logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Honeymoon

Arini dan Brandon
Piaynemo, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat
Arini memandang hamparan laut yang menyuguhkan warna perpaduan biru turquoise dan hijau toska. Laut itu dihiasi dengan gundukan-gundukan pulau karst kecil. Netra cokelatnya tak henti menatap kagum keindahan alam ciptaan Tuhan ini.
Lelah yang terasa setelah menaiki 320 anak tangga menuju puncak Piaynemo kini terbayar sudah. Pemandangan indah terpampang jelas di hadapannya.
"Kamu suka, Sayang?" bisik Bran di telinga istrinya.
Arini menegakkan tubuh yang tadi bersandar di dada Bran, lantas mendongakkan kepala. Dia mengangguk sambil mengulas senyum manis yang tampak begitu cantik.
"Suka banget, Bran. Makasih ya udah bawa aku ke sini," sahutnya masih dengan senyum mengambang.
"Aku berharap kamu bisa lebih enjoy lagi setelah liburan ke sini," ujar Brandon sembari memutar tubuh Arini menghadap kepadanya.
Pria itu menatap lekat manik cokelat lebar milik Arini beberapa saat. "Jangan kecapean lagi ya. Aku nggak mau sesuatu terjadi sama kamu, In."
"Tenang, Sayang. Aku baik-baik aja," tanggap Arini sambil memegang kerudung yang tertiup oleh angin.
"Andai El dan Al mau ikut ke sini, pasti lebih seru," cetus Iin kemudian.
"Nanti kita bawa mereka ke sini, Sayang. Masih bisa setelah kembali dari Swiss, 'kan?"
Arini menganggukkan kepala.
Keduanya kembali terdiam beberapa saat, menikmati indahnya pemandangan Piaynemo yang mampu merelaksasi pikiran. Raja Ampat memang pantas untuk didatangi meski terletak jauh dari Jakarta. Rasa lelah dalam perjalanan menjadi tidak berarti ketika melihat hamparan laut dipadu dengan bukit kecil hijau yang memanjakan mata.
Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, Arini dan Brandon akan berada di Piaynemo selama satu malam setelahnya melanjutkan perjalanan menuju Puncak Harfat (Harun Fatimah) yang terletak di desa Misool Timur. Suami istri itu ingin melihat secara langsung gua yang bertuliskan lafal Allah yang dianggap keramat oleh umat muslim di Raja Ampat.
Brandon menatap istrinya yang tampak menikmati pemandangan indah di depan mata. Senyuman kembali tersungging di paras tampannya, meski telah memasuki pertengahan usia empat puluh tahun. Dia sangat menyukai bagaimana Arini tersenyum. Itu artinya dia telah mewujudkan impian agar membuat wanita tersebut bahagia.
"Mau kembali ke homestay sekarang, In?" tanya Bran setelah hampir dua jam berada di puncak Piaynemo.
Arini memalingkan paras menghadap Bran masih memegang kerudung yang sesekali tertiup angin. Dia menganggukkan kepala pelan.
"Yuk! Besok kita juga harus ke Puncak Harfat," sahut Iin setuju.
Mereka berdua melangkah menuju tangga kayu yang berjejer panjang ke bawah. Tangga inilah yang digunakan sebagai akses jalan bagi para wisatawan yang ingin melihat keindahan puncak Piaynemo.
***
Setelah melakukan perjalanan wisata di Puncak Harfat dan gua keramat Misool, Arini dan Brandon kembali lagi ke homestay. Mereka melepas penat dengan duduk di depan bungalow yang disewa sembari melihat pemandangan laut lepas. Arini merebahkan kepala di dada suaminya.
"Bran," bisik Arini mendongakkan kepala.
"Kenapa, Sayang?"
"Kamu masih ingat nggak dulu waktu kita SMA, pertama kali kamu boncengin aku sama motor?" ujar Iin mengubah posisi menjadi miring.
Brandon melihat wajah Arini sambil mengusap lembut pinggir rambut hitam miliknya.
"Masih. Waktu itu pertama kali aku ajak kamu bertemu dengan Mama."
Arini tersenyum manis ketika mengenang pertama kali keduanya akur setelah bermusuhan.
"Kamu gendong aku turun dari atap," kenang Arini dengan senyum masih mengambang.
"Untung kamu ringan, jadi punggungku masih aman," tanggap Bran mencolek ujung hidung istrinya.
"Kurus banget ya dulu sampai kamu bilang aku ringan kayak kapas." Arini tergelak mengingat komentar Brandon tentang tubuhnya dulu.
Bran juga tertawa lebar. Dulu dia sampai memberi julukan 'Kutilangdara' kepada Arini.
"Tahu nggak? Saat itu, aku was-was boncengan sama kamu?"
"Was-was kenapa?" Kening Brandon berkerut bingung.
"Aku takut kalau tiba-tiba polisi datang, trus kita ditilang. Kamu 'kan belum punya SIM waktu itu."
Brandon memberi kecupan di kening istrinya. Pandangannya beralih melihat air laut dengan kilau kekuningan, karena pantulan cahaya matahari sore.
"Polisi nggak akan tilang kecuali melanggar lalu lintas, Sayang. Kenapa harus takut? Nggak ada razia juga, 'kan?"
"Hmmm ...."
"Lagian aku udah tahu rambu-rambu lalu lintas, jadi nggak perlu khawatir lagi," tambah Brandon setelah itu.
Arini menelungkupkan tubuh di samping Brandon. Jari-jari panjang nan lentik itu, kini menari di dada bidang suaminya.
"Menurut kamu, pola pikir El dewasa nggak?"
"Untuk anak usia enam belas tahun, El dewasa."
Arini mengangguk setuju dengan pendapat Brandon. El bahkan lebih dewasa dibandingkan ayahnya dulu.
"Kira-kira persentase El untuk melanggar lalu lintas berapa?" pancingnya.
Kalian sudah tahu 'kan ke mana arah pembicaraan Arini sekarang? Haha!
Bran menyipitkan mata ke arah istrinya. Dia sudah bisa meraba ke mana pembicaraan ini akan bermuara. Apa lagi jika bukan membujuknya membelikan motor untuk El.
"Kamu mau bujuk aku belikan El motor?" tebak Bran karena bisa membaca isi pikiran sang Istri.
Arini menyengir lebar, lantas menganggukkan kepala. Dia sengaja menunggu saat seperti ini untuk membicarakannya dengan Bran.
"El nggak akan ugal-ugalan, Bran. Aku tahu persis wataknya gimana. Dia juga nggak akan aneh-aneh. Percaya deh," papar Iin.
"Aku juga tahu, Sayang. Tapi tetap aja belum saatnya. Lagian nggak ada alasan khusus juga untuk dibelikan motor, 'kan?" Brandon memasang wajah keberatan.
"Menurut kita memang nggak ada, Bran. Bisa jadi El butuh. Sama kayak kamu dulu. Sebenarnya kalau dipikirkan juga nggak butuh, masih bisa diantar supir," komentar Arini pelan.
Brandon mendesah pelan. Sementara Arini memeluknya erat.
"Coba kasih kepercayaan kepada El dulu ya? Kalau dia melanggar, kamu bisa tarik lagi motornya. Gimana?" bujuk Iin penuh harap.
Pria itu memejamkan mata sebelum hening beberapa saat. Kepalanya kemudian mengangguk setuju.
Senyum kemenangan terbit di wajah Arini. Wanita itu tahu persis bagaimana cara menaklukkan keras kepala suaminya.
"Makasih ya, Sayang," ucapnya memberi kecupan bertubi-tubi di bibir Bran.
Brandon malah menarik tengkuk istrinya, sehingga bisa mengejar bibir ranum itu lebih dalam dan intens lagi. Keduanya larut dalam aktivitas yang kerap dilakukan sehari-hari.
"Aduh!" seru Arini setelah pagutan bibir terlepas.
"Kenapa, In?" tanya Brandon khawatir.
"Aku kebelet pipis. Bentar ya," jawab Iin segera berdiri.
Tanpa menunggu jawaban dari sang Suami, wanita itu segera masuk ke dalam bungalow tempat mereka menginap. Beberapa langkah sebelum memasuki kamar mandi, Arini terdiam. Matanya membulat memperlihatkan tatapan bingung. Sesaat ia terdiam tidak tahu harus melakukan apa?
Tiba-tiba terasa cairan hangat mengalir di sela kaki. Arini tersentak ketika ingat maksudnya tadi ke dalam bungalow adalah melepas hajat kecil.
"Bran, kamu jangan masuk ke dalam dulu," teriaknya panik.
"Kenapa, In?"
"Pokoknya jangan masuk dulu sampai aku keluar nanti!!"
Dia bergegas ke kamar mandi melepaskan apa yang tadi terasa, setelahnya membersihkan genangan urine yang sempat keluar membasahi lantai kayu bungalow. Arini mengambil pakaian ganti, lantas kembali lagi ke dalam kamar mandi.
Astaghfirullah. Ada apa dengan hamba ya, Allah? Kenapa bisa ngompol kayak tadi? Sesaat lupa masuk ke dalam untuk pipis, bisiknya dalam hati.
Arini memandangi pantulan wajah di kaca kamar mandi. Mata terpejam erat ketika merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya.
Bersambung....

Komento sa Aklat (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata