logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

part 26

"Kayaknya hari ini mo ujan dek. Mendung banget,"ucap mbak Cantika tiba-tiba.
"Iya mbak."ucap ku mengiyakan.
Pandangan ku kembali menyapu keluar jendela. Melihat banyak sekali orang berjualan di pinggir trotoar jalan. Mbak Cantika membuka kaca mobil saat berhenti di lampu merah. Dia memberikan pecahan uang 2 ribu pada anak yang tadi mengetuk pintu kacanya.
Aku hanya diam menyaksikan aksi mbak Cantika. Hujan nampak mulai rintik-rintik turun.
"Untung kita naik mobil ya mbak. Kalo ngga, pasti udah basah semua,"ucap ku pelan sambil terus mengamati keadaan di luar kendaraan.
"Iya. Nanti kamu juga pasti di beliin. Tapi jangan nyetir sendiri ya! Belum cukup umur. Jangan kayak mas mu itu. Di buang ke pesantren gara-gara bandel,"ucap mbak Cantika di iringi senyumnya.
"Iya mbak. Aku kan juga ngga bisa nyetir mobil. Ngomong-ngomong, ini mobil mbak?"tanya ku polos.
"Iya. Ini hadiah ulang tahun ku kemaren. Sebelum nya mbak pakek mobil city car kecil. Terus dapet ini, itu mobil mbak jual,"ucap nya lagi.
"Kenapa di jual mbak?"tanya ku penasaran karena berpikir tak mungkin orang kaya butuh uang.
"Iya. Sebagian buat beli laptop baru, sebagian lagi mbak sumbang ke pesantren mas mu itu. Biar makin modern pesantren nya."ucap mbak Cantika.
Mbak Cantika mengucapkan itu dengan ringan nya sedangkan aku hanya mampu melongo di buat nya. Orang kaya menyumbang tanpa sombong, itu sangat luar biasa bagi ku.
Ingat sekali bagaimana dulu ibu dapat bantuan dari seorang dermawan. Ibu harus mau di foto walaupun belum mandi maupun berganti pakaian. Betapa sakit hati ku dan Sandi melihat ibu ku di rendahkan sedemikian rupa. Tapi, hal itu justru berbanding terbalik dengan mbak Cantika.
Mbak Cantika berhenti bicara setelah menjelaskan pada ku tentang jalan menuju ke sekolah. Hingga mobil memasuki sebuah gerbang sekolah yang ramai, mbak Cantika belum membuka pembicaraan sama sekali. Aku melihat ada sekitar 5 orang berdiri di depan gerbang seolah menyambut kami.
Mbak Cantika meminta berhenti di depan gerbang sebelumnya. Katanya, ngga sopan kalau membiarkan mereka berjalan sedangkan kita naik mobil.
"Ayo turun dek!"ajak mbak Cantika.
Kami turun dari mobil tanpa bantuan mas Paijo. Mas Paijo melanjutkan perjalanan untuk memarkirkan mobil di halaman sekolah. Kami mendekati barisan orang yang menyambut kami tadi.
"Selamat datang, Cantika! Sudah lama sekali bapak tidak melihat mu di sini,"sambut seorang bapak berkepala sedikit botak dengan postur tubuh tinggi namun gempal.
"Iya pak. Kebetulan saya ke sini mengantarkan keponakan saya pak. Dia lulusan tahun ini dan sedang mencari tempat bagus untuk melanjutkan pendidikan nya. Dek. Kenalkan, ini pak Tomo! Beliau kepala sekolah di sini."ucap mbak Cantika mengenalkan beliau padaku.
"Selamat pagi, pak! Saya Tania,"ucapku sambil mencium takzim tangan beliau.
"Saya pak Tomo nak Tania."ucap beliau memperkenalkan diri.
"Jadi, Tania ini anak dari pak Joko Hartawan pak. Saya ingin merekomendasikan sekolah ini padanya,"jelas mbak Cantika pada beliau.
"Wach... Beruntung sekali bapak dapat murid anak dari donatur sekolah ini. Ayo! Bapak akan tunjukan sekolah ini beserta fasilitas nya pada nak Tania,"ucap pak Tomo yang ku jawab dengan anggukan kepala.
Kami di bawa berkeliling sekolah. Beliau menunjukan ruang kelas, tempat olah raga, tempat ekstra kurikuler, tempat baca, bahkan sampai kantin sekolah ini.
Beberapa anak menoleh kepada kami saat kami melewati ruang-ruang kelas yang berjajar rapi. Para guru yang sedang mengajar pun menghentikan sejenak aktifitasnya dan mengangguk hormat. Banyaka sekali fasilitas di sekolah ini. Sangat jauh berbeda dengan sekolah ku di kampung.
Kami melewati sebuah aula besar di mana tempat itu merupakan tempat untuk acara-acara penting sekolah. Saat melintasi lapangan olahraga, nampak beberapa anak sedang bermain basket bersama. Ada guru pendamping juga di sana.
Kami selesai mengitari sekolah ketika matahari sudah sangat tinggi di atas kepala. Hujan pagi ini memang sudah berganti panas yang sejuk. Namun begitu, gerah tetap saja menyerang kami semua.
"Baiklah pak. Terima kasih atas pendampingannya barusan. Saya dan Tania sangat berkesan. Untuk selanjutnya, mohon berikan waktu pada keponakan saya untuk memikirkan nya!"ucap mbak Cantika.
"Tentu nak. Kami akan menunggu kabar baiknya. Semoga, nak Tania dapat memasukan kami dalam daftar tunggu nya."ucap pak Tomo ramah.
"Baik pak. Silahkan bila bapak serta jajaran ingin malanjutkan tugas. Saya serta Tania pamit undur diri."ucap mbak Cantika.
Kami melenggang menuju mobil setelah selesai berpamitan. Ku balikkan badan dan memandangi bangunan megah itu sekali lagi. Mas Paijo pun membukakan pintu mobil untuk ku setelah membuka pintu untuk mbak Cantika.
"Gimana dek?"tanya mbak Tania ketika aku sudah di sampingnya.
"Sekolah nya bagus mbak. Mewah sekali untuk ukuran ku. Tapi, apa aku bisa bersekolah di sana?"tanya ku ragu.
"Kenapa ngga bisa dek?"tanya nya lagi.
"Aku liat tadi yang sekolah di sana anak kaya semua mbak. Sedangkan aku hanya anak pungut. Anak miskin yang tertimpa durian runtuh,"ucap ku lagi.
"Dek. Kamu bukan bukan anak pungut. Lupakan kata-kata itu! Kamu bagian dari kami. Dan satu lagi. Mas Joko, papa mu. Dia adalah donatur terbesar di sekolah itu. Sebelumnya itu adalah sekolah swasta. Di bangun di atas tanah sewa. Papa mu yang menjadikan sekolah itu maju dan berkembang. Membeli tanahnya dan mendanai setiap kegiatan positif di dalamnya. Bukan hanya anak konglomerat di sana. Banyak anak kurang mampu yang oleh papa mu di biayai dan di jamin pendidikan nya. Sekolah itu menjadi tujuan orang kaya karena papa mu itu seorang anggota dewan yang terkenal ramah. Mereka hanya pansos saja,"kata mbak Cantika panjang lebar.
Aku diam termangu mendengar ucapan mbak Cantika. Masih ada sedikit keraguan di sana. Apalagi mengingat status ku ini.
"Sudah. Jangan terlalu di pikirkan! Kamu adalah keluarga Joko Hartawan. Pantang maju jika ragu. Oke!"ucap nya lagi meyakinkan.
◇◇◇◇
Aku melangkah menuju sebuah cafe bersama mbak Cantika. Aku duduk di pojok ruangan setelah mbak Cantika pamit untuk ke toilet sebentar. Seorang pelayan datang membawa 2 gelas milk tea.
"Lhoh. Saya ngga pesan mbak!"ucap ku.
"Ngga pa pa mbak."ucap pelayan cafe itu.
Setelahnya dia pergi sebelum sempat aku mengucapkan terima kasih atau apapun. Mbak Cantika datang dan langsung duduk di depan ku. Kebetulan di luar hujan lagi. Sangat deras. Padahal sebelumnya panas sekali. Bahkan membuat aku sangat kehausan. Salah ku juga kenapa tadi tak menyiapkan bekal minum dari rumah.
Mbak Cantika bilang akan menemui seseorang di sini. Rapat katanya. Tapi dengan istilah berbeda menurut ku. Meeting.
"Mbak. Tadi aku ngga pesen tapi pelayan cafe nya ngasih minuman ini,"ucap ku polos sambil menunjuk milk tea di depan ku.
"Iya. Minum aja dek! Mbak tau kamu haus kok. Jangan bingung! Ini cafe milik mbak,"ucap mbak "Cantika lagi.
"Ha..."respon ku tak percaya.
"Biasa aja dek. Mbak kan juga harus berdikari. Ngga mau mbak kalah sama kamu yang masih kalah jauh umurnya sama mbak,"ucap mbag Cantika sambil tertawa.
"Ini cafe punya mbak? Hebat banget mbak. Punya usaha sendiri padahal masih muda banget,"ucap ku polos.
"Hebatan kamu lagi dek! Kamu ini anak kecil tapi bisa sekolah pakek biaya keringet kamu sendiri. Belum lagi tahan bully. Tahan sengsara. Mbak mah ngga ada apa-apa nya di banding kamu. Udah ach! Ini mbak mau meeting dulu. Kamu tunggu di sini atau mau muter-muter liat pemandangan sekitar juga ngga pa pa. Tapi jangan jauh-jauh ya!"pesan mbak Cantika yang ku jawab dengan anggukan kepala.
"Yu. Ayu,"panggil mbak Cantika pada seorang pelayan dekat kami.
"Iya mbak,"jawab perempuan itu.
"Ini saya mau meeting. Tolong jagain keponakan saya ya! Pastikan dia aman di sini,"pesan nya lagi.
"Siap mbak,"
"Mbak terlalu berlebihan ach. Aku akan baik-baik saja mbak,"ucap ku sambil ku pegang punggung tangan nya meyakinkan.
"Kamu belum mengerti dek. Itulah sebab nya kamu masih tenang. Sudah. Nurut mbak ya! Jangan jauh-jauh dari mbak,"ucap mbak Cantika sambil berlalu.
Aku tak mendebat lagi kata-kata mbak Cantika. Perempuan bernama ayu itu berdiri di dekat ku. Hanya diam mengawasiku.
"Sudah ngga pa pa mbak. Mbak lanjutkan saja tugas mbak. Saya ngga akan ke mana-mana,"ucap ku menenang kanya.
Hingga akhirnya usaha ku menenang kan pegawai itu berhasil. Aku duduk di sana menghabiskan milk tea itu. Kebetulan pengunjung sedang ramai-ramainya hari ini. Itulah sebabnya aku meminta pelayan tadi untuk tidak khawatir padaku dan fokus pada pekerjaan nya.
Aku bosan hanya duduk diam saja. Aku berjalan menuju lantai 2 cafe ini. Sampai di lantai 2, ku lihat mbak Cantika sedang duduk bersama 2 orang laki-laki berjas hitam. Sepertinya mereka sedang membahas sesuatu yang penting.
Aku berjalan menuju balkon. Di sana ada tangga lagi menuju atap bangunan yang di desain sebagai tempat nongkrong sambil berselfie. Aku melihat banyak muda- mudi di sana sedang bergerombol sambil bercengkerama. Aku memutuskan berdiri pada teralis pembatas dan memandang sejauh pandang di depan mata ku.
Perasaa damai datang menyelinap seketika. Melihat betapa kota ini di penuhi oleh manusia yang berlalu lalang melakukan aktifitas nya. Terlihat juga gedung yang menjulang tinggi. Pohon-pohon yang berbaris rapi sepanjang jalan pun menambah beragamnya pemandangan.
Lelah berdiri, aku duduk di kursi dekat tempat ku. Hanya diam. Tanpa teman. Tanpa kata. Tanpa suguhan. Hingga suara perut ini berbunyi yang menandakan cacing perut mulai protes tanpa asupan.
'Semenjak di sini, kenapa aku jadi gampang laper ya! Padahal aku sudah makan banyak juga. Ngga kayak di rumah,'batinku.
Kuputuskan kembali turun. Sepertinya mbak Cantika pun belum selesai dengan pekerjaan nya. Jadilah aku duduk kembali di lantai dasar. Mbak Ayu mendekati ku.
"Non mau makan?"tanya nya.
"Emangnya ada makanan beratnya mbak?"tanya ku karena setahu ku cafe hanya tempat ngopi saja.
"Tentu ada dong. Non mau makan apa? Ini daftar menu nya."ucapnya sambil menyerahkan daftar menu padaku.
"Kalo menurut mbak ayu, yang enak apa? Tapi juga saya ngga bawa uang,"ucapku yang di sambut wajah bingung mbak ayu.
"Buat apa bayar non. Lhah ini kan cafe keluarga non juga. Gratis lah non. Ouw iya. Buat menu nya, paling enak itu bebek pangganya non."ucap nya sambil menunjuk gambar bebek panggang.
"Ya sudah mbak. Saya mau itu saja,"ucap ku.
"Ashiap non. Tunggu sebentar ya!"
Setelah pelayan itu pergi, aku kembali termenung. Memutar kembali memori lama sebelum aku menjadi orang sekaya ini. Jangan kan hanya baju bagus, sepatu saja kadang sampai berlubang jika bu Joko yang saat ini jadi mama ku tidak membelikan nya untuk ku.
Di tengah melamun, mbak ayu datang membawa pesanan ku. Aku langsung menyantap nya begitu mbak ayu kembali pada tugas nya. Lapar memang tak dapat di tunda lagi.
◇◇◇◇
Mbak Cantika tak kunjung selesai. Padahal hampir masuk jam 3 sore. Serumit itukah meeting dengan klien nya. Aku bahkan hampir tertidur di meja ku.
Mbak Cantika menghampiri ku ketika diri ini hampir saja terlelap. Dia menepuk pelan bahu ku hingga aku benar-benar tersadar sedang tidak berada di rumah.
"Kamu capek ya, dek?"tanya nya dengan raut tak enak.
"Ngga kok mbak. Hanya ngantuk saja karena bosan,"ucap ku polos sambil terkekeh.
"Udah makan? Maaf ya! Meeting kali ini rada alot gara-gara investor minta nambah tempat buat cafe. Tapi mbak ngga setuju karena tempatnya kurang strategis."jelas nya.
"Iya mbak. Ngga pa pa. Aku udah makan tadi. Mbak Ayu yang bawain,"ucap nya.
"Yaudah. Kita langsung pulang aja ya. Soalnya mbak masih harus ke suatu tempat setelah ini. Mbak antar kamu pulang dulu biar bisa isturahat,"ucap nya kemudian.
Aku hanya mengangguk setuju saja dengan nya. Aku yakin dia tahu mana yang lebih baik untuk ku saat ini.
♤♤♤♤

Komento sa Aklat (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    14d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata