logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Terpaksa Berbohong Demi Kebaikan

ARINI
Si Kunyuk kurang ajar. Dia pikir gue mau aja disuruh-suruh bersihkan ruangan ini? Lagian petugas sebentar lagi pasti datang beresin semua. Mata sayunya masih melihat tajam ke arah sini.
“Aku ke sana dulu ya, Kak,” ujar gue sama Kak Toni, salah satu senior.
Kak Toni yang rekomendasikan gue sama Pak Bambang agar bisa ikut klub basket ini, meski nggak bakalan pernah bisa ikut kompetisi. Dia bilang kasihan bakat kalau nggak diasah, kali aja bisa gabung klub basket nasional suatu hari nanti. Bagi gue, basket hanya sekedar hobi dan nggak pernah berkeinginan untuk ikut pelatihan khusus atlet.
“Sabar ya, Arini. Brandon memang terkesan kasar, tapi anaknya baik kok,” tutur Kak Toni menyemangati.
What? Baik apanya? Baru ketemu aja udah bikin jengkel, rasa pengin gue cakar-cakar tuh muka tengilnya, batin gue.
Gue tersenyum sambil mengacungkan jempol, lantas melangkah menuju tempat Dust Mop berada. Pandangan ini beralih ke arah si Kunyuk, ternyata dia lagi ngobrol sama Pak Bambang. Sepertinya harus berdiri di sini dulu sampai beliau pergi.
Begitu Pak Bambang keluar lagi, gue langsung melangkah cepat mendekati si Kunyuk. Gigi rasanya sudah menggeletuk erat. Napas keluar dari bibir dan hidung dalam waktu bersamaan.
“Nih, bersihkan sendiri! Gue datang ke sini buat latihan, bukan jadi babu lo!” sergah gue tepat di depan si Kunyuk.
Dia kaget dong mendengar perkataan gue. Mungkin dalam pikirannya, diri ini sama kayak siswi yang mau saja diintimidasi tanpa perlawanan.
Sorry, Nyuk. Pikiran lo salah tentang gue. Meski nggak berasal dari keluarga kaya, tapi gue masih punya harga diri, bisik gue dalam hati.
Air muka si Kunyuk kembali berubah datar kayak biasanya. “Lo masih mau main basket nggak di sini? Kalau masih, lakukan apa yang gue minta.”
“Emang ada peraturan tertulis harus melakukan apa yang diminta Brandon Harun, agar bisa latihan di sini?” tantang gue semakin maju ke depan.
Mata sayu si Kunyuk jadi tajam sekarang. “Di klub ini gue kaptennya. Suka-suka gue dong mau kasih syarat apa sama anggota klub.”
“Ada peraturan yang menyatakan kapten bebas mengubah atau menambahkan peraturan?” Gue masih belum mau kalah.
“Lo—” geramnya.
“Kenapa? Bingung mau beralasan Apalagi?” Gue mendongakkan kepala dengan tatapan menantang. “Atau lo benar-benar niat banget bikin gue mundur dari sini?”
Gue malah tertawa singkat. “Jangan bilang lo masih berpikir kalau gue ikut klub ini biar bisa deketin lo.”
Ya Tuhan, leher pegel juga lama-lama. Ini anak tinggi banget.
“Faktanya begitu. Mana ada sih cewek yang suka rela masuk ke klub basket cowok, kalau bukan incar anggotanya?!”
Lama-lama kesel juga sama nih anak. Emang sebelumnya gue sudah sebal dengan si Kunyuk ini.
“Gue masuk klub ini murni karena hobi main basket. Lo mau lihat gimana cara gue main? Dari sini, gue bisa masukin bola ke dalam ring sana,” kata gue menunjuk ke arah ring yang berjarak tiga meter.
Setelah mengembuskan napas keras, gue melangkah menuju keranjang yang berisi bola basket dan mengambilnya satu. Jari telunjuk dan jari tengah diarahkan ke dua bola mata, memberi kode agar si Kunyuk melihat permainan ini dengan saksama. Senyum miring diberikan kepadanya.
Gue mengambil posisi dengan jarak yang sama dengan tadi. Pertama kali yang dilakukan sekarang adalah menekuk sedikit kaki sambil melakukan stationary dribble dengan mata fokus melihat ke depan sambil memantulkan bola ke lantai. Dalam hitungan detik, gue sudah berdiri dengan posisi untuk melakukan shooting dan … bola masuk ke dalam ring dengan sempurna.
Mata ini mengerling ke tempat si Kunyuk berdiri. Kayaknya dia terkesima dengan apa yang gue lakukan.
“Gue masuk ke sini buat deketin lo? Jangan mimpi! Gue udah punya pacar,” pungkas gue meninggalkannya.
Begitu tubuh berbalik arah, gue menarik napas sebanyak-banyak mungkin saat tubuh memberi reaksi karena berbohong. Punya pacar? Siapa? Sampai sekarang nggak ada satupun cowok yang dekat sama gue.
Ah, bodoh amat. Yang paling penting, biar si Kunyuk nggak kepedean lagi. Kesel banget. Sumpah!
“Buktinya apa kalau lo udah punya pacar?” teriak si Kunyuk membuat gue menghentikan langkah.
Mampus, Ri. Dia tanyain bukti. Mau kasih bukti apa?
Gue memejamkan mata dua detik mencari jawaban, sebelum memutar balik tubuh.
“Lo nggak lihat gue tadi datang diantarin siapa? Itu cowok gue. Anak kuliahan.” Gue menaikkan sedikit dagu, mencoba berlagak sombong. Terpaksa berbohong demi kebaikan diri sendiri.
“Level gue bukan anak sekolah yang masih ingusan kayak lo,” sambung gue sambil mencibir kepadanya.
Well, Ri. That’s crazy! Saking frustasinya sampai bilang kakak kandung lo itu pacar. Mulai senewen lo, gerutu gue dalam hati.
Ketika mengambil tas, ponsel gue berbunyi. Pesan masuk dari Uda David.
My Brother: Udah pulang belum, Ri? Uda lagi di depan gerbang nih. Kalau belum pulang, Uda tungguin ya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Senyum kemenangan terbit di bibir ini, setelah membaca pesan dari Uda David. Gue bisa kasih bukti secara langsung sama si Kunyuk, biar nggak kepedean lagi.
“Lo tanya buktinya, ‘kan?”
Dia mengangguk.
Gue menggoyang-goyangkan ponsel. “Pacar gue udah nungguin di gerbang tuh. Mau kenalan sekalian?”
Sialan, Arini. Ngomong apa sih lo? Kalau dia beneran mau kenalan gimana? Jadi ketahuan bohong, ‘kan?
Si Kunyuk diam, mungkin sekarang merasa malu karena sudah kepedean berpikir gue suka sama dia. Sumpah demi apapun, orang yang berdiri di depan ini bukan kriteria cowok impian gue. Nggak ada manis-manisnya yang ada pahit. Iyeuks!
Tanpa menunggu respons darinya, kaki ini melangkah keluar gedung menuju gerbang karena pacar bohongan gue sudah menunggu di luar sana. Duh, Uda David datang tepat waktu untuk menyelamatkan adiknya yang tertindas ini.
Begitu melihat Uda David menunggu dengan senyum merekah di depan gerbang, gue langsung berlari. Senang banget deh bisa lepas dari si Kunyuk. Syukur-syukur habis ini sadar kalau tujuan diri ini bergabung di klub murni karena hobi bermain basket, bukan deketin dia.
“Katanya suruh Ari pulang sendiri, tapi dijemput juga,” ujar gue sok manja sama kakak sendiri.
“Kebetulan kuliah ditunda tadi, dosen ada keperluan mendadak jadinya baru kelar deh. Sekalian aja jemput adik tersayang, khawatir diculik juga kalau pulang sendirian,” goda Uda David sambil mengusap puncak kepala.
Gue berdecak sambil memasangkan helm. Pandangan ini nggak sengaja melihat ke tempat parkiran, ternyata si Kunyuk sudah duduk di atas motor gedenya.
“Berangkat sekarang yuk, Da,” ajak gue langsung naik ke atas motor. Bisa ketahuan nanti kalau lihat wajah kami berdua mirip pake banget.
Kening Uda David berkerut tampak jelas di kaca spion. “Kenapa sih, Ri? Kok cemas gitu?”
“Nanti aja Ari ceritain. Ayo pulang sekarang,” desak gue sambil menepuk bahunya.
Tanpa bertanya lagi, Uda David langsung menggas motor meninggalkan sekolah. Kami berkendara dalam keadaan hening. Gue larut dengan pemikiran, apa si Kunyuk percaya ya dengan apa yang dikatakan tadi? Berharap sih dia nggak cari gara-gara lagi besok.
“Tumben diam? Biasanya bawel kalau lagi di jalan,” teriak Uda David.
“Lagi nggak mood aja,” sahut gue sekenanya.
“Ada yang gangguin kamu di sekolah?” tanyanya lagi.
Gue memilih diam nggak menjawab pertanyaannya. Takut kualat juga kalau bohong sama kakak sendiri.
“Ari?” Tuh ‘kan jadi penasaran.
“Entar aja deh Ari ceritain di rumah.”
Uda kemudian mengangguk dan kembali fokus lagi melihat jalanan. Lima belas menit kemudian kami tiba di rumah, karena sedikit macet di jalan.
“Kamu kenapa sih, Dek? Cerita dong. Ada masalah di sekolah?” Uda bertanya lagi waktu motor terparkir di garasi rumah.
Dia kayaknya tahu ada yang aneh dengan gue tadi.
Gue mendesah pelan dengan kepala tertunduk. “Itu ada cowok resek yang ngeselin banget.”
“Oya? Siapa? Orangnya gimana? Ganteng nggak?”
Idih kok Uda David responsnya kayak gini sih?
Dia tertawa lebar sambil mengibaskan tangan. “Uda bercanda. Siapa yang berani macam-macam sama adik kesayangan Uda?”
“Itu Si Kunyuk nyebelin,” jawab gue tanpa sadar.
“Si Kunyuk?” Uda semakin terpingkal.
“Maksudnya si Brandon, kapten tim basket sekolah.”
Gue menceritakan semuanya sama Uda. Sejak dulu, dia yang selalu dijadikan tempat curhat. Enaknya punya kakak cowok yang perhatian tuh begini, beda sama adik gue yang cari ribut mulu, rasa pengin ditenggelamkan ke segitiga Bermuda. Eh, kasihan juga. Mau kayak apapun dia tetap adik kandung gue.
“Naksir kali sama kamu, Dek. Jadinya gitu, sengaja bikin kamu kesal,” komentar Uda David.
“Hah? Si Kunyuk naksir Ari?” Kini giliran gue tertawa keras.
“Anak gadis ketawanya kenapa begitu?” Terdengar suara Papa dari pintu yang terhubung dengan garasi. Gue auto diam mendengar suara beliau.
“Nggak sengaja, Pa. Kelepasan,” risik gue pelan.
“Siapa yang suka sama kamu? Bilang sama Papa,” tutur Papa membuat gue menelan ludah.
Uda sih pakai bilang si Kunyuk naksir gue segala, jadi runyam nih urusan kalau Papa sudah tahu.
Bersambung....

Komento sa Aklat (646)

  • avatar
    AtepkingkiHabib

    bagus

    09/08

      0
  • avatar
    KholilullahFauzan

    semoga dapet akun

    27/06

      0
  • avatar
    ChannelMelisa

    i love you

    21/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata