logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

彡ꦽꦼ‌•ˑ˒Eps 08. Anala

Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Anila, Ayar dan Anala duduk rapi tinggal menyantap sarapan di meja makan.
Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin, tetapi sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua.
Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya sejak awal dia sarapan, sehingga makan pun dia terburu-buru.
Anala sudah tidak bersekolah, santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Namun, baginya sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mampu memiliki pengalaman. Jadi, Dia berpikir memutuskan untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah.
Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois namun memikirkan orang lain setelahnya.
Seringkali dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.
Sudah sejak lama Anila sudah mengerti sifat kakaknya itu. Setuju tidak setuju dirinya hanya bisa meng-yaa jika berdebat dengan kakaknya.
"Hati-hati dijalan ... Pulangnya jangan mampir-mampir," nasihat Ibu Anila saat ia mengalami tangan ibunya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Assalamualaikum," haturnya lirih sembari menaiki motor, menghidupkannya, mulai melaju pelan.
Grek! grek! stttthhh!
Anila terpanting ke depan, motornya tiba-tiba berhenti.
Tuit twit!
Suara remot control yang ditekan.
"Iiih... Kak! Anila mau berangkat sekolah" Teriak Anila dari halaman rumah.
Tuit twit!
Starter motor kembali hidup. Itu motor kakaknya dan telah disetel dengan remote kontrol, jadi percuma memiliki kontaknya jika remotenya dikendalikan oleh kakaknya, seperti tiada guna.
Anila mulai menarik kembali gas, berjalan pelan dua meter dari tempat Dia berhenti tadi.
Tuit twit!
Suara remot kontrol yang kembali ditekan.
"KAKAK! INI UDAH SIANG LOH! Anila buru-buru!
Padahal jamnya masih menunjukkan pukul 06:40 a.m
Tuit twit!
Anila kembali berjalan, tak lama,
Tuit twit!
"Hahahaha... his his" Suara kakaknya, Anala yang menahan tawa dari balik jendela depan rumah. Mengawasi Anila.
Brem brem!
Anila mengegasnya kuat, biar remotenya tidak lagi terkontrol jarak jauh.
Tuit twit!
Suara remot control yang ditekan lagi. Anila telah sigap mengeklik dua kali.
Begitu terus, hingga Anila tidak sempat jalan menjauh, Dia bolak-balik melihat pergelangan tangannya, jam telah menunjukkan pukul 06:59 a.m.
"Kakak mah, Ayolah kak, jangan dibuat mainan... Anila udah te-lat i...ni" Anila mulai merengek, matanya memanas.
Anala menghidupkan starternya secara otomatis, namun mematikannya lagi, memberi harapan palsu kepada Anila.
Tuit twit!
Anila menurunkan penyangga motornya ditengah jalan.
"Udahlah! Anila jalan aja, gausah pake motor. Dah! Ambil aja itu motornya, ambil! huft huft..." Air matanya mengalir, tanpa nada.
"HEH! Pake aja,l... engga-engga, aku bercanda doang," Kakaknya berlari menghampiri motor yang ditinggalkan dipinggir jalan. Anila sudah tidak perduli, mau apa. Bodo amat. Dia tetap berjalan.
"Ngapa si Na,  pagi-pagi kok sudah berisik," tanya ibunya menghampiri Anala yang berdiri di depan rumah.
"Itu si Anila jalan kaki, motornya ditinggal, padahal aku cuma bercanda,"
"Allahumma, Anila..." Ibunya menghampiri.
"Ngapain jalan kaki?"
"Orang kak Anala lah, motornya buat mainan, Anila capek, huft"
"Mainan gimana?"
"Ya, dari tadi dimati-matiin terus, Anila loh buru-buru mau sekolah, Bu,"
"Udah udah nggak papa, Ibu nanti bilangin ke Anala,"
"Anila nanti telat!" desis Anila
"Udah nggak papa, emang kakakmu kan kayak gitu. Udah kamu ngalah aja,"
"Kok malah Anila, sih yang suruh ngalah, Bu?!"
"Ya nggak papa, emang kakakmu orangnya kayak gitu,"
"Anila-kan adiknya Bu, ya kalau sama Ayar, wajarlah, Anila bisa ngalah. Inikan salah kak Anala, jugaan kak Anala kan kakaknya, masa Anila juga yang harus ngalah!"
"Gapapa Anila, sabar. Orang mengalah bukan berarti kalah Anila,"
"Udahlah bu, udah, seterah! Anila udah kesiangan. Dari dulu kan Ibu emang apa-apa paling membanggakan kak Anala,"
Anila kembali menghidupkan motornya dan langsung menarik gasnya kebut.
Ibunya hanya menggeleng menatap laju motor Anila yang semakin menjauh.
Ibunya kembali ke rumah,
"Kamu nggak seharusnya kayak gitu Anala sama adikmu, lagian kamu kan udah gede,"
"Hehe iya Ibu, maaf,  kan tadi niatnya Anala cuma bercanda, Anilanya aja lebay sampai beneran hehe,"
Ibunya hanya mendengus, kembali ke dapur, melihat pertengkaran antara kedua adik-kakak itu tiap hari. Ada-ada saja.
                  * * 彡* *
"Anila makan dulu, ganti baju sekolahnya," ucap Ibunya mengingatkan Anila yang sedang melepas sepatu.
"Anila mau ke kamar, males disini,"
cetus Anila, melihat kakaknya yang melintas hendak ke kamar mandi, menatap Anala sinis.
"Hidih! Siapa juga yang mau kesana," sahut Anala mengangkat bibirnya naik sebelah, memutar bola matanya.
Darr!
Pintu kamar di jebret keras oleh Anila, sebenarnya tidak terlalu disengaja, kebetulan angin membantu moodnya yang sedang tidak baik.
Gemuruh guntur dan awan hitam tiba-tiba menguasai langit.
Anila melempar tasnya. Wajahnya tertekuk sebal, duduk menatap jendela, langit yang akan segera turun hujan.
Kebosanan mulai melanda, hujan yang dari tadi turun juga tak kunjung reda. Sedangkan jiwanya membara ingin melakukan sesuatu. Namun, malas keluar kamar juga, nanti bertemu kakaknya. 
Anila memutar otak, ketika sedang di dalam kamar, tiada lagi hal yang lebih Anila sukai dibanding mencurahkan atau bercerita kepada buku diary-nya. Itu sangat tepat, Apalagi hari itu sangat menyebalkan baginya.
Anila beranjak dari tempat duduk, mengambil sebuah buku di meja.
Tangannya mulai menggarap sebuah tulisan.
Anila tidak pernah mencurahkan atau mengatakan apapun didalam buku itu secara langsung. Karena, ketika ada orang lain yang membacanya Anila merasa tak nyaman, bahkan benci.  Oleh karena itu, Anila selalu menuliskannya melalui bait-bait puisi yang hanya dapat dimengerti dan dirasakan oleh orang-orang yang yang benar-benar menggunakan hatinya.
~•~
[Aku suka hujan, sebab hujan tak pernah tampakan kesedihan,]
[sebab hujan, selalu buatku tenang]
[dengan hujan, teriakku tersamarkan]
[tanpa hujan, tiada kehidupan]
[tanpa hujan, tiada kedinginan]
[tanpa hujan, tiada nikmat Tuhan yang indah
[tanpa hujan, tak akan ada cerita,]
[tanpa hujan, tidak akan ada pelangi]
[tanpa hujan, tiada rasa ketakutan,]
[tanpa hujan, petir tak akan datang,]
[dari hujan, dapatkan kebasahan]
[dari hujan, semua dapatkan makanan,]
[karena hujan, aku jadi banyak belajar]
[karena hujan,]
[Ingatkan ku akan–]
saat di puncak rasa untuk menuliskannya tiba-tiba Anila terganggu oleh ketukan sebuah pintu
Tik tok tok!
Anila sebentar melanjutkan menulis...
[–kenangan yang tak yang tak pernah terlupakan.]
"Sebentar, aku buka pintunya," Anila menggapai pegangan pintu dan membukanya.
"Aa... Ee... Huft huft.... " itu adalah suara adiknya, Ayar yang tiba-tiba datang dengan menangis tersedu-sedu.
Anila yang tidak mengerti hanya diam menatap.
"Kak anila... Ayar capek, Kak, Ayar lelah... Kenapa sih harus Ayar terus yang disalahkan?"
Anila masih tidak mengerti, biasanya Ayar memang selalu menangis untuk hal-hal yang tidak penting. Tapi sepertinya kali ini dia sangat tersakiti.
"Kak Anila, ayaer tadie due marjhari khak analla... huft huft"
Anila tetap terdiam menatap adiknya menangis.
Dia tetap tidak mengerti apa yang dikatakan adiknya itu. Saat sedang tidak menangis saja, Anila sering tidak mengerti Ayar bicara apa. Apalagi, sekarang dia mengatakannya sembari menangis. Anila lebih tidak mengerti lagi.
"Ada apa? Katakan yang jelas Ayar!"
"Huft... Ayar tidak berbuat apapun Kak, Ayar tidak salah... Kak Anila tolongin Ayar," pinta Ayar mengadu. 
Tangisannya semakin pecah, ia meluruskan kakinya Dan meletakkan kepalanya di lantai.
Anila masih tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi Anila tidak bisa membiarkan Adiknya tersimpuh lemah begitu saja. Ia membangkitkan kepalanya dan berkata, "Ada apa sebenarnya? ... katakan!"

Begitu mendengar hal itu, Anila langsung  beranjak dari kamar dan menemui kakaknya Anala. 
"Kakak nggak seharusnya kayak gitu ke adik!" bentak Anila tiba-tiba. 
"Ya emang Adikmu yang salah!" Anala menjawab sembari memoles lipstik di kaca. Tidak perduli.
"Mu? berarti  dia bukan adik kakak? Dia hanya adikku? Siplah—Dia udah banyak bantu kakak! hanya gara-gara masalah sepele, kakak tidak mengakuinya Adik lagi. Sebegitukah?!" Anila semakin sengit.
"Ya!... Aku tidak mau punya adik, bahkan jika kau masih terus bicara di sini... aku pun tidak akan mengakuimu adik juga!" bibir anila terangkat ke sudut.  Mata besarnya membelalak sebentar, mengancam. Anala masih merasa marah dengan Anila. Eh, ditambah aduannya sekarang, sikap egoisnya kembali hadir.
"Persetan dengan pengakuan kakak! INTINYA Anila tidak suka Kakak membuat Ayar MENANGIS!"
"HEH!"

Komento sa Aklat (73)

  • avatar
    NurMaulana

    kasihann bangett sii anilaa

    7h

      0
  • avatar
    NurallyAbi

    mantapppppppp bosquhhhh

    6d

      0
  • avatar
    RaihanMuhammad

    bagus

    12/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata