logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 42

BAB 42
SUARA WANITA MENCURIGAKAN
ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)
"Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?" ucap Hendra.
"Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, 'kan?" ujarku sembari tersenyum.
"Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?" tanya Hendra menatapku intens.
Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.
"Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?" tanyaku dengan senyum menggoda.
"Dengan senang hati!" Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.
"Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!" ucapku seraya tertawa.
"Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?" tawar Hendra membuat mataku melotot, mungkin terlihat menyeramkan. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Tapi, boleh juga, sih. Aku akan mencoba mengetes keseriusannya.
"Boleh, apa kamu nggak keberatan?" tanyaku pura-pura bersedih.
"Nggak, lah! Buat kamu, apa, sih, yang enggak?" kata Hendra sok romantis.
"Oke, aku mau!" jawabku akhirnya. Terlihat raut wajah Hendra yang begitu kaget. Mungkin dia tidak menyangka aku sungguh-sungguh menerima tawarannya. Atau sebenarnya mungkin dia hanya berbasa-basi saja tadi. Biarlah, bukankah dia sendiri yang menawariku? Aku tinggal mengiyakan saja.
"Serius?" tanya Hendra meneguk ludah dengan susah payah. Terlihat jakunnya naik-turun dengan cepat.
"Iya, serius, aku mau! Bukannya tadi kamu yang nawarin? Gimana, sih!" ujarku sedikit sewot. Biarlah, biasanya tips begini ampuh untuk menggertak dirinya.
"Iya-iya. Jangan marah gitu, dong! Aku kan hanya bercanda. Oke, deh, pabrik akan aku serahkan padamu. Terserah mau kamu kelola bagaimana pun juga oke," jawab Hendra yang terdengar seperti terpaksa.
Aku tertawa. "Yakin kamu? Nggak nyesel, nih?"
"Kenapa harus nyesel? Ya, nggak, dong!" ujar Hendra mantap.
"Okay!" Aku mengangguk setuju.
Setelah itu kami mengobrol santai seputar usaha, keseharian hingga mulai membahas hal yang tak penting seperti hobi, film kesukaan dan juga makanan.
"Aku pamit pulang dulu, ya. Mau cari tanggal yang baik, lagian kita mau menikah nggak boleh sering ketemu gini. Pamali kalau kata mitos orang jaman dulu!" Hendra bergidik ngeri, tapi wajahnya meringis menampilkan giginya.
"Semua tanggal itu baik, kok. Lagian ya, masih aja gitu percaya sama hal begituan?" tanyaku sembari melipat kedua tangan di depan dada.
"Apa salahnya kita terapkan? Asal nggak mengganggu atau bertentangan dengan ilmu agama yang kita anut," kata Hendra bijak.
"Ya, ya, ya. Siap dimengerti calon imam!"
Hendra tertawa, dia beranjak untuk berpamitan. Aku pun mengiyakan.
"Untuk dekor, lokasi, makeup, katering, kamu pilih aja sesuai selera kamu, ya. Ambil aja sepaket dengan WO. Bebas sesuai seleramu, aku tinggal transfer aja nanti kalau kamu deal," kata Hendra sebelum masuk ke dalam mobil.
"Idih, calon imam mulai sombong!" ujarku sambil tertawa.
"Bukan begitu, aku hanya ingin kamu bahagia, mewujudkan semua mimpi-mimpi kami tentang pernikahan, yang tertunda mungkin?" Hendra mengedikkan bahunya. Lalu melangkah masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin.
"Siap, lah. Bisa diatur, Tuan!" ujarku menurut.
"Ya sudah, aku balik dulu. Salam untuk Vano dan Bu Wak, ya. Assalamualaikum!" pamit Hendra bergegas menjalankan mobilnya dan pergi meninggalkan pelataran rumahku.
"Waalaikumsalam, hati-hati!" ucapku lirih.
Setelah kepergian Hendra, aku pun masuk ke dalam berniat ingin menyampaikan hal ini pada Bu Wak. Siapa tahu dia punya referensi terkait tanggal yang bagus sekalian memilih dekorasi dan tempat yang sesuai juga. Dengan hati yang gembira, aku pun masuk ke dalam. Bu Wak sedang menonton Televisi sembari menemani Vano bermain.
"Wak, sini, deh. Aku mau curhat!" ujarku membuat Wak menoleh dan tersenyum.
"Sini aja, yuk!" ajak Bu Wak menyuruhku duduk di sampingnya. Aku pun menurut, kuseret langkahku menghampiri Bu Wak yang duduk di atas karpet.
"Curhat apa?" tanya Bu Wak menatapku serius.
"Aku mau menikah dengan Hendra ... tapi, bingung mau menentukan tanggal, gaun dan tetek bengeknya. Wak mau kan bantuin Nayla memilih?" tanyaku penuh harap.
"Baiklah, tapi kalau tanggal biasanya dihitung berdasarkan weton kalian berdua, Nduk. Itu bisa dibuat ajuan untuk melangkah ke depannya," kata Bu Wak.
"Weton itu apa, Wak?" tanyaku seraya mengerutkan alis.
"Weton itu semacam hari kelahiran masing-masing orang. Kamu sebutkan saja tanggal, bulan dan tahun kelahiranmu. Dari sana nanti akan ketemu wetonmu apa dan jumlahnya berapa. Begitu juga dengan Hendra, nanti akan dijumlahkan dan dibagi. Maka nanti ditemukan angka yang pas berapa, itu manjur loh, Nduk. Bukan hanya sebuah mitos belaka," jelas Bu Wak panjang lebar.
"Waduh, kok terlihat rumit ya, Wak? Nayla sama sekali nggak mengerti hal beginian," ujarku seraya menggaruk kepala. Aku benar-benar tak tahu ada aturan macam seperti ini. Sering kali aku mendengarnya tentang perjodohan berdasarkan zodiak dan ya sejenis itu. Tapi tak menyangka aturannya akan serumit ini.
"Nggak rumit kok, Nduk. Itu penting banget dijadikan acuan untuk kehidupanmu di kemudian hari. Tapi, tergantung kepercayaan masing-masing orang. Di kampung Ibu, hal semacam itu sudah menjadi adat dan tradisi. Jadi semua orang turun-temurun mempercayai hal seperti itu!" kata Bu Wak secara jelas.
"Okay, nanti coba Nayla bilang sama Hendra ya, Wak. Biar dia juga tahu, eh apa dia juga sebenarnya sudah tahu, ya?" Aku bertanya-tanya dengan diriku sendiri.
"Coba saja nanti kamu tanyakan lagi. Seharusnya juga tak boleh bertemu dulu minimal 40 hari sebelum dilakukannya ijab kabul. Tapi, ya, semua itu kembali lagi dengan kepercayaan dan tradisi masing-masing. Ibu hanya menyampaikan menurut sepengetahuan saja. Selebihnya bisa disesuaikan dengan adat masing-masing."
Aku mengangguk, menyetujui juga apa yang disampaikan Bu Wak. Menunggu setidaknya satu jam, untuk menghubungi Hendra. Kasihan jika dia harus menerima panggilan di saat mengemudi. Pikiranku berkelana, apa iya sebentar lagi aku akan menikah dengan Hendra? Masih tak menyangka rasanya, bahkan keinginan seperti ini pun tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya. Mungkin karena didukung oleh rasa ambisi, membuatku menggebu-gebu ingin dipersunting oleh Hendra. Ah ... ya, aku bahkan belum sempat mengabari Rosa tentang rencana pernikahan ini. Biar saja esok atau lusa aku ke sana, untuk menyampaikan kabar bahagia ini. Bahagia untuk siapa sebenarnya? Apakah Rosa juga akan bahagia ketika tahu sebentar lagi aku menjadi istri sah dari lelaki yang sangat dinantinya?
Aku naik ke atas, menuju taman untuk menenangkan pikiran. Dulu, saat buntu dengan masalah pekerjaan, aku selalu lari ke taman. Menikmati secangkir teh sambil menghirup udara dari tanaman hijau yang terhampar indah di sini. Lalu, Mas Frengky akan datang menyusul dan memelukku dari belakang. Kami bersama-sama mengamati Cahaya yang asyik bermain sendirian tak jauh dari kami. Ah ... bayangan tentang Mas Frengky selalu hadir kembali tanpa diminta. Bagaimana bisa melupakan dengan cepat, bahkan butuh waktu seumur hidup pun belum pasti bisa melupakan secuil kenangan yang pernah tercipta. Terkadang, aku rindu suasana kehangatan dalam rumah tangga kami. Rumah yang nyaman tempat untuk pulang setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang berasa tak ada habisnya. Hanya keluarga lah rumah untuk kembali yang mampu menghilangkan rasa penat akan masalah yang terjadi.
Tak terasa, ingatanku kembali pada kenangan bertahun-tahun lamanya. Saat pertama kali kami menempati rumah ini, di mana saja aku dan dirinya saling memadu cinta. Bahkan hampir di semua tempat dalam rumah ini pernah menjadi saksi bisu akan kebesaran cinta kami. Namun, itu dulu ... sebelum petaka kehilangan Pelangi menghancurkan semuanya. Luluh lantak tak bersisa, kepingan luka semakin menganga. Ditambah dengan kepergian Cahaya, semakin membuat tubuh ini tak lagi bernyawa. Aku harus bangkit, masih banyak lagi hal baik yang harus aku lakukan ke depan, menjadi bermanfaat untuk kehidupan orang lain dan menjadi motivasi untuk perempuan di luar yang mungkin saja bernasib sama denganku, atau bahkan lebih parah mungkin?
Setelah puas menikmati waktu ketenangan di sini, aku beranjak turun. Aku hampir saja lupa hendak menghubungi Hendra. Kurasa saat ini waktu yang pas. Aku mengambil ponsel yang sengaja kuletakkan di dalam laci ruang tengah, dalam keadaan silent. Aku melihat tak ada notifikasi apa pun dari Hendra. Apa mungkin dia belum sampai ke rumah? Atau dia pergi ke rumah Papanya langsung? Biarlah aku tunggu tiga puluh menit ke depan, siapa tahu dia nasih berkendara di jalan. Bisa jadi macet mungkin? Tapi, mengingat ini weekend, sepertinya mustahil. Perasaanku pun tak nyaman, seperti ada dorongan sesuatu untuk segera mengabarinya. Aku pun kembali menekan kontak Hendra dan menyentuh pilihan memanggil. Terdengar suara sambungan dari ponsel, namun tak diangkat.
Hingga panggilan kedua, tepat di deringan keempat, akhirnya Hendra mengangkat telefonku.
"Halo ... Assalamualaikum, ya ... kenapa, Nay?" sapa Hendra dari ujung telefon. Terdengar hening, tak ada suara apa pun. Syukurlah jika dia sudah sampai di rumah. Aku khawatir mungkin saja terjadi sesuatu di jalan, kendala dengan mobilnya mungkin.
"Waalaikumsalam, syukurlah kamu sudah di rumah. Aku khawatir karena tak seperti biasanya, kamu tumben tak mengabariku ketika sudah sampai di rumah. Aku takut kamu terjadi sesuatu di jalan," ujarku sedikit cemas.
"Alhamdulillah, nggak papa kok. Aku memang sudah sampai di rumah. Baru aja nyampai, mau ngehubungi kamu langsung kok mendadak pengen buang air kecil. Makanya aku baru sempat angkat telefon kamu. Maaf, ya, kalau bikin kamu khawatir. Bisa kita sambung lagi nanti, Nay? Ini ... ada urusan pekerjaan sebentar. Aku tutup dulu telefon nya nggak papa, ya?" kata Hendra.
Aku memang merasa tenang karena Hendra tak kenapa-kenapa, terlebih lagi sudah sampai di rumah. Namun, kenapa rasanya masih ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Entah apalah itu.
"Iya, nggak papa, Mas. Ya sudah kalau gitu—"
"Mas, waktu kita nggak banyak!"
"Bye, Nayla!"
Tit.
Seketika panggilan terputus, aku melihat layar ponselku sudah kembali ke menu semula, daftar panggilan yang tertera nama Hendra di paling atas.
Kenapa Hendra tiba-tiba mematikan sambungan telefon begitu saja? Tak biasanya dia begitu. Dia seperti tergesa-gesa ingin mengakhiri pembicaraan denganku. Ada apa?
Dan satu lagi, sebelum aku menyelesaikan kalimatku, aku bisa dengan jelas mendengar suara perempuan. Apa Hendra sedang bersama perempuan lain? Tapi, siapa?
Tak mungkin aku salah dengar, tepat sebelum Hendra mengatakan selamat tinggal tadi, ada satu suara yang mengatakan bahwa waktu yang dimiliki tak banyak. Aku jadi penasaran, siapa wanita itu? Apa Hendra berbohong padaku, bahwa sebenarnya dia sedang di luar, tak berada di dalam rumah?
Tapi, ke mana? Kenapa ada suara perempuan? Atau Hendra sengaja memasukkan perempuan lain ke dalam rumahnya? Ah ... tidak-tidak. Hendra bukan tipe lelaki yang seperti itu, aku paham betul. Lalu, suara itu? Apa aku yang berhalusinasi? Suara itu cukup nyata untuk dikatakan khayalan.
Perasaanku menjadi semakin tak karuan, kenapa aku seolah mendapatkan petunjuk seperti ini di saat melakukan rencana pernikahan? Apa itu tadi bisa dikatakan sebagai petunjuk?
Aku berpikir keras, untuk memastikan sekali lagi, kucoba menghubungi Hendra. Namun, hingga panggilan yang ketiga pun Hendra tak segera mengangkat panggilan dariku. Apa benar katanya tadi, dia sedang ada urusan terkait pekerjaan? Ah, mungkin saja wanita itu rekan kerjanya atau bahkan mungkin seorang klien yang bertemu dengannya dan membicarakan tentang pekerjaan sehingga tak memiliki banyak waktu. Nah, benar ... itu terdengar masuk akal. Kenapa aku lekas sekali berprasangka buruk kepada calon suamiku? Mungkin karena pikiran yang suntuk membuatku tak bisa berpikir jernih. Tapi ... benarkah membahas sesuatu pekerjaan di dalam rumah. Seorang perempuan dan laki-laki? Yang benar saja. Kepalaku makin pusing memikirkan ini semua. Apa yang Hendra coba sembunyikan dariku? Atau aku lah yang mudah berprasangka tak baik seperti ini? Aku harus menemukan jawabannya, secepat mungkin. Harus!
*****
NEXT di jam 12 siangan, ya, Kak. Hari ini akan TAMAT. Segera! Ditunggu, ya ... terima kasih banyak.

Komento sa Aklat (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata