logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Freedom

El dan Al
Beberapa hari kemudian
Sepasang mata cokelat tampak mengerjap, perlahan terbuka lebar. El sesekali menguap sambil meregangkan tubuh setelah bangun dari tidur lelap. Senyuman terbit seketika di wajahnya saat ingat hari ini adalah hari kedua Brandon dan Arini pergi berbulan madu ke Raja Ampat.
Dia bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. El bahagia ketika kedua orang tuanya tidak sedang di rumah. Tujuh hari dimanfaatkan untuk meraih kebebasan.
Selesai berpakaian, pemuda itu segera turun ke ruang makan. Sandy, Lisa dan Alyssa sudah menunggu di sana. Mereka duduk di kursi yang biasa ditempati masing-masing.
Al tampak rapi mengenakan seragam batik dipadu dengan rok abu-abu panjang. Mereka kemudian menyantap hidangan yang telah tersedia.
“Hari ini pulang jam berapa?” tanya Sandy melihat kedua cucunya bergantian selesai sarapan.
“Biasa, Kek. Jumat pulang jam 11.00. Tapi kayaknya El salat Jumat di masjid dekat sekolah deh,” jawab El.
“Al bagaimana? Terpaksa nunggu El pulang dulu dong?” imbuh Lisa.
Al mengangguk sebelum menyeruput susu hangat yang telah tersaji di atas meja.
“Biasanya juga gitu. Al pulang nunggu Abang kelar Jumatan dulu.”
“Kalau El pulang sendiri saja bagaimana?” Sandy mengalihkan paras kepada cucu laki-lakinya.
Kening El berkerut mendengar perkataan Kakeknya. “Maksudnya gimana nih, Kek?”
Sandy berdiri lantas menggamit lengan El beranjak menuju garasi. Al dan Lisa menyusul di belakang.
“Ini rahasia kita berempat. Jangan sampai Mami dan Papi kalian tahu,” ujarnya pelan.
Netra cokelat El melebar ketika pintu garasi mobil terbuka. Bibir berisi di bagian bawah dan tipis di bagian atas ternganga.
“Buat kamu.” Sandy tersenyum lebar kepada cucunya.
Pemuda itu bergegas mendekati sepeda motor Honda CBR 250RR berwarna hitam metalik keluaran terbaru. Tangannya mengelus setang, kemudian body motor besar tersebut.
“Kek, ini serius buat El?” kata El tak percaya.
Sandy menganggukkan kepala cepat. “Syaratnya kamu harus berkendara dengan hati-hati. Lihat rambu-rambu.”
“Wow! Bang!” seru Al semringah.
“Kita berangkat sekolah pake ini aja, Dek,” cetus El mengerling kepada Al.
“Sekalian nanti pulang sekolah jalan-jalan, Bang,” usul Al.
El segera mendekati Sandy dan memeluknya erat. “Makasih, Kek. Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi.”
Sandy mengusap lembut pinggir kepala El, lantas memberi kecupan di keningnya. “Sudah seharusnya Kakek belikan ini untuk kamu. Habis Papa kamu itu susah dibilangin.”
“Al mau dibelikan apa?” Kali ini Lisa bersuara.
Bola mata gadis itu terangkat ke atas dengan bibir saling menjepit. “Belum kepikiran sekarang sih, Nek. Ntar aja deh.”
“Nanti bilang sama Nenek saja.”
Al mengangguk tegas.
“Berangkat sekarang, Dek?” El menyerahkan helm kepada Al.
Kedua remaja itu langsung berpamitan kepada Sandy dan Lisa. Motor melaju meninggalkan kediaman keluarga Harun di daerah Menteng Dalam.
***
Elfarehza
Ketika jam istirahat, El memilih naik ke atap gedung sekolah. Suasana hati yang baik membuatnya ingin menikmati udara kota Jakarta di sana. Dia tidak pernah menyangka Sandy akan membelikan motor yang diidam-idamkan.
Begitu membuka pintu, El melihat seorang gadis duduk di bangku besi panjang yang ada di bagian tengah atap gedung. Dia menatap tak percaya melihat Syifa berada di sana seorang diri. Gadis itu terperanjat ketika mendengarkan suara pintu terbuka.
“Duduk di sana aja, nggak pa-pa. Aku bisa duduk di sana,” tahan El ketika melihat Syifa berdiri sambil mengerling ke arah bangku panjang yang ada di sisi satunya lagi.
Syifa tampak ragu. Dia maju satu langkah.
“Kamu satu kelas dengan Alyssa, ‘kan?” tutur El membuat langkah Syifa berhenti.
Gadis itu menoleh ke arahnya, lantas mengangguk. “Iya, Kak.”
El mengulurkan tangan ingin berkenalan dengan Syifa. “Elfarehza, kakak kandung Alyssa,” ucapnya memperkenalkan diri.
Syifa hanya menganggukkan kepala, tanpa menyambut uluran tangan El. “As-syifa, Kak,” sahutnya.
“Kamu duduk aja di situ, aku duduk di sini,” kata El lagi mengerling ke arah bangku. “Maaf jadi ganggu kamu.”
Syifa memilih duduk lagi di tempat semula. “Nggak kok, Kak.”
“Kamu nggak makan siang?” tanya El basa-basi mencari topik pembicaraan.
Syifa menggeleng pelan. “Kebetulan tadi udah sarapan di kosan.”
“Kamu di sini ngekos?”
“Iya. Kos dekat sini.”
El memalingkan paras melihat Syifa. “Pasti bukan orang Jakarta,” tebaknya.
Gadis itu tersenyum, lantas mengangguk. “Tinggal di Medan, tapi orang tua asli Sumatera Barat.”
“Oya? Padang-nya di mana? Jangan bilang Bukittinggi,” cetus El antusias.
Syifa malah tertawa mendengar perkataan El.
“Lho kok ketawa sih?” Kening pemuda itu berkerut bingung. Mata cokelatnya menjelajahi wajah imut Syifa yang tampak begitu manis.
“Lucu aja setiap kali dengar orang sebut Sumatera Barat dengan Padang. Apalagi bilang orang Minang dengan sebutan orang Padang,” sahut Syifa di sela tawa yang keluar dari bibir mungil berwarna merah muda.
El malah nyengir sambil garuk-garuk kepala tak gatal. “Gitu deh. Padahal Mamiku orang Bukittinggi, tapi tetap aja orang bilang dia orang Padang.”
“Bukittinggi? Di mana, Kak?” Kali ini giliran Syifa yang terkejut.
“Jadi benar orang tua kamu asli Bukittinggi?” tebak El dengan mata membulat.
Syifa mengangguk cepat. “Umi orang Bukittinggi, tapi Abi orang Lawang. Masih Minang juga.”
El berdecak sambil geleng-geleng kepala. Dia tak pernah menyangka bisa bertemu dengan orang Minang di sekolah ini.
“Salut loh sama cewek yang tinggal sendirian di Jakarta, masih remaja pula.” Pemuda itu kembali berdecak kagum. Netranya tidak lepas dari wajah Syifa yang sudah menarik perhatian sejak pertama berjumpa.
“Aku punya saudara juga di sini, Kak. Tinggal di Jakarta Timur.”
Bibir El membulat. “Tapi tetap aja kamu ngekos, ‘kan.”
“Berarti Abi dan Umi kamu tinggal di Medan dong sekarang?”
“Abi kerja di Medan. Kalau Umi udah meninggal waktu melahirkanku,” ungkap Syifa dengan kepala tertunduk. Tampak kesedihan di wajahnya.
“Oops sorry. Aku nggak tahu,” ucap El dengan raut wajah menyesal. Dia bisa melihat genangan air di netra atraktif milik gadis itu.
Syifa tersenyum tipis, lantas mengalihkan pandangan melihat langit yang cerah. “Nggak pa-pa, Kak.”
Keduanya terdiam beberapa saat, larut dengan pikiran masing-masing.
“Kenapa sekolah di Jakarta?” tanya El memecah keheningan.
“Sekolah ini bagus, makanya Abi suruh aku sekolah di sini. Katanya biar bisa masuk UI,” jawab Syifa sambil membenarkan posisi kerudung.
El manggut-manggut.
“Pernah pulang kampung dong ke Padang? Eh, maksudku ke Bukittinggi.”
“Sering banget, Kak. Setiap libur sekolah, Abi selalu bawa aku pulang kampung.” Syifa kembali menoleh kepada El. “Kakak gimana?”
“Pernah beberapa kali sih, kalau Opa dan Oma nggak ke sini waktu liburan.”
“Jadi kakek dan nenek kakak masih tinggal di sana?”
“Ya, paman-pamanku juga di sana. Hanya Mami yang bandel memilih tinggal di Jakarta nemenin Papi.”
Syifa menatap bingung dengan mata cokelat lebar jernih miliknya.
“Awalnya keluarga Mami tinggal di sini. Setelah Opa pensiun, seluruh keluarga kecuali Mami kembali ke Bukittinggi. Beliau memilih di sini temani Papi,” jelas El tahu arti sorot mata Syifa, “Mami dan Papi sahabatan sejak SMA.”
“Wow! Sahabat menjadi pasangan,” celetuk Syifa.
El tersenyum melihat gadis itu. Ternyata Syifa tidak pendiam seperti apa yang dikatakan Alyssa.
Anaknya asik juga. Nggak pendiam, gumam El dalam hati.
“Ceritanya panjang, Syifa. Seluruh guru tahu gimana mereka waktu SMA dulu,” komentar El menahan tawa ketika ingat apa yang pernah dikatakan oleh guru-guru tentang Arini dan Brandon.
Syifa mengulum senyum mendengar perkataan El. Pandangannya berpindah melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiri.
“Waktu istirahat tinggal lima menit lagi. Aku turun ke bawah dulu ya, Kak.” Gadis itu berdiri sambil merapikan kerudung lagi.
El mengangguk dengan pandangan tak lepas dari Syifa. “Senang kenalan sama kamu. Lain kali boleh ‘kan ngobrol lagi?”
“Sure, Kak. Nggak masalah,” balas Syifa menundukkan kepala.
“Permisi dulu, Kak Elfarehza.”
“Panggil El aja.”
Syifa menjepit bibir sebentar. “Aku turun dulu, Kak El. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Perhatikan tangga saat turun.” El menepuk pelan bibir karena salah bicara. “Maksudnya, hati-hati turun.”
Gadis itu tertawa kecil, kemudian melangkah menuju pintu masuk gedung.
El hanya bisa melihat Syifa menghilang di balik pintu sambil meraba dada kiri yang berdebar untuk pertama kali di dekat perempuan. Meski pada awalnya merasa grogi bertemu dengan gadis itu, namun El bisa mengendalikan diri. Dia berharap bisa berbicara seperti tadi lagi dengan gadis yang telah memberikan nuansa lain di hatinya.
Bersambung....

Komento sa Aklat (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata