logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

彡ꦽꦼ‌•ˑ˒Eps 09. Akarnya tumbuh

Anila tidak hirau.
"Ayo Ayar! Kita pergi aja dari sini, tidak usah bantu, tidak usah panggil, tidak usah bicara, pada orang yang bukan lagi siapa-siapa."
Anila menggeret tangan Ayar dan pergi dari kamar kakaknya.
Anala memang seperti itu, sering berkata tanpa berpikir lebih dahulu. Perkataannya kerap kali melukai hati orang yang mendengarkan, tetapi itu menurutnya hal biasa. Karena itu hanya sebuah perkataan 'doang'. 
Seringkali, setelah Anala menyadari bahwa dirinya lumayan salah. Iya, lumayan. Anala tidak pernah menyadari bahwa dirinya benar-benar salah. Mungkin dia hanya memulai untuk bicara, tetapi tidak untuk meminta maaf.
Entah apa yang terjadi atas perbedaan sikap mereka bertiga, kadang-kadang mereka sangat akrab. Terkadang ya seperti itu, berantem tanpa hirau satu sama lain, wajah dan kepribadian mereka bertiga sangat berbeda. Mereka saudara, tetapi Anila merasa aneh. Hatinya selalu merasakan kesedihan yang luar biasa ketika adiknya menangis. Hanya adiknya, tidak kakaknya, padahal ketiganya sama-sama tidak tahu siapa Ayah mereka.
Sebenarnya awal masalahnya hanya karena tadi Ayar disuruh-suruh oleh kakaknya Anala, hasil suruhannya bagi Anala adalah salah.
Kemudian, saat Ayar sedang bermain Air hujan di belakang rumah, Anala me-video Ayar yang hanya memakai baju seadanya, mengancam akan mengunggah video itu ke facebook jika Ayar tidak mau disuruh dengan benar lagi.
Sebenarnya Anala juga tidak akan serius melakukan itu, tetapi karena Ayar masih belum terlalu mengerti. Jadi, Ayar berpikir kakaknya akan benar-benar melakukannya. Lantas ia mengadukannya pada Anila secara tidak jelas. Maka, terciptalah kesalah-pahaman.
"Dengarkan kakak Ayar, kamu tidak boleh lengah terhadap siapapun, tidak perduli siapapun. Mau itu kakakmu, pamanmu, iparmu, ibu atau bahkan kak Anila sekalipun."
"Jadikan dirimu itu berharga, JANGAN PERNAH Kau SERAHKAN HARGA DIRIMU PADA ORANG LAIN,"
Ayar mengamati lamat muka kakaknya yang menjelaskan, isak tangisnya mereda.
"Berprinsiplah bahwa harga diri itu di atas segalanya. Hakikat seseorang hidup itu adalah menjaga harga dirinya, jikalau seseorang telah kehilangannya, maka sama halnya, hilang pula rasa sayang Tuhan terhadap dirinya. Kamu mengerti?" 
Ayar mengangguk mengisak tangis.
"Harga diri sama berharganya dengan Agama.
Ayar punya Agama kan? Yang harus Ayar jaga?"
"Apa tuhan gabakalan Sayang sama Ayar kalau Ayar ga sengaja hancurin harga diri Ayar?" tanya Adiknya polos.
"Jangan sampe. DAN NAUDZUBILLAH, JANGAN PERNAH AYAR, Tuhan memiki sifat pengasih yang diberikannya tanpa pilih-pilih ke setiap hamba. Namun, sifat penyayang Tuhan hanya diberikan kepada hamba yang mau patuh dan dekat dengannya,"
"Maksudnya kak? Ayar belum ngerti," tanya Ayar lirih, ragu-ragu.
"Dengar, semisal kaya kemarin, waktu Ayar belajar kelompok di rumah. Nah, itukan kak Anila mengajari Ayar dan teman-teman ayar untuk belajar Mtk, waktu itu...  mau temen Ayar itu nakal atau enggak, baik atau engga, Kak Anila akan tetap mengajari ilmu Mtk ke kalian semua.
Tetapi, temen-temen Ayar tahu ga...? Ayar tahu ga? Kak Anila sayangnya sama siapa? Bisa jadi di antara semua yang kakak kasih ilmu, Kak Anila hanya menyayangi Ayar saja, engga buat teman-teman Ayar," kata Anila dengan sangat cepat, seperti semuanya sudah tersusun di luar kepala.
Ayar mengangguk mengangkat dagunya yang masih cemberut.
"Mengerti? Nah begitu ibaratnya. Jadi, jagalah harga diri. JAGA HARGA DIRI Kita agar Tuhan tidak hanya memberikan kasihnya, tetapi juga rasa sayangnya kepada kita."  
"Ingat ini ya, Ayar! INGAT!"
Ayar memeluk kakaknya erat, Anila membalas memeluknya, mengusap kepalanya pelan.
"Kita itu saudara, jadi jangan pernah anggap kamu sendiri" hatur Anila lirih.
Hujan hari itu menjadi saksi romantis dan harmonisnya hubungan Adik-kakak antara Ayar dan Anila. Beberapa kali petir ikut menyambar, seperti merasa cemburu di angkasa.
* * 彡* *
Dewi angin mencium aroma manusia, dia menjelajahi seluruh kota dengan muka tak menampakkan senyum sedikit pun.
Ia masuk dan mengobrak-abrik semua toko, kekuatan perasa-nya membuatnya berhasil menemukan sebuah baju.
"Ini adalah baju manusia," ucapnya mencium baju itu.
"Berani sekali! Siapa yang berani membawa manusia masuk ke alamku?!"
Kota berangsur diam.
"DENGAR! SIAPA YANG MELIHAT MANUSIA DISINI!" bentakan Dewi angin membuat semua orang gemetar ketakutan. Terlebih, ini adalah pertama kalinya.
Semua orang berkumpul dihadapan sang Dewi.
Mereka semua terdiam.
"APA KALIAN SEMUA TULI?! SIAPA YANG TELAH MELIHAT MANUSIA BERADA DISINI?!"
Mereka tetap terdiam.
"Jika kalian masih tetap tidak ada yang bersuara, maka akan aku turunkan hujan dan membuat semua buku disini basah. Hancur!" ancam Dewi angin.
"Tidak Dewi.... Jangannn!!" semua penduduk Alam buku berteriak.
"Katakan!"
Seorang lelaki tua maju dengan ragu-ragu, menundukkan pandangannya, dan berkata gelagapan.
"A a a-ku, me me-lihat a a a–"
"Katakan dengan benar! Apa?!" hardik Dewi angin tidak sabaran.
"Aku melihat seorang manusia bermain dengan dua anak kembar, Dewi..." jelasnya cepat.
"Siapa anak kembar itu? Siapa mereka?!"
"Sepertinya mereka berdua adalah cucu nenek sahara, Dewi..."
"PANGGIL MEREKA!! DAN SERET MEREKA KEMARI!!"
* * 彡* *
Anila bangun pagi, membantu Ibunya menyiapkan makanan, sembari mengobrolkan beberapa hal.
Tentang sekolah, teman-teman dan cerita-cerita lucu yang Anila alami.
Sarapan telah tersaji, seperti biasanya, Anila, Ayar, Anala serta Ibu siap untuk makan bersama.
"Oiya Ibu, Anila disuruh beli buku kurikulum baru, Ibu,"
"Berapa?"
"Rp.100.000 Ibu, itu udah semua pelajaran kok, Bu,"
"Heleh! Dulu juga Aku beli sendiri kalau perlu buku," sahut Anala ikut bicara judes.
Anila melirik sinis.
"Iya, bener Ani, dulu kakakmu aja beli buku sendiri,"
"Terus? Maksudnya apa? Anila ga boleh beli?" Anila bersungut-sungut, sepertinya moodnya sedang tidak baik di beberapa hari terakhir.
"Ya, beli sendirilah! Makanya cari uang! Ga minta terus, issh..." seloroh Anala memutar bola matanya.
Anila mendengus hendak maraj.
"Engga, tapi dulu ya, bener Ani, kakakmu itu di seusiamu udah bisa jualan atau apa cari uang buat ngehasilin uang sendiri."
"Maksudnya engga kaya aku kan? Aku beban keluarga? Begitu?... Oke!" 
Anila meninggalkan meja makan. Menaruh sendoknya sembari menggebrak meja.
"Aku udah tau, pasti bakalan dibanding-bandingin lagi sama Kak Anala, memang kenapa, sih? Aku ya Aku, Aku ya begini, Aku itu beda dari kak Anala. Ga sama, dan gaakan pernah sama!" batin Anila.
* * 彡
Hari itu Ayar pulang larut, dia harus kerja kelompok. Seperti sebelumnya, di dalam kelompok pun Anila hanya dimanfaatkan dan dihina kesana kemari. Mengejek tentang seorang Ayah yang tidak pernah ia kenal, dan itulah hinaan terbesar yang membuatnya pulang dengan mengisak tangis hari ini.
"Buka pintunya! Ibu mau ngomong, kenapa dikunci?" seru Ibu Anila menggedor kamar Anila.
Tok tok tok!
"Buka Anila!"
"Huft... huft," Anila tetap duduk dibalik pintu tanpa menjawab teguran Ibunya.
"Kamu ini udah gede Anila! Jangan kaya anak kecil bisa ga?! Capek ibu tuh ngurusin kamu kaya gitu teros. Semaunya Sendiri!" bentak Ibunya dari balik pintu.
Tangis Anila semakin keras. Namun, ditahannya erat-erat.
"Ibu ga ngerti sih, Ibu ga ngerti gimana rasanya jadi Anila, selalu dibandingin, selalu di hina, dibully, disiksa. Apalagi? Selalu dimarah juga sama Ibu. eeee... huft uhft..." rintihan hatinya terlihat sangat tersayat-sayat.
"ANILA! KAMU ITU PUNYA TELINGA ENGGA!"
"PUNYA Anak yang paling susah dibilangin ya cuma kamu!"
"Kenapa Ibu harus tanya begitu? Ibu saja tidak pernah bertanya baik-baik pada Anila. 'Anila kamu kenapa?' begitukan bisa seharusnya... Ga harus marah-marah terus... uhft huft..." hatinya kembali merintih, mengisak bak terkoyak-koyak.

Puncak kesabaran Anila habis, sejak seminggu terakhir hubungan Anila dengan Ibunya semakin memburuk. Terlebih, ditambah kejadian baru tentang terformat habis pesan di Whattsapp Anila.
Anila memprotes, menurutnya di sana terdapat banyak dokumen penting dan berbagai macam kenangannya dengan Gata. Selama ini Anila masih dapat tersenyum dan tertawa karena chat itu, dan sekarang, semua chat itu telah hangus tanpa sengaja oleh Ibunya.
"Apaan sih Anila, berlebihan! Cuma Chat kaya gitu doang, ga penting tau," ucap Ibunya enteng saat Anila tanya mengapa Whattsapp-nya kosong.
"Ga penting?" Kali ini Anila menyerah dan tak ingin berdebat lagi dengan Ibunya. Rasa benci tumbuh seminggu terakhir dalam tubuhnya semakin membesar sekarang. 
Pikiran Anila terasa buntu, tak ada lagi kebaikan ibunya yang tersirat dalam benaknya, hanya ada, Ibu jahat, Ibu kejam, dan Anila benci memiliki Ibu seperti Ibunya.
Kali ini, Anila benar-benar gegabah, mengikuti nafsu bencinya yang gila.
Anila mengambil buku Diary-nya yang jelas-jelas buku itu bukan buku biasa.
Anila mengerti. Namun, tetap melakukannya.

Komento sa Aklat (73)

  • avatar
    NurMaulana

    kasihann bangett sii anilaa

    5h

      0
  • avatar
    NurallyAbi

    mantapppppppp bosquhhhh

    5d

      0
  • avatar
    RaihanMuhammad

    bagus

    12/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata