logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Belajar Puasa

Arini dan Brandon
Dua bulan kemudian
Sepasang mata cokelat lebar mulai mengerjap. Tangan terangkat ke atas seiringan dengan kaki yang meregang menghalau pegal karena posisi tidur yang kurang pas. Senyuman terbit di wajah ketika melihat sang Suami masih tertidur pulas di samping.
“Gaya tidurnya dari dulu nggak pernah berubah,” gumam Arini dengan wajah masih dihiasi senyuman.
Sebuah kecupan diberikan di bibir Bran. Sesaat kemudian, Iin meraih ponsel dari atas nakas melihat jam.
“Udah waktunya masak,” desisnya ketika melihat waktu menunjukkan pukul 03.00.
Hari ini adalah hari pertama berpuasa. Ramadan pertama juga bagi Al puasa, sementara kali kedua bagi El.
Ketika ingin beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba sepasang tangan telah mendekapnya erat. Senyuman kembali menghiasi wajah cantik Arini.
“Kamu udah bangun?”
Bran menganggukkan kepala di atas bahu kanan istrinya. “Waktu kamu cium bibirku tadi.”
“Aku masak buat sahut dulu ya. Kamu tidur lagi aja, nanti aku bangunin kalau udah selesai masak.” Arini melepaskan pelukan Brandon.
Pria itu menggelengkan kepala. “Aku temani kamu masak aja. Udah nggak ngantuk lagi.”
Mata Iin melebar mendengar perkataan suaminya. Tampak raut keberatan di paras cantik itu.
“Nanti kamu gangguin aku, bisa telat anak-anak sahur nanti.”
“Aku janji nggak gangguin kamu,” tanggap Bran menyeringai.
“Bran?” Rupanya Iin tidak percaya begitu saja. “Kamu itu nggak pernah nggak gangguin aku kalau lagi masak. Yang ada nanti ….”
“Nanti apa?” tanya Bran mendekat ke wajah istrinya.
“Nanti kayak waktu awal-awal nikah.”
“Ibadah loh, Sayang. Mumpung anak-anak masih tidur,” sahut Bran menatap nakal.
“Bran?” Arini menggeleng dengan mata mendelik.
“Mau di sini aja?” goda Bran.
Arini mengembuskan napas, lantas menangkupkan telapak tangan di wajah Bran. “Nggak sempat sekarang, Suami. Satu jam lagi udah waktunya sahur.”
Bran mendesah pelan, pasrah keinginan untuk bermesraan harus ditunda.
“Nanti malam aja ya,” ujar Iin dengan raut wajah bersalah.
Bran mengangguk lesu, lalu memberi kecupan singkat di bibir istrinya.
Arini segera beranjak menuju dapur, diiringi oleh Bran dari belakang.
“Kamu berdiri di situ aja, jangan dekat-dekat,” tegas Iin menunjuk ke arah dinding berjarak lima meter darinya.
“Iya, Sayang. Takut banget sih digangguin.”
“Kalau nggak gitu masaknya nggak kelar-kelar, Bran. Aku tahu persis yang ada di pikiran kamu sekarang.”
Bran hanya nyengir kuda ketika mendengar perkataan Arini. Dia tahu sulit untuk berbohong kepada istrinya. Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat bagi mereka untuk saling mengenal satu sama lain.
“Ya udah, aku di sini aja.” Akhirnya Brandon mengalah.
Arini memulai aktivitas memasaknya. Sementara Brandon memilih berdiri dengan jarak yang sudah ditentukan oleh sang Istri. Pria itu sangat menyukai ekspresi yang diperlihatkan Iin ketika berada di dapur. Tampak begitu telaten dan sabar.
***
Siang hari puasa pertama
“Mami, buka puasa masih lama ya?” tanya Al dengan wajah lesu.
“Masih enam jam lagi, Princess. Kenapa?” selidik Arini meski tahu arti raut wajah Al.
“Abang haus, Mami. Boleh minum nggak?” El tiba-tiba datang dengan gestur lemas.
Arini menyipitkan mata melihat Al dan El bergantian.
“Anak Mami kenapa jadi lemes kayak gini?”
“Haus,” sahut mereka serentak.
Iin tersenyum lantas membelai kepala kedua buah hatinya dengan lembut. “Duduk sini dulu. Mami mau cerita.”
Wanita itu kini duduk di ruang tamu bertiga dengan kedua buah hatinya, sedangkan Bran berada di ruang kerja. Farzan memilih menginap di Menteng Dalam, karena ingin melewatkan puasa pertama dengan Sandy dan Lisa.
Arini meraih ponsel dari atas meja, kemudian mencari beberapa gambar dari anak-anak yang kelaparan di daerah konflik dan negara dengan tingkat kesejahteraan rendah lainnya.
“Coba El dan Al lihat foto ini.” Dia menunjuk sebuah foto anak seusia Al yang memiliki tubuh kurus dengan perut membusung.
Kening keduanya berkerut tak paham.
“Kalian puasa ‘kan sekali setahun selama sebulan.” Arini terdiam sebentar. “Sementara adik ini hampir setiap hari berpuasa. Untuk makan aja susah.”
Kedua anak itu memandang Arini menunggu perkataan berikutnya.
“Salah satu tujuan dari berpuasa adalah umat Islam harus belajar bersyukur atas apa yang telah Allah kasih. Selain itu kita juga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang kurang mampu. Menahan lapar mulai dari menjelang Subuh hingga beduk Maghrib.”
“Kalian bisa bayangin nggak gimana berada di posisi mereka?” Arini memperlihatkan foto-foto lainnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada anak-anaknya.
El dan Al menggelengkan kepala.
“El nggak mau begitu.”
“Al juga nggak mau.”
“Kita hanya puasa sebulan loh. Masih ngeluh haus dan lapar?”
Keduanya menggelengkan kepala serentak.
“Puasa di bulan Ramadan itu hukumnya wajib, sama kayak salat lima waktu. Kalau El dan Al nggak belajar dari kecil, nanti gede susah untuk terbiasa puasa,” papar Iin lembut kepada mereka.
“Mau dapat pahala yang banyak, ‘kan?” ujarnya lagi.
“Mau!” seru El dan Al serentak.
“Alhamdulillah, anak-anak Mami insya Allah akan jadi anak yang saleh dan salehah.” Arini melihat mereka berdua bergantian, kemudian merentangkan kedua tangan. “Peluk Mami dulu dong.”
El dan Al memeluk Iin bersamaan. Sebuah kecupan diberikan Arini di kening masing-masing.
“Ada apa ini siang-siang peluk Mami?” Bran tiba-tiba sudah berada di ruang tamu. “Papi juga mau nih.”
Arini menyipitkan mata ke arah Bran. “Lagi cerita tujuan puasa, Pi. Biar El dan Al lebih bersyukur lagi atas apa yang udah Allah kasih buat kita.”
Bran duduk di samping El.
“Mami bilang agar kita tahu apa yang dirasakan adek yang tadi,” celoteh El.
“Kapan kita pindah ke rumah Kakek Nenek?” sela Al dengan tatapan berbinar.
Ya, pada akhirnya Brandon dan Arini memutuskan kembali lagi ke rumah keluarga Harun di daerah Menteng Dalam. Mereka juga mencapai kesepakatan terkait perusahaan. Iin bersedia bekerja di perusahaan milik mertuanya, mendampingi Bran.
“Minggu depan kita udah pindah. Setelah ini kita bisa sahur dan buka bareng Kakek Nenek,” sahut Iin tersenyum lebar.
“Yeay!!” seru El sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Al juga tidak kalah antusias.
“Ketemu Kakek Nenek tiap hari dong!” sambungnya lagi.
“Disayang Nenek Kakek,” imbuh Al.
Arini menganggukkan kepala sambil tersenyum merespons perkataan kedua buah hatinya. Dia mengalihkan paras kepada Bran dengan tatapan berterima kasih, karena telah setuju kembali ke sana. Setelah lebaran, Iin akan melakoni tiga profesi sekaligus; owner dari usaha catering, direktur perusahaan properti dan ibu rumah tangga.
“Nanti bantu Mami dan Papi berkemas ya?” cetus Bran disambut delikan mata dari Iin.
“Eh, lagi puasa, Sayang. Nggak boleh kayak gitu. Entar puasanya batal loh,” goda Bran mengerling usil.
Wanita itu berdecak lantas tertawa.
“Makasih ya, Sayang,” ucap Bran berusaha menahan diri untuk tidak memeluk dan mencium istrinya.
“Makasih untuk apa?”
“Untuk semua. Terutama kamu udah menjadi Mami yang baik untuk El dan Al.”
Brandon merasa beruntung telah menikah dengan Arini, sahabat satu-satunya yang pernah dimiliki. Wanita itu selalu berada di sisinya, menemani masa-masa tersulit di dalam hidup yang pernah dilalui Bran.
Bersambung....

Komento sa Aklat (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata