dan Mas Frengky. Aku belum sempat memberikan kabar baik ini kepada mereka. Biarlah akan menjadi kejutan esok hari. Aku akan berangkat sendirian ke sana, Bu Wak melarangku bertemu dengan Hendra jika tak penting, setidaknya sampai hari pernikahan tiba. Ayah dan Ibu pun berjanji akan datang ke rumahku satu minggu sebelum acara dimulai. Biarlah aku ingin menghabiskan waktu bermanja-manja dengan mereka sebelum meninggalkan gelar jandaku.
Aku masih tak mengerti, kenapa aku dipingit tak diperbolehkan bertemu dengan Hendra. Tapi, kata Bu Wak ambil saja sisi positifnya. Agar greget saat bertemu lagi di pelaminan nanti, biar rasa rindunya muncul begitu. Ah, Bu Wak ada-ada saja. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Aku jadi malu jika membayangkan temu rindu di malam pertama nanti, ah ... bahkan aku sudah pernah mengalaminya. Tapi, tetap saja pipiku merona jika membahas hal tersebut. Lagi pula kali ini kan dengan orang yang berbeda. Pantas jika aku merasa malu dan sedikit canggung.
Aku pun memutuskan untuk beristirahat, tidur tak terlalu larut. Karena besok aku akan menemui Rosa setelah melihat keadaan Mas Frengky.
*
Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk menuju ke tempat Mas Frengky. Dengan menggunakan kulot dan outer yang serasi dipadu dengan hijab santai, membuatku terlihat anggun namun berkelas. Tentu saja.
Aku mengendarai jazz andalan ku untuk menemui Mas Frengky terlebih dahulu. Sesampainya di sana, petugas memberikan informasi bahwa keputusan banding hukuman untuk Mas Frengky akan ditetapkan dua hari lagi. Tentu saja aku senang, akhirnya pihak kepolisian mau memberikan kejelasan serta keadilan. Mas Frengky akan dihukum selama sepuluh tahun kurungan penjara atau setidaknya hukuman denda senilai sepuluh miliar.
Tak apa, meskipun jauh dari keinginanku. Tapi, itu lebih baik daripada hanya dipenjara selama 9 bulan, itu pun masih bisa dipotong dan menjadi ringan hanya 2 bulan. Aku tak terima jika begitu. Namun, saat mendengar petugas tadi mengatakan sepuluh tahun, setidak nya itu cukup membuat hatiku senang, walaupun belum lega. Karena nyawa Cahaya yang dijadikan taruhannya.
Aku dipersilakan masuk menemui Mas Frengky. Terlihat tubuhnya semakin kurus dari terakhir kali yang kulihat. Wajahnya tak terawat, terlihat kusam dengan rambut nyaris botak. Aneh melihat penampilan Mas Frengky yang dulu keren, sekarang mirip kaum duafa. Biar saja, toh itu salahnya sendiri. Mengorbankan buah hatinya demi menikmati daging yang tentu saja sebenarnya aku juga punya.
"Nayla ... kamu ke sini?" tanya Mas Frengky menyambutku dengan mata berbinar.
"Iya, aku ke sini hanya ingin memberitahumu bahwa bulan depan aku akan menikah, Mas. Itu saja," ucapku datar.
Mas Frengky terlihat kaget dan menggeleng. Mungkin dia tak percaya jika aku berani menikah lagi dalam waktu yang belum cukup lama setelah bercerai darinya.
"M-menikah lagi? Dengan siapa, Nay?" tanya Mas Frengky lirih.
"Dengan Hendra, terima kasih atas pelajaran hidup yang kamu berikan padaku, Mas. Apa kamu tahu? Bahkan sekarang pun, Ibu dan kedua adikmu tak sudi menerima kenyataan yang menimpamu. Ke mana mereka saat kamu terpuruk seperti ini?" tanyaku sedikit merendahkan.
"Kamu jangan ngomong sembarangan, Ibu dan Reno sedang berusaha mencarikan aku dana untuk membebaskan aku secepatnya!" ujar Mas Frengky dengan nada angkuh.
Aku tertawa, lihatlah ... lelaki di depanku ini masih saja naif. Padahal di luar sana, tak semenit pun terpikirkan oleh Bu Romlah akan mengeluarkan Mas Frengky dari sini. Dia asyik menikmati harta menantu barunya tanpa memikirkan kondisi putra sulungnya yang sudah banyak membantu semasa hidupnya.
"Mencarikan dana? Memang benar Ibumu mencari dana, Mas. Tapi sayangnya, dana itu bukan untuk membebaskan dirimu dari sini, melainkan untuk hidup berfoya-foya tanpa memikirkan dirimu lagi. Apa kau tak sadar, Mas? Ibumu hanya akan membelamu jika uangmu banyak. Setelah miskin begini, menoleh saja pun rasanya enggan. Dia akan lebih memilih kehilangan satu anak tak berguna sepertimu dari pada kehilangan pundi-pundi rupiahnya untuk membebaskanmu. Lagi pula, apa lagi yang dia harapkan darimu? Mengingat untuk mengurus diri sendiri saja kamu tak mampu, Mas! Kasihan sekali nasibmu sekarang. Keluargamu tak mau lagi menganggapmu, sedangkan wanita selingkuhan yang kamu puja-puja malah ikut mendekam bersamamu. Tapi, lihatlah ... wanita yang kamu sia-siakan, kamu rampas harta dan kebahagiaannya. Kini bisa hidup lebih bahagia dari apa yang kamu janjikan. Setidaknya, inilah yang bisa dikatakan hukum tabur tuai. Siapa yang menabur keburukan, tak akan menuai kebaikan, meski hanya seujung kuku pun. Jadi, selamat menikmati hidup di sini selama sepuluh tahun dalam kondisi seperti itu, Mas!" tunjuk tanganku ke kaki Mas Frengky dengan pandangan mengejek. Sebenarnya pun aku masih mempunya rasa iba, hanya saja saat mengingat perlakuannya kepada Cahaya membuatku kembali murka.
"Apa maksudmu dengan sepuluh tahun? Aku di sini kurang sebulan lagi. Ibu sudah berjanji akan membawaku ke luar dari sini!" ujar Mas Frengky frustasi. Dia menarik rambutnya dengan kasar.
"Oh, ya? Kenapa Ibumu tak terlihat? Kamu bisa pastikan bertanya kepada petugas yang menangani kasus mu di sini. Tanyakan padanya berapa lama lagi kamu harus makan, tidur, mandi dan berak di tempat ini? Selamat tinggal, Mas. Semoga ini bisa kau jadikan pelajaran yang berharga untuk kehidupanmu kelak. Belajarlah dari pengalaman dan kesalahan. Terima kasih untuk pelajaran hidup yang sudah kamu berikan padaku, menjadikanku wanita yang kuat dan tangguh. Terima kasih banyak! Aku pamit dulu, bye!" ujarku seraya tersenyum puas saat melihat mimik wajah Mas Frengky yang kesal.
Satu masalah ku sudah terselesaikan, meskipun aku tak bisa berbuat banyak. Setidaknya hukuman penjara dan kelumpuhan kakinya yang dibalaskan Allah SWT sudah cukup meredam sedikit rasa sakit dan sesak di dalam dada.
Aku tersenyum dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada petugas, lalu melangkah menuju ke mobilku. Setelah ini aku akan menemui Rosa dan memberinya kejutan.
*
Sesampainya di tempat Rosa, petugas hanya memberikan kami waktu lima belas menit untuk mengobrol. Entah kenapa, mimik wajah Rosa terlihat bahagia dan merona. Apa yang sedang dia pikirkan?
"Akhirnya kamu ke sini juga, kamu akan membebaskanku sekarang kan? Lalu aku akan menikah dengan Hendra dan hidup bertiga bersama Vano?" tanya Rosa saat aku baru saja mendudukkan pantatku ke atas kursi. Aku tersenyum geli, sebegitu besarnya kah keinginannya untuk hidup bersama dengan Hendra?
"Kamu salah, justru aku ke sini untuk mengundangmu. Tapi, sepertinya kamu tak akan bisa hadir, ya? Mengingat kamu tak bisa keluar begitu saja dari tempat ini. Sayang sekali, padahal aku sangat ingin kamu hadir dalam pernikahanku. Menyaksikan aku duduk di pelaminan dengan wajah bahagia," ujarku dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
"Menikah? Dengan siapa?" tanya Rosa. Wajahnya terkejut dan matanya melotot.
"Tentu saja dengan Hendra, apa dia belum juga memberitahu mu?" kataku balas bertanya.
Rosa malah tertawa, seakan mengejek kalimatku.
"Kamu nggak usah mimpi, Nay. Rupanya kehilangan dua anak sekaligus membuat mu hampir gila ya, Nay? Malah sekarang kamu berhalu pakai acara mengundangku ke pesta pernikahanmu. Lucu!" kata Rosa menutup mulutnya dengan suara mengejek.
"Apanya yang lucu? Aku serius. Hendra sudah melamar ku dan tiga minggu lagi kami akan segera menikah," ujarku serius.
"Kamu jangan bodoh, Hendra itu sayang sama aku, malah dia berjanji akan membebaskanku dari sini secepatnya. Baru saja kemarin dia bilang begitu," ujar Rosa enteng.
"Kemarin?" tanyaku terpancing dengan omongan Rosa.
"Iya, kemarin dia ke sini. Bukankah kamu meneleponnya juga, saat dia sedang bersamaku? Agresif sekali rupanya, ya, kamu, Nay!" kata Rosa seraya tersenyum sinis.
Dadaku tiba-tiba terasa sesak, aku tak menyangka ... perasaan yang mengganjal kemarin, kini menemukan jawabannya. Hendra ternyata menemui Rosa diam-diam di belakangku. Tapi, kenapa Hendra tega berbohong padaku? Dengan mengatakan bahwa dirinya berada di rumah dan tertimpa masalah pekerjaan. Ah, begitu naifnya aku hingga diperdaya selama ini.
"Apa yang dia katakan padamu?" ujarku dengan nada suara meninggi. Rasa cemburu meluap begitu saja tanpa terkendali.
"Loh, bukankah katamu kamu ini calon istrinya? Kenapa menanyakan padaku? Harusnya kamu tahu dong dia bertemu denganku untuk apa? Nayla ... Nayla ... tetep aja, ya, kamu. Terlihat smart tapi nyatanya ... zonk!" ketus Rosa membuat hatiku semakin sakit.
Kurang ajar Hendra, untuk apa dia diam-diam menemui Rosa dan sekarang Rosa malah merendahkanku seperti ini. Sialan!
"Jangan terlalu tinggi berekspektasi, Nay. Kalau ternyata realitanya tak sesuai, bisa membuat mu sinting. Seperti sekarang ini misalnya!" Rosa terkekeh, membuat tanganku semakin terkepal kuat karena menahan emosi.
Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus meminta penjelasan dari Hendra.
"Hahaha, kamu juga jangan terlalu percaya diri. Hendra sudah muak dengan tingkah lakumu. Bukankah kamu yang nggak waras? Sampai tega membunuh bayi yang baru lahir dari rahimmu sekarang? Siapa yang lebih sinting?" ujarku setengah berteriak. Membuat wajah Rosa memerah menahan marah.
"Tahu dari mana kamu? Diam! Kamu nggak berhak ikut campur karena kamu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sana pulanglah, tangisi realita yang sesungguhnya. Kamu tak akan mungkin mendapatkan Hendra, jangan lupa. Di antara aku dan Hendra sudah tercipta Vano, tidak akan ada yang bisa memisahkan kami. Termasuk dirimu sekali pun!" kata Rosa dengan percaya diri yang tinggi.
"Oke, kita lihat saja nanti. Siapa yang akan keluar menjadi pemenang. Dan satu lagi, kamu jangan lupa. Meskipun Vano darah dagingmu, balita yang lahir dari rahimmu itu bahkan sudah menganggap diriku sebagai ibu kandungnya. Mengenal namamu saja kurasa tidak, bagaimana mungkin dia mau hidup bersama dengan orang asing yang tega menelantarkan anak kandungnya sendiri. Jadi, jangan lah berekspektasi terlalu tinggi! Vano tak kenal dengan ibu kandungnya sendiri. Hanya satu Ibu yang selalu ada di setiap tumbuh kembangnya, yakni diriku, yang dia panggil dengan sebutan Bunda Nayla!" ujarku dengan tegas. Bisa kulihat raut wajah Rosa berubah menjadi tegang. Puas rasanya bisa membuatnya mati kutu.
Aku yakin, perkataanku barusan akan menghujam selalu di relung hatinya yang paling dalam.
"Okay terima kasih waktunya, aku permisi! Bye!" pamitku seraya beranjak berdiri dan meninggalkan Rosa bersama petugas yang mengawasinya.
"Sialan kamu, Nayla! Kurang ajar ... aku akan membalas semua perbuatanmu. Tunggu sajalah!" teriak Rosa yang terdengar sampai ke telingaku.
Aku tak peduli, rasanya hatiku lega sudah berhasil membuatnya naik darah karena realita yang sesungguhnya. Kini, giliran satu tugas lagi yang harus aku selesaikan. Yakni, hubunganku dengan Hendra. Aku akan memintanya penjelasan, sebelum kata sah terlontar dari para saksi.
Aku menelfon Hendra untuk bertemu di Restoran milikku saja. Sebenarnya lebih enak mengobrol di rumah, karena bisa lebih santai dan privasi terjaga. Tapi, aku tak mau berdebat dengan Bu Wak karena rentetan mitos yang tak mengizinkan kami bertemu hingga di pelaminan. Hendra pun menyetujui meskipun aku yakin dia mati penasaran karena aku meminta bertemu dengannya mendadak seperti ini.
Saat tiba di Restoran, aku menunggu kedatangan Hendra. Selang tiga puluh menit, barulah Hendra masuk ke dalam ruang makan bertajuk VIP yang tempo lalu ditempati kami makan bersama Bu Wak dan juga Vano.
Hendra tergopoh-gopoh menemui ku, terlihat dari nafasnya yang tersengal serta penampilannya yang jauh dari kata rapi.
"Ada apa, Nay? Kau membuatku khawatir dan terburu-buru sampai ke sini. Apa ada suatu hal yang penting?" tanya Hendra sembari mengambil tempat berseberangan denganku. Kini kami saling duduk berhadapan. Mataku fokus mengamati gerak-geriknya. Mungkin saja ada sesuatu mencurigakan yang tak tertangkap oleh mata telanjangku.
"Duduk dulu, minum!" ujarku menyerahkan sebotol air mineral yang masih tersegel di depannya.
Glek
Glek
Glek
Hendra meminumnya hingga hampir setengah. Dia menatapku lekat seolah penasaran untuk apa aku memintanya datang di siang bolong nan terik begini.
"Langsung saja to the poin, ya. Aku nggak suka basa-basi. Tolong kamu jawab dengan jujur dan jelaskan semuanya padaku. Meskipun kenyataan pahit sekalipun!" ujarku dengan tatapan mengintimidasi. Hendra meneguk ludah susah payah, antara bingung dan heran menjadi satu.
"Baiklah!" sahut Hendra tampak pasrah.
"Kamu serius akan menikahi diriku? Jika tidak, kita bisa membatalkan semuanya mulai sekarang!" ujarku tegas. Hendra menggeleng, raut wajahnya terlihat pucat.
"Apa-apaan maksud kamu? Tentu saja aku serius menikah denganmu. Aku sayang sama kamu, Nayla!" ujar Hendra tak kalah tegas. Intonasi suaranya meninggi.
"Lalu, kenapa kamu berbohong padaku? Menemui Rosa diam-diam di belakangku. Berjanji juga padanya akan menikahinya setelah dia bebas. Apa kamu berencana akan membebaskannya? Lalu mempoligami diriku, begitu? Kamu ingin mendapatkan keduanya, bisakah kamu menjelaskan?" sergahku sembari menahan emosi yang sejak tadi ingin meletup.
Hendra terlihat gusar, dia gelisah dan beberapa kali menggigit bibir bawahnya.
"Tak bisa menjawab? Oke, aku bisa menarik kesimpulan dari sini. Maka pernikahan ini resmi batal. Maaf karena kehadiranku mengganggu niatan rujukmu kembali bersama Rosa. Terima kasih juga untuk perhatian serta segala bantuan yang sudah kamu berikan untukku. Semoga kamu bahagia bersama dengan pilihanmu dan aku yang akan mundur!" Aku beranjak berdiri, sejujurnya air mataku rasanya ingin tumpah begitu saja.
"Tidak, Nayla! Tunggu!" Hendra mencekal tanganku kemudian menyuruhku duduk.
"Aku akan menjelaskan semuanya!" ujar Hendra dengan tegas. Dia menghirup nafas dalam sebelum memulai pembicaraan.
"Begini ... semua ini aku lakukan untuk membantumu, tak ada niat lain. Aku sayang sama kamu, hanya kamu wanita yang ingin kujadikan istri, tiada yang lain!" ujar Hendra dengan wajah pias.
"Rayuan macam apa lagi ini, Hendra?" Aku tertawa sumbang, caranya berbicara sudah seperti bocah ingusan yang merayu pacarnya saja.
"Dengar dulu penjelasanku dan jangan kau potong. Aku mohon," pinta Hendra membuatku malas. Tapi, aku penasaran juga, apa yang ingin dia sampaikan. Sejenis pembelaan dirikah?
"Aku sengaja mendekati Rosa karena ingin mendapatkan bukti baru atas kematian Vani. Aku tak tahu cara ini akan berhasil atau tidak untuk menambah berat hukumannya. Sungguh, aku melakukan ini juga demi membalaskan rasa sakit hatimu juga, Nayla. Mana mungkin aku rujuk kembali dengan wanita yang tega membunuh darah dagingku sendiri? Kamu paham kan apa yang aku maksud, Nay? Aku sengaja menyembunyikan darimu, tak ada satu niat untuk menyakiti perasaanmu. Ini murni hanya demi misi untuk memberatkan hukuman Rosa. Hati ini hanyalah untukmu, bahkan aku rela melakukan semuanya hanya demi melihatmu bahagia, Nayla! Percaya padaku, semua bukti obrolanku dengan Rosa kemarin sudah aku rekam. Aku memang mendekatinya agar dia mau terbuka dan mengungkap dengan jelas misteri kematian Vani. Aku harap kamu bisa mengerti, aku tak jujur karena takut kamu marah, salah paham dan berujung membenciku. Niatku, aku akan memberitahumu ketika semuanya berhasil. Tapi ... rupanya kamu lebih cerdik dari yang aku kira. Maafkan aku, ya. Sungguh, aku hanya ingin melihat kamu tak bersedih lagi. Kita mengalami nasib yang kurang lebih sama. Jadi, aku lebih tahu pasti bagaimana terlukanya dirimu. Percaya padaku, aku cinta kamu melebihi diriku sendiri. Will you marry me?" Hendra meraih tanganku, meletakkan di atas dadanya. Bisa aku rasa jantungnya berdetak.
Wajahku memerah, tersipu malu. Ah ... kenapa aku tak kepikiran ke arah sana? Tentang Vani ....
"Gimana? Mau maafin aku dan lanjut menikah denganku?" tanya Hendra dengan wajah penuh berharap.
"Aku nggak bisa!" Aku melepaskan tanganku di atas dadanya.
"Kenapa?" tanya Hendra dengan wajah hampir frustasi.
"Nggak bisa nolak maksudnya!" Aku pun tertawa dan Hendra membuang nafas lega.
"Hampir saja aku dibuat gila olehmu," ujar Hendra lirih.
Aku semakin tersipu malu.
*
Akhirnya sampai juga kami di pelaminan. Semua kerabat pun hadir, tamu membludak mengingat kolega kami berdua sangatlah banyak. Semuanya diundang tanpa terkecuali, kabarnya Carissa dan Gilang akan melaksanakan pertunangan bulan depan. Aku sampai lupa mengikuti perkembangan cinta adikku. Biarlah, doaku tetap sama. Ingin Carissa bahagia bersama lelaki yang tepat. Mas Frengky pun tetap mendekam di penjara. Menjalani hukuman dengan kondisi kaki yang lumpuh. Benar dugaan ku, Ibu dan kedua adik Mas Frengky pun seolah menganggap Mas Frengky sudah tiada. Biar saja, balasan itu memang pantas didapatkan lelaki durjana seperti itu. Mas Frengky berasa hidup sebatang kara. Sedangkan Rosa, kami masih memproses hukuman lanjutan untuknya demi keadilan Vani. Terakhir yang kudengar dia sering berbicara sendiri, berteriak, tertawa bahkan kadang juga menangis sendirian. Mungkin dia hampir gila saat aku mengiriminya undangan di penjara, saat itu aku hadir bersama dengan Hendra.
Rosa terlihat syok dan tak berkata sepatah katapun. Itulah mungkin yang menyebabkan jiwanya terguncang.
Sekarang, aku bisa hidup dengan bahagia. Bersama Hendra, Vano dan juga Bu Wak sebagai pelengkap kehidupanku.
Rasanya ... aku bahagia ... bahkan lebih bahagia dari pernikahanku yang sebelumnya.
Semoga aku berjodoh dengan Hendra selamanya, seperti yang tertulis dalam lauhul mahfudz. Aamiin ya Robbal Alaamiin.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nayla Anastasya dengan seperangkat alat salat dan mas kawin tersebut, dibayar TUNAI!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"SAH!"
"Alhamdulillah ...."
Dan Hendra benar-benar memberikan satu buah pabriknya untukku. Sungguh rejeki sudah tertakar dan tidak akan pernah tertukar.
HAPPY ENDING ....
-TAMAT-
*****

Komento sa Aklat (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • Tingnan Lahat

Tapusin

Mga rekomendasyon para sa iyo