logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Let Me Go

Let Me Go

Blue Sky


Bagian 1

Lagi-lagi dia. Gadis misterius yang sering ia temui di taman rumah sakit gedung utama Cempaka Hospital. Iqbal mempercepat langkahnya dan mengambil tempat duduk di bawah pohon rindang sambil mengawasi keberadaan gadis aneh yang tampak menatap bagunan tinggi di hadapannya dengan pandangan kosong.
Ia tidak pernah tau sejak kapan hal itu menjadi kebiasaannya, atau tepatnya sejak kapan dia mempunyai kebiasaan aneh dengan diam-diam menjadi penunggu gadis itu duduk seorang diri sampai akhirnya ia akan pergi dengan sendirinya.
“Woi... ngapain elo nyasar ke tempat ini??” Iqbal menoleh ketika seseorang menepuk bahunya dan tersenyum lebar begitu mendapati Kelvin-sahabatnya-sudah berdiri di sampingnya.
“Elo sendiri ngapain ke tempat ini? tumben keluar dari kandang!” Iqbal mencibir sambil menunjuk gedung rumah sakit tempat mereka mengadu nasib sebagai dokter resident.
Kelvin tak langsung menjawab dan melangkah dan mengambil tempat duduk tepat di sebelah sahabatnya itu. “Kenapa banget muka lo? asem banget? Elo nggak lagi bernostalgia pengen kembali ke masa kuliah dulu gara-gara stres nangani pasien-pasien nggak waras itu kan?” Iqbal tersenyum mendengar celotohan Kelvin, mereka sama-sama tau bagaimana rumitnya menangani ruang UGD tiap kali ada pasien teriak-teriak gara-gara takut menghadapi dokter bedah, memangnya mereka semenyeramkan itu? Orang dokter bedah itu banyak yang bening-bening kok!
“Mana duplikat elo? tumben nggak nempel?” tanya Iqbal celingukan.
“Heh jangan sembarangan kalau ngomong yah, gue masih normal dan nggak minat ama sesama!!” hardik Kelvin melotot tapi malah membuat Iqbal tergelak.
“Pada ngapain sih ngumpul di sini? Kayak nggak ada tempat tongkrongan lain aja. Kantin lebih seru!” Keduanya serempak menoleh.
“Baru juga diomongin udah muncul.” gerutu Kelvin begitu melihat Melvin-kembarannya- yang muncul tiba-tiba entah dari mana.
“Nih, Kelvin kangen katanya,” celetuk Iqbal yang langsung mendapat cengiran lebar dari Melvin serta pelototan tajam dari Kelvin.
“Gara-gara kelamaan jomblo elo nggak niat ganti selera ke gue kan? Nggak mungkinlah karena kita duplikat tiba-tiba pengan elo dekap.” Iqbal langsung tergelak mendengar jawaban Melvin, sedangkan Kelvin semakin melotot melihat tawa keduanya.
Benar-benar saudara laknat!
“Udah deh Vin nggak usah melotot, mana mau laku kalau tampang elo garang gitu.”
“Kayak elo laku aja, Bal. Inget dong situ juga nggak ada pasangan.” Iqbal langsung mingkem seketika, tak ayal hal itu malah membuat Melvin tertawa lebar sampai memegang perutnya.
“Terima nasib aja deh kalian nggak usah saling ngejek, kalau perlu buat grup PJA aja biar seru.” balas Melvin jumawa. Secara, diantara mereka bertiga cuma Melvin yang punya gandengan.
“PJA?”
“Perserikatan Jomblo Abadi,” tandas Melvin dengan cengiran lebar.
“Asem lo!”
“Bangsat!”
Melvin kembali terkekeh pelan mendengar makian dari dua orang di sampingnya. Sudah menjadi rahasia bersama kalau diantara ketiganya hanya Melvin yang sudah punya pasangan, rekan sesama dokter di rumah sakit sebelah tempat mereka bekerja selama hampir dua tahun ini.
“Pindah yuk gue laper, waktu istirahat udah mau abis ini, bisa mati gue diceramahin Pak Gunawan kalau sampe molor.”
“Nasib elo ya Vin, udah jomblo kiamat masih aja dapet konsulen garang. Meding kayak gue ama Iqbal, konsulen yang asyik kayak bapak sendiri, mana bisa dapet ilmu sekalian cuci mata lagi tiap anaknya dateng.” Iqbal mengagguk setuju dengan pernyataan Melvin kali ini.
Meski sama-sama ambil spesialis bedah, namun penempatan untuk konsulen tetap ditentukan oleh pihak kampus, dan malangnya Kelvin kedapatan konsulen yang luar biasa bikin kesabaran menipis.
“Udah yuk buruan!” Melvin menginteprusi ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia merongoh kantong celananya dan tersenyum begitu melihat sebuah nama yang terpampang jelas di layar ponsel.
“Gue duluan aja deh udah ada yang nyari ini, kalian lelet sih jadi udah keduluan yang lain. Sabar aja yah giliran kalian lain kali, orang gateng mah banyak yang nyari.”
“Anjing lo! Udah sana pergi, banyak omong.”
Melvin tergelak mendengar pengusiran halus dari Iqbal sebelum akhirnya ia menoleh ke arah kembarannya dengan sorot mata jemawa. “Dedek gue sayaang... Babang pergi dulu ya.” ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya jahil.
“Bangke elo Mel, najis tau nggak sih? Gue kok jadi ilfeel sendiri jadi saudara elo,” desis Kelvin. “Jangan macem-macem elo yah, gue laporin Bunda nih kalau elo sering maen-maen mulu kerjaannya.”
“Uh, anak kesayang Bunda yang tukang ngadu. Iya deh Dedek sayang nanti pulangnya bareng Abang aja asal nggak ngambek.”
“Ogah! Gue bawa mobil sendiri!” Melvin terkekeh sebelum berlalu meninggalkan keduanya.

Iqbal hanya menggeleng pelan menyaksikan perdebatan dua bersaudara yang tak tampak persaudaraannya sama sekali. Kelvin yang mudah tersulut emosi dengan Melvin yang tingkat keusilannya berada di level tertinggi merupakan paket komplit untuk meciptakan adu mulut tiap bertemu. Heran deh bagaimana mereka dulu dibesarkan dalam satu atap serta berbagi ruang di dalam kandungan?

“Elo berdua beneran kembaran nggak sih? Kalau gue liat sikap kok gue jadi ragu yah?”

“Halah udah deh gue laper, nggak kelar-kelar kalau ngomong si curut satu itu.” Iqbal hanya mengedikkan bahu begitu Kelvin sudah mulai menjauh darinya, tapi sebelum ia benar-benar melangkah masuk ke gedung rumah sakit, tak lupa ia menoleh ke bangku taman rumah sakit memastikan apakah gadis itu masih di sana.
Sebuah desahan berhasil keluar dari kedua bibirnya begitu gadis itu tak lagi tampak oleh penglihatannya dan hanya menyisakan bangku kosong yang sudah tak berpenghuni.

Ini semua gara-gara keberadaan kedua saudara laknat itu sampai ia lupa akan tujuan ia menyambangi taman rumah sakit ini dengan mencuri sedikit waktu istirahatnya yang kelewat pelit.

Seorang gadis misterius yang ia temui sejak dua hari yang lalu.
@@@
Naya melirik angka jam yang terpampang jelas di layar ponselnya. 10:30 AM. Ia mendesah pelan dan mengemasi semua alat tulis yang masih berserakan di atas meja dengan gerakan cepat-cepat. Hari ini seharusnya ia bimbingan untuk tugas akhirnya, namun malangnya si dosen malah tidak hadir yang menyebabkan ia harus berakhir di perpustakaan kampus untuk menambah referensi. Ia bergegas ingin secepatnya pergi, ia masih harus menyambangi suatu tempat sebelum menemui ayahnya.
“Mau kemana elo buru-buru? langsung ke rumah sakit?” Naya tersenyum samar mendapati Andini yang sudah berdiri di sebelahnya. Sosok wanita tinggi semampai dengan perawakan tinggi langsing khas seorang model yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar, kini gadis itu tampak menatap ke arahnya dengan pandangan menyelidik.
“Elo nggak niat balik ke tempat itu kan?”

Naya hanya tersenyum samar sebelum sebuah anggukan pelan terlihat dari pergerakan kepalanya. “Hanya ini yang bisa aku lakukan Din.”

“Percuma Nay... semua itu tidak akan pernah mengubah apa-pun.”

Naya mendesah pelan. “Setidaknya dengan ini aku bisa sedikit bahagia,” ucapnya sebelum melangkah bersiap untuk pergi. “Demi Ayah.” lirihnya pelan di akhir kalimatnya.
Langkahnya terhenti ketika lengannya ditahan oleh seseorang dari belakang, dan begitu menoleh hal pertama yang ia lihat adalah tatapan Andini yang menyorotnya tajam. “Please Nay, itu udah dua belas tahun lebih dan elo seharusnya bisa merubah pola pikir elo.”
“Aku tau, tapi itu tidak mudah, Din. Setidaknya hanya dengan ini aku bisa sedikit menebus keputusan terburuk yang pernah aku ambil.”
“Itu semua bukan salah elo, semua itu karena keadaan yang memaksa elo buat mengambil keputusan seperti ini. Elo sendiri juga nggak menginginkannya kan?!” desis Andini yang sudah mulai merasa jengkel dengan sikap Naya yang sering keras kepala.
“Aku tau, tapi aku nggak bisa.” Andini mencekal pergelangan Naya yang sudah bersiap untuk pergi dan menariknya dengan kasar sehingga gadis itu kembali membalikkan badan dengan sedikit ringisan pelan keluar dari bibirnya.

“Sadar Nay, hidup elo nggak melulu tantang kenangan itu. Elo berada di sini dan sudah melangkah sejauh ini, jalani aja apa yang sudah elo hadapi jangan masih mengaharap pada hal yang sia-sia! Percuma meski elo pantengin tiap hari, elo nggak akan bisa mengubah apapun!” teriak Andini kalap bahkan tak mempedulikan berpasang pasang mata yang kini mulai menatap penuh minat ke arah mereka.
Mendengar bentakan Andini, Naya hanya diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya mendongak dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu bener bahwa aku nggak akan bisa mengulang kejadian yang udah berlalu,” bisiknya dengan suara sedikit bergetar. “Karena kamu nggak pernah tau bagaimana rasanya hidup dalam bayangan masa lalu. Kamu nggak akan pernah tau Din gimana rasanya jadi aku, hidup dalam nuansa abu-abu dengan berbagai angan yang tak mampu aku gapai, karena hidup aku tidak sesempurna hidup kamu.”
Andini terdiam dengan mulut tercekat melihat kepergian sahabatnya. Ini sudah kali sekian mereka berdebat, tapi kali ini adalah yang paling parah. Hatinya tertohok mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Naya. Naya benar, ia tak pernah tau bagaimana rasanya hidup dalam posisinya dan ia memang tak ingin tau karena dirinya sadar bahwa ia tidak akan sanggup mejalani hidup jika menjadi Naya. Sahabat malangnya yang masih tampak tegar meski sangat rapuh dari dalam.
Naya, suatu hari nanti elo pantas untuk bahagia....

Komento sa Aklat (74)

  • avatar
    muhammaddian

    aku mau diamond epep

    21/06

      0
  • avatar
    widyareny

    sangat menarik

    05/06

      0
  • avatar

    hebat

    04/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata