logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bagian 4

Naya berlari sekuat tenaga tak mempedulikan umpatan beberapa orang yang tidak sangaja ia tabrak di sepanjang koridor rumah sakit, langkah lebarnya sedikit berkurang ketika matanya tampak melihat Andini berdiri di depan ruang rawat inap sang ayah dengan wajah pucat.
“Apa yang terjadi?” tanya Naya dengan wajah ngos-ngosan. Andini menggeleng pelan tak tau harus menjelaskan apa. “Gue... gue sedang berkemas ketika alat itu berbunyi, entahlah aku panik dan langsung memanggil dokter,” balas Andini dengan wajah frustasi.
Perkataan yang ingin ia sampainkan kembali tertahan di ujung lidah begitu melihat seorang dokter laki-laki yang belum pernah ia temui sebelumnya keluar dari ruangan diikuti seorang suster dan dokter cantik yang ia tau bernama Pelita.
“Bisa bicara dengan wali?”
Naya mendekat tanpa sepatah katapun. “Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami benturan keras di kepalanya?” Naya mendongak dengan mulut tercekat tak tau harus berkata apa.
“Ayah hanya berusaha memotong urat nadinya sendiri, begitu yang kami dengar dari perawat yang menjaganya karena Ayah sempat dirawat di rumah sakit jiwa sebelumnya.” Naya hanya mengangguk menyetujui perkataan Andini yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya.
“Baiklah, kita tunggu hasil CT-scan saja, sepertinya ada cedera yang kemaren belum terlihat jelas oleh dokter Pelita.”
Naya kembali mengangguk. “Terima kasih dok.” ucapnya yang hanya di balas dengan senyum menenangkan dari pria paruh baya itu.
Tubuh Naya langsung merosot ke lantai begitu dokter itu sudah berlalu dari hadapannya.
Cobaan apalagi ini Ya Allah....
Berebeda dengan Naya, Andini lebih memilih sedikit menjauh dan mengeluarkan ponsel dari saku blazer yang ia pakai. Tangannya tampak sibuk mengotak atik ponsel kemudian men-deal sebuah nomor di kontak ponselnya.
Sambungan terhubung tapi masih belum diangkat, satu kali, dua kali, hingga tiga kali. Baru pada deringan keempat terdengar suara seseorang yang sudah tak asing baginya. Suster Ana, perawat Ayah Naya selama bertahun-tahun ini.
“Iya mbak Andini? Saya sudah di lobi Cempaka Hospital membawa baju ganti Bapak. Maaf agak telat soalnya ada sedikit kekacauan dari rumah sakit.”
Tanpa diminta suster Ana langsung nyerocos begitu saja, Andini mengangguk meski ia tahu bahwa sang lawan bicara tak bisa melihat tindakannya saat ini. “Saya tunggu di depan rawat inap Ayah yang kemarin Sus.” Balasnya cepat dan memutus sambungan telpon tanpa menunggu jawaban dari seberang sana.
Ia menghela napas lega mengetahui bahwa perawat sang Ayah sebentar lagi akan ada di sini, ia harus memastikan perkataan dokter tadi. Begitu berbalik ia telah mendapati Naya yang duduk di kursi dengan ponsel di tangan. Andini tau bahwa Naya hanya mencoba mencari pengalihan.
“Sebentar lagi suster Ana akan ke sini.” Naya hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan ponsel di tangannya.
Lima menit kemudian terlihat suster Ana yang lari terbirit-birit dengan tas pakaian di tangan kanannya. “Maaf mbak telat, bagaimana keadaan bapak?” Andini menggeleng pelan sebagai jawaban. “Maksudnya...”
“Apakah Ayah pernah jatoh sebelumnya?” tanya Naya tiba-tiba memotong pembicaraan suster Ana. Melihat perubahan dari raut wajah suster Ana membuat Naya yakin bahwa ada sesuatu yang belum diketahui olehnya.
“Kapan? Kenapa saya tidak diberitahu?” tanya Naya datar, suster Ana masih mematung dengan mulut tercekat tak tahu harus berkata apa.
“Waktu itu.. waktu itu saya sedang mengambilkan bapak makanan ketika bapak nekat memotong urat nadinya...”
“Saya tahu hal itu Suster, maksud saya bukan yang itu!” potong Naya cepat dengan tatapan tajam.
“Nay,” Andini memberi peringatan untuk lebih halus pada orang yang lebih tua darinya. “Biarkan Suster Ana menyelesaikan penjelasannya.”
“Sebenarnya... waktu itu bapak sedang dilantai dua di ujung tangga, dan ketika bapak pingsan mungkin bapak terjatuh karena kami menemukan bapak tergeletak di lantai satu.” Lanjut suster Ana dengan wajah menunduk takut.
Naya mendesah frustasi mendengar penjelasan itu, secara tidak langsung Ayahnya terjatuh dari tangga lantai dua. “Ayah mengalami cedera otak, entah apa.” ucap Naya lirih yang membuat suster Ana tercekat seketika. Ia tak pernah mengira semuanya akan mejadi separah itu.
“Dengan wali Bapak Wawan Abdullah?”
Naya menoleh begitu seorang suster menyebut nama Ayahnya. “Saya Sus.” Jawabnya cepat.
“Ikut saya mbak, hasil USG sudah keluar.” Naya mengangguk dan berjalan cepat tanpa memedulikan dua orang yang masih menatap ke arahnya.
“Gue ikut Nay,” teriak Andini yang hanya dibalas anggukan samar oleh Naya. “Suster di sini dulu.” Andini kemudian melangkah pergi mengejar Naya yang sudah menghilang di belokan setelah mendapat persetujuan dari suster Ana.
“Wali pasien?” Sapa dokter paruh baya yang tadi menangani Ayahnya. “Silahkan duduk, saya ambil hasil CT-scan dulu.”
Naya dan Andini mengangguk dan duduk di depan dokter yang tampak menarik sesuatu dari meja sebelah. “Kondisi pasien dalam keadaan semi koma. Level GCS pasien juga ada di level lima.”
“GCS, Glasgow Coma Scale?” lirih Naya dengan tak yakin, meski bukan anak kedokteran setidaknya dulu ia pernah bermimpi menjadi seorang dokter. Sedang Adini yang tidak mengerti apa-apa hanya diam dengan pandangan bingung di sebelahnya.
Dokter itu mengangguk. “Ada pembekuan darah sekita 80 CC yang sepertinya merupakan pendarahan Arteriovenous Malvormatif, serta garis tengah otak yang sedikit bergeser sekitar 15 mm.” Tubuh Naya semakin menegang mendengar penjelasan dokter di hadapannya. Ia bukanlah seseorang yang buta tentang dunia kedokteran. Meski pada akhrinya ia tidak masuk pada jurusan itu tapi Naya tidak lupa bahwa ia pernah menekuni bidang itu.
“Untuk langkah selanjutnya kita tunggu keputusan dari dokter bedah UGD yang saat ini masih menuju ke sini.” Naya hanya mengangguk pelan dengan tubuh bergetar hebat ketika pintu terbuka dengan lebar menampilkan dua orang berbeda usia masuk ke ruangan. Tiga pasang mata di ruangan itu sontak langsung menoleh tanpa suara membuat salah satu dari dua orang di ambang pintu terkejut dengan mulut tercekat.
@@@
Iqbal baru saja mengecek keadaan pasien yang di operasi tadi pagi ketika ia mendapat telpon yang menyuruhnya untuk segera ke ruangan papanya. Sore ini ia memang tidak ada jadwal operasi karena dengan sengaja menyerahkan semua pekerjaan pada Melvin yang walaupun dalam mode sewot tetap bergerak tanggap.
“Ada apa, Pa?” tanyanya to the point begitu masuk ke ruangan luas tempat papanya sedang duduk manis di tengah ruangan.
“Kamu ini yah, memang kebiasan suka nembak pada inti.”
Iqbal nyengir lebar sambil mengehempaskan tubuh di kursi yang berhadapan dengan sang papa. “Kamu sudah nggak punya jadwal operasi?” tanya papanya sambil menyesap kopi di hadapannya.
“Nggak ada, semuanya udah aku pasrahkan sama Melvin.” balasnya tak acuh sambil meraih map dan membuka beberapa berkas dengan sembarang.
“Mama kamu pesen bakwan yang ada di sebarang jalan dan minta Papa pulang cepat, tapi Papa masih ada jadwal operasi habis ini.” Iqbal menoleh dengan cepat mendengar perkataan sang Ayah.
“Seriously? Papa nyuruh Iqbal ke sini cuma karena itu?” ucap Iqbal dengan nada suara tak percaya membuat pria paruh baya di hadapannya terkekeh pelan. “Kamu kan tau Papa nggak bisa nolak permintaan Mama kamu.” Balasnya dengan pandangan mata berbinar-berbinar.
Iqbal menggerutu dalam hati melihat sikap sang ayah yang tampak seperti remaja labil baru mengenal cinta. “Iya deh iya.”
Belum sempat Iqbal melanjutkan protes lebih lanjut, terdengar ketukan pelan dari arah pintu di susul dengan seorang suster yang berdiri di ambang pintu. “Ada pasien yang membutuhkan penanganan dari poli bedah yang saat ini masih sedang berada di poli umum.”
“Baik, saya segera ke sana.” Setelah suster tadi pamit undur diri, sang papa mengambil snelli yang tersampir di sofa ruangan. Iqbal yang melihat tanda papanya akan pergi sontak juga ikut berdiri.“Iqbal ikut Pa.”
“Pesanan Mama kamu?” tanyanya sambil menatap anak semata wayangnya itu. “Gampang bisa nanti, sekalian bisa dapet ilmu dari Papa.” Katanya sambil tersenyum jahil yang membuat sang ayah tergelak.
“Ya sudah ayo!” Iqbal tersenyum lebar dan berusaha mensejajarkan langkah kakinya dengan langkah lebar sang ayah. Mereka berjalan dengan cepat melewati koridor penghubung poli umum dan poli bedah, jangan lupa tatapan beberapa pasang mata yang menatap mereka penuh tanya melihat sang Direktur tampak berjalan dengan dokter tampan yang mereka ketahui sebagai anaknya sendiri.
“Nanti kamu yang diagnosis, mau?” tanya sang ayah yang langsung dibalas anggukan cepat dari Iqbal. “Gampang mah, ubek-ubek UGD aja bisa kok.” balasnya sambil nyengir lebar.
Iqbal mengekor di belakang ketika sang ayah membuka pintu ruangan, ia bisa melihat sekilas tiga orang yang sedang duduk di ruangan itu, dua wanita yang sedang duduk membelakangi dirinya dan satu orang dokter yang ia ketahui bernama dokter Gunawan.
“Eh ini dia udah dateng.” ucap sang dokter begitu menyadari kehadiran mereka, namun begitu dua wanita itu berbalik, mulutnya tercekat begitu mengenali salah satunya.
Gadis ini....
“Iqbal, kenapa kamu diam di situ? Ayo sini.” Panggilan sang ayah menyadarkan ia dari keterkejutannya akan keberadaan gadis misterius yang selalu ia lihat di taman rumah sakit, meski ia yakin gadis itu tidak mengenali dirinya tapi ia tahu batul bahwa gadis itu yang sudah menghantuinya selama beberapa hari ini.
“Menurut kamu begaimana?” tanya sang ayah tiba-tiba sambil menunjuk layar komputer yang menampilkan hasi MRI. “Hah..?” tanyanya bingung langsung gelagapan begitu mengerti maksud pertanyaan sang Ayah.
“Ah, ini...” alisnya tampak sedikit berkerut melihat gambar hitam putih di hadapannya. “Pendarahan otak?” tanyanya pada diri sendiri. “Bahkan sudah ada sedikit pembekuan di bagian ini, kenapa bisa begitu?” tanyanya kemudian melirik ke dokter Gunawan.
“Pasien terlambat untuk dilakukan pemeriksaan tahap lanjut karen informasi pertama yang kami terima pasien hanya berusaha memotong urat nadi lengannya.” jawaban dokter Gunawan tanpa sadar membuat Naya mencengkram baju yang dikenakan di bawah meja, hal itu tentunya tak luput dari pengawasan Iqbal yang sesekali mencuri pendang ke arahnya.
“Level GCS 5 dengan garis tengah yang bergeser sekitar 15 mm, bagimana menurut kamu?” tanya sang ayah yang tiba-tiba kembali melontarkan pertanyaan ke arahnya.
“Ah, dengan kerusakan otak yang separah ini aku yakin operasi tidak akan membantu, tapi saat ini kita juga harus pikirkan pendapat wali...” katanya sambil melirik ke arah Naya yang semakin meremas tangannya.
“Iqbal!” seru papanya tak terima. “Itu adalah pemikiran amatir dan merupakan cara berpikir yang salah bagi ahli bedah,” tandasnya.
“Tapi Pa...”
“Operasi tidak akan dilakukan.” Potong ayahnya cepat, telak!
Naya bangkit ketika dua orang itu sudah berbalik dari komputer dan menatap ke arahnya. “Sayangnya kerusakan otak pada pasien sangat parah. Ia nyaris tidak punya kesempatan untuk bisa kembali pulih.”
Tubuh Naya hampir limbung dan nyaris merosot ke lantai jika saja Andini tidak sigap menangkapnya. Tubuhnya semakin bergetar hebat seiring dengan pengendalian dirinya yang nyaris runtuh. “Masih ada kemungkinan kecil kan Dok? Masih ada sedikit harapan untuk itu. Kenapa tidak bisa melakukan operasi?” tanya Naya dengan suara sedikit bergetar.
“Saya tidak bisa melakukannya. Meski melakukan operasi itu tidak akan membuat kondisi pasien semakin membaik.”
“Tidak mungkin,” bisik naya kepada dirinya sendiri. “Itu tidak mungkin.” Andini semakin mengeratkan pelukannya di bahu Naya mencoba menyalurkan kekuatan.
“Saya minta maaf...” tandas sang dokter sebelum pamit untuk undur diri. Iqbal masih sempat melirik ke arah gadis yang tampak rapuh itu sebelum pergi mengikuti langkah sang papa.
“Nay, sebaiknya kita keruangan Ayah dulu, sebentar lagi Mama kemari dan mencoba berbicara dengan pihak dokter.” ucap Andini pelan begitu mereka keluar dari ruangan.
“Andini...” panggilnya pelan. “Ayah...”
“Ayah pasti kuat, demi elo.” potong Andini cepat, dan hari ini Andini tau babak baru dalam hidup seorang Naya akan kembali dimulai.

Komento sa Aklat (74)

  • avatar
    muhammaddian

    aku mau diamond epep

    21/06

      0
  • avatar
    widyareny

    sangat menarik

    05/06

      0
  • avatar

    hebat

    04/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata