logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Menghindar dari si Kunyuk

ARINI
Pagi ini gue bersiap-siap berangkat ke sekolah. Seragam kebanggaan telah melekat di tubuh ini, lengkap dengan rompi berwarna abu-abu tua. Beruntungnya di sekolah ini menyediakan tiga jenis rok yang bisa dikenakan. Pertama, rok yang panjangnya tepat di atas lutut, biasanya dipakai oleh siswi kelas atas. Kedua, rok panjang tepat di bawah lutut, pada umumnya dikenakan siswi kelas menengah kayak gue. Dan ketiga, rok panjang hingga menutupi mata kaki yang dikenakan siswi berkerudung.
Hari Senin dan Selasa, seluruh siswa dan siswi mengenakan atasan putih dengan bawah abu-abu. Rabu mengenakan pakaian seragam khas sekolah, atasan kemeja dengan dasi kupu-kupu berwarna merah hati dipadu dengan rok kotak berwarna merah hati juga. Hari Kamis mengenakan pakaian pramuka dan Jum’at baju batik dengan bawahan rok panjang bagi siswi.
“Berangkat bareng Uda aja yuk, Ri,” kata Uda David, kakak gue, yang sudah rapi dengan pakaian kemeja dipadu dengan celana jeans.
“Loh, Uda kuliah pagi ya?” Gue memalingkan paras saat mencantolkan tas di punggung.
Uda David mengangguk. “Masuk jam 08.00, jadi masih bisa anterin kamu dulu.”
Gue langsung tersenyum manis kepada kakak tersayang. “Sweet banget sih jadi Kakak. Makin sayang deh.”
“Huuu … Merayu tuh, Uni,” ledek si Bontot. “Aku nggak dianterin sekalian juga, Da?”
“Kamu sekolahnya deket sini, bisa jalan kaki,” balas Uda David.
Gue menjulurkan lidah kepada Donny, adik satu-satunya. “Tuh, jalan kaki biar sehat.”
“Pilih kasih nih,” rajuk Donny sambil berdiri kemudian pergi setelah berpamitan kepada Mama dan Papa.
Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan si Bontot yang sering merasa di-adik tirikan, karena Uda David lebih sayang sama gue daripada dirinya. Sudah jelas dong, dia ‘kan cowok jadi sudah sewajarnya Uda lebih memerhatikan gue.
“Ari pergi dulu ya, Ma, Pa,” ucap gue sambil mencium punggung tangan mereka satu per satu.
“Hati-hati di jalan ya. Jangan pulang telat dan—”
“Jaga diri baik-baik,” sela gue sebelum Mama menyelesaikan kalimatnya.
Kami berdua tertawa bersama. Kalimat itu selalu diucapkan oleh Mama setiap hari sebelum gue berangkat ke sekolah.
“Tambahannya, jangan bergaul dengan sembarang orang,” kata Papa menambahkan.
“Siap, Bos. Don’t worry, Ari bisa jaga diri,” tanggap gue memberi kecupan di pipi Papa, kemudian beralih di pipi Mama.
“Assalamualaikum,” pamit gue bersamaan dengan Uda David.
Enaknya berangkat sekolah dianterin sama Uda begini, nggak perlu capek-capek menunggu angkot dan nggak keringatan juga karena berdempetan di kursi penumpang. Kadang-kadang, Papa yang anterin kalau nggak buru-buru ke kantor.
Lima belas menit kemudian, kami tiba di sekolah. Gue minta Uda mengantarkan sampai gerbang saja biar nggak repot keluar lagi. Kasihan juga, karena harus ke kampus setelah ini.
“Makasih ya, Uda,” ucap gue tersenyum manis sambil menyerahkan helm.
“Sama-sama, Ri. Nanti pulang jam berapa?”
“Kayaknya sorean deh. Ari udah mulai masuk klub basket hari ini.”
Uda manggut-manggut. “Kalau gitu pulang sendiri aja. Hati-hati ya adik sayang.”
“Iya, Uda sayang. Hati-hati juga ya,” balas gue sambil melambaikan tangan.
Perlahan senyum di wajah memudar ketika melihat Honda CBR berwarna biru memasuki gerbang. Tanpa sengaja pandangan ini bersirobok dengan mata sayu milik si Pengendara. Si Kunyuk melihat sinis ke arah gue sebelum memasuki gerbang.
Kaki ini terus melangkah meski harus melewati tempat parkir motor terlebih dahulu. Sudah pasti nanti bakalan ketemu sama si Dekil itu. Jangan sampai dia bikin mood gue rusak pagi-pagi. Sebisa mungkin diri ini pura-pura nggak lihat ke arahnya.
Pura-pura nggak lihat, Ri. Anggap aja nggak ada. Dia makhluk nggak kasat mata, bisik gue ketika melangkah menuju pintu masuk gedung.
Pegangan mengerat di tali tas dengan pandangan lurus ke depan. Sepuluh langkah lagi menuju pintu masuk gedung, gue bisa bernapas lega setelah itu dan langsung masuk ke kelas.
Ayo, Ri. Sebentar lagi sampai. Nggak usah lihat si Kunyuk, batin gue terus menyemangati.
Lima langkah menuju pintu masuk, terasa seseorang menarik tas gue ke belakang. Tubuh kurus ini sudah pasti ikutan mundur ke belakang.
“Mau kabur ke mana lo?” tanya suara di belakang gue.
Mata langsung terpejam seiringan dengan wajah meringis, ketika berhasil mendeteksi suara milik siapa itu. Sialan! Ternyata si Kunyuk mau cari gara-gara pagi ini.
Begitu mata terbuka, gue membuang napas keras sehingga poni terangkat ke atas semua. Segera dibalikkan tubuh ke belakang sambil memangku tangan.
“Ngapain lo tarik-tarik tas gue?” protes gue mendelik nyalang.
“Gue cuma mau pastikan lo nggak datang ke klub sore ini,” balasnya menatap dingin.
“Pastikan nggak datang?” Gue tertawa singkat.
“Emang kenapa kalau gue datang? Masalah buat lo? Hello, klub itu milik sekolah. Fasilitas SE-KO-LAH, bukan milik lo pribadi. Tolong catat itu!” cecar gue menahan kesal sambil mengeja kata ‘sekolah’.
“Lo itu rusak pemandangan di sana. Gue ‘kan udah bilang, kalau cuma mau deketin gue, mending lo urungkan niat deh.”
Mata ini melebar lagi mendengar perkataannya. Ya Tuhan, kenapa bisa ada orang yang over confidence kayak si Kunyuk ini di muka bumi, khususnya bumi pertiwi tercinta ini?
“Astaga! Mau ngomong kayak gimana lagi sih biar lo yakin kalau gue ikut klub basket ini bukan mau deketin atau caper sama lo, Kunyuk?” balas gue tanpa bisa menutupi rasa kesal lagi. Napas juga terasa sesak sekarang.
Mata sayu si Kunyuk kini menatap gue tajam. “Apa lo bilang? Kunyuk?”
“Iya, lo itu Kunyuk. Monyet kecil. Tahu, ‘kan? Kunyuk yang sok kegantengan dan berpikir semua cewek ngejar-ngejar dia,” jelas gue tertawa keras tanpa sadar saking frustasinya menghadapi cowok kayak gini.
Brandon, si Kunyuk, maju satu langkah ke depan. Matanya nggak lepas dari gue sejak tadi. Dia pikir nyali ini bakalan ciut lihat tampang sok cool-nya? Sorry to say, gue nggak takut sedikitpun.
“Kenapa? Mau intimidasi gue? Silakan, nggak takut,” tantang gue sambil membusungkan dada.
Rahangnya tampak mengeras sekarang. Gue nggak gentar malah maju juga selangkah sehingga pandangan kami beradu selama beberapa detik.
“Ada apa ini, Bran?” Tiba-tiba terdengar suara cewek dari samping kanan gue.
Spontan kepala ini menoleh ke arahnya. Ternyata salah satu siswi termodis dengan penampilan elegan berdiri bersama dengan empat orang temannya. Mungkin mereka satu geng.
Gue dan si Kunyuk sama-sama mundur satu langkah ke belakang. Dia memalingkan paras dengan tatapan dingin kepada cewek-cewek itu.
“Bukan urusan lo,” sahut si Kunyuk sambil berlalu memasuki gedung.
Gue juga memutuskan untuk masuk ke gedung secepatnya. Bahaya juga berlama-lama di dekat lima cewek itu. Dari auranya saja sudah menyeramkan. Mungkin mereka fans si Kunyuk.
Kaki ini melangkah memasuki kelas yang ada di lantai dua.
“Rini,” sambut Lova membentangkan tangan dengan gaya lebay-nya.
“Apa-apaan sih pagi-pagi udah lebay,” balas gue sambil meletakkan tas di kursi.
“Gimana kemarin? Udah mulai latihannya? Tanggapan si Brandon gimana?” Lova mulai menginterogasi kayak detektif.
“Bisa nggak sih jangan bahas si Kunyuk itu,” tanggap gue malas.
“Si Kunyuk? Maksud lo, Brandon?”
Gue mengangguk lesu. “Bikin mood gue rusak pagi-pagi tuh anak.”
“Ada apa sih? Cerita dong. Penasaran nih,” desak Lova.
Gue mengedarkan pandangan ke sisi ruangan yang masih lengang. Tatapan berhenti ketika melihat lima orang cewek yang tadi menegur Brandon, kini berada di kelas dengan pandangan mengintimidasi. Sesaat saliva seakan berkumpul banyak di mulut ini.
Salah satu di antara mereka berjalan ke depan menghampiri meja tempat gue duduk. Dia menepuk meja keras sambil memajukan kepala tepat di depan wajah ini.
“Ngapain lo sama Brandon tadi? Mau caper atau deketin dia?!!” sergahnya lantang.
Bersambung....

Komento sa Aklat (646)

  • avatar
    AtepkingkiHabib

    bagus

    09/08

      0
  • avatar
    KholilullahFauzan

    semoga dapet akun

    27/06

      0
  • avatar
    ChannelMelisa

    i love you

    21/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata