logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Alphabet's Love

Semua kegiatan sekolah yang mengharuskan kehadiran orang tua, aku membencinya. Dengan amat sangat. Bukan karena aku malu dengan keadaan orang tuaku. Bukan karena aku tak mau mengakui sosok orang tuaku. Hanya saja, aku tidak sanggup jika harus melihat mereka dijadikan bahan guyonan.
Selama ini yang selalu menghadiri acara di sekolah adalah ibu. Dan selama ini juga, ibu harus rela dijadikan bahan guyonan oleh anak – anak. Ayah terlalu sibuk untuk bekerja. Jadi tidak mungkin beliau datang ke acara sekolah. Setiap detik adalah pundi – pundi uang untuk beliau. Dan mau tidak mau, ibu harus rela menggantikan beliau untuk hadir setiap kali ada acara di sekolah. Itu berarti ibu juga harus ikhlas dan melapangkan dadanya saat anak – anak mulai mengoceh dan menertawakannya.
***
Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, hari inipun sama. Ada rapat untuk membahas Ujian Nasional di sekolah. Semua orang tua anak kelas dua belas diundang. Tanpa terkecuali.
Ibu datang dengan langkah pasti. Tepat di depan pintu ruang aula, Ve dan Viona berjaga. Mereka bertugas untuk mengarahkan para orang tua dalam mengisi data. Seperti yang lainnya, Ve menyerahkan selembar kertas pada ibu. Sementara Viona menyerahkan sebuah bolpoin untuk ibu dengan seulas senyum.
“Terimakasih”. Ucap ibu dengan halus. Viona hanya mengangguk.
“Tapi bisakah kalian menolong saya. Saya ini buta huruf”. Sebuah pernyataan jujur terlontar dari mulut ibu.
“Jaman udah semaju ini, masih ada aja yang buta huruf”. Ve berkata lirih. Dengan nada menyindir. Refleks Viona menoleh ke arah Ve. Mengisyaratkan Ve untuk menutup mulutnya.
“Oh baiklah. Mari saya bantu mengisi”. Balas Viona penuh keramahan. Senyum terhias manis di wajahnya. Viona mengambil kertas dan bolpoin yang di serahkan pada ibu tadi.
“Siapa nama anak ibu?”. Tanya Viona setelah membaca.
“Alex Samantha”.
“Nama ibu?”.
“Widya Samantha”.
“Ve! Nyokap siapa tu?”. Celetuk salah seorang anak yang ada di belakang Ve dan Viona. Tadinya mereka sibuk bergosip. Tapi begitu Ibu datang, fokus mereka langsung pindah. Mereka sibuk mengamati gerak – gerik ibu.
“Nyokap si anak aneh itu. Si Alex”. Jawab Ve antusias.
“Oh si aneh itu. Heran deh, dia kan sering sok ngajarin orang lain. Eh nyokap sendiri malah nggak diajarin. Hahahaha”. Sambung anak itu lagi.
“Guys please..”. Viona menoleh untuk mengingatkan. “Maaf ya bu”. Tambah Viona. Kali ini dia terfokus pada ibu. Viona menundukkan kepalanya. Tanda bahwa dia benar – benar minta maaf. Sementara Ibu hanya tersenyum simpul.
Aku yang dari tadi mengamati dari jarak yang cukup jauh mulai terpancing emosi. Aku mengepalkan tangan kuat – kuat. Kemudian melangkah untuk mendatangi mereka.
“Eh dijemput sama anaknya. Selain buta huruf, nyokap lo buta arah juga ya? Hahaha”. Ve berkoar. Diikuti gelak tawa teman- temannya yang dari tadi duduk di belakangnya.
Aku bergeming. Tidak meladeni ucapan Ve barusan. Kuraih tangan ibu. Kemuadian membawanya pergi.
“Eh alex.. Bukannya nyokap lo harus masuk dulu ya? Oh gue tau. Pasti lo takut kalau nyokap lo tersesat di dalem kan?”. Salah satu anak di belakang Ve menyahut. Dia terkikik sendiri dengan penuturannya.
Langkahku terhenti. Aku membalikkan badan. Melihat dengan seksama siapa – siapa saja manusia yang telah mencemooh aku dan ibu.
“Dengan begini gue jadi semakin bangga sama nyokap gue. Karena beliau jauh lebih berpendidikan daripada kalian yang duduk di bangku sekolah. Padahal nyokap gue nggak pernah ngerasain bangku pendidikan sekalipun. Tapi beliau punya atittude lebih baik dari pada kalian”. Aku berkata dengan penuh penekanan. Dan mereka langsung bungkam. Dan dengan percaya diri, kugandeng ibu pergi. Menjauh dari anak – anak urakan itu.
Evolusi benar – benar terjadi. Tapi, entah karena mutasi atau apa. Yang jelas evolusi yang terjadi sekarang adalah evolusi yang salah. Evolusi yang harusnya tidak terjadi. Dulu anak muda selalu sungkan dengan orang tua. Menghormati orang tua. Dan bersikap santun dengan orang tua. Tapi yang terjadi sekarang adalah yang sebaliknya. Orang tua malah dijadikan bahan guyonan. Apa itu masuk akal?.
Di jaman yang udah semodern sekarang, masih ada saja yang buta huruf. Dulu katanya Membangun Rakyat yang cerdas dan berkarakter. Katanya menyejahterakan rakyat. Tapi nyatanya apa?. Program pemerintah tentang penyebarluasan pendidikan belum merata. Bahkan belum bisa menembus sampai ke daerah.
Kenyatannnya banyak program dari pemerintah yang hanya bisa dirasakan oleh warga yang memiliki jabatan dan harta. Sedikit sekali yang bisa tersalurkan dengan baik. Kalau sudah seperti ini siapa yang akhirnya menderita?. Warga daerah pedalaman juga kan?. Mereka akan tertinggal dalam berbagai hal.
Harusnya ada kesadaran dari masyarakat Indonesia sendiri. Agar Indonesia bisa menjadi negara yang lebih baik. Sehingga program pemerintah bisa tersalurkan sebagaimana mestinya. Dan Indonesia akan menjadi negara yang lebih tangguh.
***
Hari ini, ada acara lagi di sekolah. Katanya sih untuk membahas hasil try out yang belum memuaskan. Tapi, aku sudah melarang ibu untuk pergi. Aku tidak mau melihat beliau jadi sasaran anak – anak lagi.
Entah apa yang dipikirkan ibu. Aku sendiri tidak bisa memahaminya. Meski aku sudah melarangnya ibu tetap saja ingin menghadiri acara itu.
“Apa ibu adalah malaikat?”. Tanyaku saat ibu berjalan melewatiku. Langkahnya terhenti saat mendengar pertanyaanku.
“Ibu hanya ingin menjalankan kewajiban ibu sebagai seorang ibu”. Tanpa membalikkan badan, beliau menjawab dengan penuh percaya diri.
“Jangan pergi. Aku mohon. Anak – anak pasti akan membicarakan ibu lagi”. Aku menggenggam tangan ibu.
Beliau terus melangkah. Menyusuri setiap jalan dengan langkah pasti. Aku melihat kepergiannya. Dan tidak tahu harus melakukan apa agar ibu mau mendengarkan ucapanku. Emosiku naik. Kukepal tangan kuat – kuat.
Aku tidak sanggup lagi. Ku kejar ibu yang sudah jauh. Aku menarik tangannya untuk kesekian kalinya dengan kasar. Aku menghela nafas panjang.
“Jangan pergi”. Ucapku lirih. Tapi ibu masih diam seribu bahasa. Bahkan beliau tidak menatapku sama sekali.
Sekali lagi aku menghela nafas. Kepalaku benar – benar terasa berat sekarang. Entah apa yang harus aku lakukan. Yang jelas, aku masih mencengkeram tangan ibu dengn kasar.
Aku tidak tau. Inikah rencana Tuhan untukku?. Sebuah tamparan mendarat dengan mulus di pipiku. Tangan mungil itu berhasil membuat bekas kemerahan yang lumayan panjang di pipiku.
“Seperti inikah kamu memperlakukan orang tua?”. Orang itu berteriak di hadapanku. Aku terdiam. Tapi tatapanku masih terfokus padanya. Matanya membara. Dia menatapku lekat. Kemudian menghempaskan tanganku dan mengajak ibu untuk pergi.
Aku bergeming. Melihat kepergian mereka tanpa melakukan aktivitas apapun. Dia. Gadis itu. Berani sekali dia menamparku. Dia pikir dia siapa?. Dia pikir dia mengajak pergi ibu siapa?. Viona. Dasar. Gadis itu selalu saja mencampuri urusan orang lain.
***
Membiarkan ibu pergi dengan Viona ternyata bukan pilihan yang salah. Viona itu berbeda. Dia tidak seperti yang lain. Dia banyak membantu ibu saat di sekolah. Bahkan dia juga sempat membela ibu saat anak – anak mulai mengoceh. Dia berbeda.
Saat sedang istirahat seperti ini, jarang sekali ada anak yang mampir ke perpustakaan. Makanya aku mampir kesini. Suasananya sepi. Jadi enak aja buat menghabiskan waktu senggang. Meski nggak ada niatan untuk baca juga sih.
“Ibu kamu itu Cuma mau ngasih ang terbaik buat kamu”. Seseorang tiba – tiba saja duduk di sebelahku. Aku menoleh. Ternyata dia Viona.
“Kalau kamu nggak mau ngeliat ibu kamu harusnya kamu nunjukin ke anak – anak kalau ibu kamu adalah ibu yang terbaik buat kamu. Jangan malah menyembunyikan beliau gitu”. Tambah Viona lagi. Kali ini aku menyimaknya dengan saksama.
“Maksudnya?”. Tanyaku.
“Buktiin ke anak – anak kalau ternyata ibu kamu mampu untuk mendidik kamu dengan baik. Tunjukin ke mereka kalau seorang ibu yang buta huruf kayak kamu juga bisa mendidik anaknya dengan baik”. Terang Viona padaku.
Dan aku terdiam lagi. Semua hal yang dikatakan Viona membuat lidahku kelu. Aku tidak dapat berkata – kata untuk membalasnya. Bahkan untuk menampilkan sebuah ekspresi saja, otakku harus bekerja ekstra.
***
Viona bukan motivator. Tapi, entah mengapa kata – katanya membuat semangatku menjadi berkobar. Bahkan dengan senang hati, aku menambah porsi belajarku.
Aku juga tidak mengerti. Kenapa Viona berniat sekali untuk membantuku. Saat istirahat dia ikhlas merelakan waktunya untuk berdiskusi tentang pelajaran denganku. Berbagai informasi tentang pelajaran. Dan lain sebagainya.
Waktuku untuk bersama Viona jadi lebih banyak. Sekarang juga Viona lebih sering main ke rumah. Viona datang bukan untuk menemuiku. Tapi untuk ibu. Viona mengajarkan ibu membaca dan menulis dari nol.
Keren kan Viona?. Coba semua warga Indonesia berhati seperti Viona. Pasti nggak ada lagi kan kata tertinggal di desa pedalaman. Indonesia bakal jadi negara yang lebih baik kalau itu bisa terjadi.
Nggak heran kan kalau pada akhirnya aku punya rasa lebih untuk Viona. Bukankah rasa suka itu hadir karena terbiasa?. Jadi apa masalahnya kalau aku suka pada Viona. Belum cukupkah kebersamaan kami selama ini?.
***
Akhirnya ujian selesai dengan baik. Menurutku sih nggak ada kesulitan yang berarti. Semuanya berjalan dengan lancar.
Hari ini ada acara wisuda sekalian acara perpisahan untuk anak kelas dua belas. Semua yang hadir membawa orangtua masing – masing. Dan baru kali ini juga aku bisa secara percaya diri datang bersama ibu. Tidak ada lagi rasa takut karena anak – anak akan membicarakan ibu.
Acara berjalan dengan baik. Acara selanjutnya adalah pengumuman siswa berprestasi yang berhasil menjadi lulusan terbaik. Suasana menjadi hening secara mendadak. Semua tatapan terfokus ke depan.
“Dan yang menjadi siswa dengan lulusan terbaik adalah... Alex Samantha”. Teriak pembawa acara. Diiringi suara tepuk tangan yang kian membahana.
“Silakan maju untuk memberi sepatah dua patah kata”. Sambung pembawa acara dari sumber suara.
Aku tersenyum. Kemudian bangkit dari tempat duduk untuk maju ke depan. Aku bahkan tidak menyangka aku akan menjadi seperti ini.
“Selamat pagi semua”. Sapaku singkat. “Sebenarnya saya tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Jadi saya tidak punya persiapan apapun. Apa yang harus saya katakan?”. Aku tertawa sebentar.
“Yang jelas saya berterimakasih untuk semua yang telah membantu saya. Kepada bapak ibu guru, teman – teman, Viona, Sekolah ini. Semuanya terimakasih sekali. Dan yang pasti terimakasih untuk orangtua saya. Untuk ayah yang selalu memberi support. Untuk ibu juga yang selalu mendampingi saya. Seseorang pernah berkata pada saya. Jika saya ingin melihat ibu tidak ditindas lagi. Saya harus membuktikan kalau ibu saya bisa mendidik saya dengan baik. Dan sekarang saya bisa membuktikannya. Ibu saya terlalu baik untuk mendidik saya. Jadi terimakasih. Terimakasih untuk segalanya”. Aku membungkuk. Kemudian tepuk tangan terdengar nyaring memenuhi ruangan.
***
Acaranya sudah selesai. Tapi aku masih duduk di tempatku tanpa bergerak sedikitpun. Aku tengah menunggu Viona. Dia selalu melibatkan diri untuk setiap acara seperti ini. Jiwanya benar – benar cocok untuk berorganisasi.
“Kamu menungguku?”. Dengan balutan kebaya warna biru, Viona mendatangiku. Rambutnya disanggul sederhana dengan beberapa anak rambut yang dibiarkan menjuntai bebas. Viona jadi lebih bersinar.
“Ada yang ingin aku katakan padamu”.
“Apa kamu mau berterimakasih padaku lagi?”.
“Ya begitulah. Terimakasih untuk bantuanmu selama ini. Jika bukan karena kamu. Mungkin aku masih akan berada di bawah bayang – bayang ketakutan tentang kondisi ibu. Tapi berkatmu semuanya menjadi lebih baik”.
“Tidak masalah”. Sebuah senyum terukir di wajah Viona.
“Tapi kenapa kamu mau membantuku?”.
“Entah. Aku sendiri juga tidak tau. Mungkin karena ibuku sudah lama pergi. Jadi aku kira ibu temanku adalah ibuku juga. Apa ada masalah?”.
“Oh maaf. Aku tidak bermaksud..”
“Tidak masalah”. Viona memotong kalimatku.
“Sekarang, muncul satu masalah lagi untukku”.
“Apa?”.
“Aku menyukaimu. Tapi aku tidak tau kamu menyukaiku atau tidak”.
“Apa ini?. Kamu nembak aku?. Oh yaampun. Beginikah caramu?. Harusnya bisa lebih manis kan?”. Viona menggembungkan pipinya.
“Seperti berlutut dan membawakan bunga untukmu di hadapan umum?. Itu kekanak – kanakan sekali”.
“Itu romantis bukan kekanak – kanakan”.
“Menurutmu aku harus melakukan itu?. Aku hanya menyukaimu. Bahkan aku belum tau apa jawabanmu. Dan aku harus melakukan hal gila itu terlebih dahulu?. Itu mustahil”. Aku terkikik dengan pernyataanku sendiri.
“Aku juga menyukaimu. Jadi bisakah kamu melakukannya”. Viona memandangku dengan serius.
“Benarkah?. Wah bagus sekali. Aku menyukaimu. Dan kamu menyukaiku. Tunggu apalagi. Harusnya kita bersenang senang bukannya malah melakukan hal – hal gila seperti itu”. Aku tersenyum.
“Alex..”. Viona protes.



End

Komento sa Aklat (62)

  • avatar
    AhmadHisyam

    apakah bisa menghasilkan diamond

    5d

      0
  • avatar
    syafiqAiman

    good

    06/07

      0
  • avatar
    Aris Radex

    Sangat menyukai

    01/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata