logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Makan Siang

"Anna Frozen....." Teriakan kedua cewek langsung menyambutku saat aku tiba di kelas. Mereka langsung memberiku pelukan, kayak Teletubbies.
"Gue kangen banget, sumpah." kata Ratih usai pelukan kami terurai. Sudah seminggu aku nggak masuk sekolah, bertemu teman-temanku lagi rasanya senang banget.
Saat bapakku meninggal, teman-temanku juga datang melayat. Mereka menguatkan aku, memberiku kata-kata penyemangat, dan mengingatkan aku untuk sadar kalo aku mau pingsan. Mereka juga menemaniku menangis di samping batu nisan Bapak. Merayuku untuk pulang, saat hari menjelang malam.
"Anna......" Wingki tiba-tiba saja datang lalu memelukku. Dia sampai menunduk buat menjajari tinggiku. Pelukannya erat banget, sampai aku sulit bernafas. "Gue kangen sama lo." katanya masih memelukku.
"Heh kalian, nggak boleh peluk-peluk. Bukan pacar." Andhika menarik tubuh Wingki dariku. Nggak rela banget kalo aku dipeluk kayak gini, padahal kami semua teman.
"Anna....adiknya Elsa...." Andhika nggak mau kalo Wingki memelukku, tapi dia sendiri ikutan memelukku. Tawaku teredam di bahunya, menertawakannya yang memanggilku begitu.
"Mata lo lucu kayak kungfu panda, hahahaha," celetuk Andhika usai melepaskan pelukan. Tangannya mencubit pipiku gemas.
Mataku emang masih sembab walaupun aku sudah nggak menangis lagi. Menciptakan kantong mata, yang sumpah jelek banget.
"Sakit, bambang..." protesku sambil menghindar, mengelus pipiku yang lumayan sakit.
"Lo kurusan," ujar Kenya. Matanya meniti tubuhku. Lalu temanku yang lain juga ikutan meniti tubuhku. Aku nggak merasa begitu, tapi emang, porsi makanku seminggu terakhir ini nggak banyak. Fikiranku juga stress.
"Iya deh, lo kurusan." Ratih menyetujui ucapan Kenya. Disusul Wingki dan Andhika yang juga bilang kalo aku beneran kurusan.
"Yaudah, gini aja. Biar lo nggak tambah krempeng, ntar pas istirahat, gue traktir makan, " tawar Wingki.
"Cuma Anna doang yang lo traktir?" Kenya mewakili pertanyaan Andhika sama Ratih yang kayaknya nggak terima kalo Wingki cuma mentraktir aku.
"Traktir semuanya dong Wing, " Bujukku ikut membela. Tambah enak kalo makan gratisan rame-rame.
"Iya, kalo seneng tuh ngajak-ngajak dong,"
Andhika nggak mau kalah, ikut mengompori juga.
"Iya-iya. Apasih yang nggak buat kalian," kata Wingki akhirnya, yang langsung disoraki temanku senang.
"Hai Anna," sapa Riko yang disertai senyuman, membuat aku menoleh usai menghenyakkan pantatku di kursi.
Cowok itu lalu duduk di kursi sebelahku, kursi milik Cleo yang kosong, karena pemiliknya belum datang, atau mungkin enggak datang.
"Hai," balasku menyapa. Riko sudah berjanji bakal nggak diam kalo sama aku, dan aku juga janji bakal nggak menghindari dia. Sebenarnya nggak ada alasan juga buatku menghindar. Cuma emang Riko nya saja yang dari dulu sudah menjaga jarak.
"Lo sehatkan?" tanyanya.
"Sehat dong. Masa sih gue kelihatan sakit? Enggak kan?"
"Enggak. Cuma lo pucat aja."
"Bedak gue keputihan," candaku.
Diseberang sana, Andhika tampak memberi kode ke aku. Telunjuknya menunjuk Riko, kayak mengartikan kalo dia bertanya kenapa Riko ada disini.
"Ngapain dia? Tumben banget," tanya Andhika begitu Riko pergi. Dia duduk di tempat Riko duduk tadi.
"Nanyain kabar." jawabku sambil mengeluarkan cermin dari tas buat melihat apa aku emang pucat kayak yang Riko katakan.
Andhika nggak tau kalo sosok dibalik kado-kado itu adalah Riko. Waktu aku menemui sosok misterius itu, Andhika yang katanya menemaniku dari balik tembok, malah pergi. Katanya mendadak perutnya mulas, jadi dia langsung pulang.
"Selama lo nggak masuk sekolah, Riko tuh setiap hari nanya ke gue, kapan lo masuk sekolah lagi,"

Aku menyerongkan tubuh, biar bisa menatap Andhika tanpa harus menoleh.
"Beneran?"
"Iya. Terus gue jawab, kalo nggak tau. Gue kan bukan Tuhan yang tau apa aja. Gue tanyain ada perlu apa, dia cuma diam, yaudah, " sambung Andhika.
Temanku yang lain juga sama, menanyakan aku masuk sekolah kapan lewat WhatsApp, yang baru kubuka tadi pagi. Dari banyaknya pesan yang masuk, aku nggak menemukan pesan dari Riko. Cowok itu nggak mengirim pesan langsung ke aku, tapi malah tanya sama Andhika.
"Muka gue emang kelihatan pucat ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Aku nggak mau Andhika curiga sama Riko. Aku juga nggak mau memberi tau Andhika tentang Riko yang ternyata ada rasa ke aku. Riko bisa jadi tambah pendiam, dan nggak mau berinteraksi denganku kalo Andhika sampai tau, karena aku yakin cowok itu bakal meledek Riko habis-habisan sampai malu. Apalagi mereka satu kos.
Andhika menarik daguku, menghadapkan wajahku ke arahnya. Matanya menyipit, mengamati setiap inci wajahku.
"Lo jerawatan, " katanya sambil menyentil keningku dengan telunjuknya.
"Apaan sih," kesalku. "Lo jangan ngadi-ngadi," kataku lagi.
Aku nggak melihat ada jerawat yang tumbuh, dan aku nggak mau kalo itu beneran tumbuh. Aku paling benci sama yang namanya jerawat. Bakalan aku pencet sampai kempes karena aku nggak tahan untuk melenyapkan mereka.
"Na....Ayok...." ajak Wingki dengan menarik rambutku. Itu sudah kayak menjadi kebiasaan Wingki yang wajib dilakukan pas lagi memanggil aku.
"Iya bentar, dikit lagi, " kataku nggak menoleh. Aku masih meneruskan mencatat materi ketertinggalanku seminggu ini. Nanggung banget kalo tinggal sedikit, tapi ditinggalin.
Kami berlima menuju kantin, menepati tawaran Wingki yang mau mentraktir makan.
Istirahat begini, kantin rame banget. Nggak istirahat pertama atau kedua, sama saja ramenya.
"Eh mau makan apaan?" tanya Wingki, orang yang bakal membayar makanan kali ini.
"Serah yang traktirin deh, " jawabku. Aku semua makanan, asal enak dan bisa dimakan, nggak kutolak.
"Yaudah, semua sama aja ya?" tanya Wingki lagi yang langsung disetujui yang lain. "Gue aja yang pesen," katanya lagi menawarkan diri. Lalu mengajak Kenya buat berdesak-desakan sama anak-anak yang lagi pesen makanan.
"Lah, tuh Wingki cari kesempatan dalam kesempitan," kataku. Aku tau kenapa cowok itu dengan suka hati menawarkan diri. Cewek-cewek boga pada berkumpul desak-desakan disana.
"Menang banyak tuh Wingki, maju mundur kena," Andhika menimpali.
"Lo nggak ikutan? Lumayan bisa ngrasain susu gratis," ledekku. Tujuan Wingki kesana kan emang gitu. Nyempil di antara banyak cewek, kepepet, terus gesekan deh. Mantap jiwa katanya.
"Cewek boga dadanya rata semua," Andhika mengatakan itu dengan santai, membuat Ratih yang tadi sibuk dengan handphone nya melototkan mata.
"Sok tau lo, emang lo pernah ngelihat?" tanyaku.
"Aduh....lo ngomongin apaan sih? Apanya yang rata?" tanya Ratih nggak tau.
Ratih lumayan lemot kalo urusan begituan. Jadi, dia biasanya yang sering dikibulin sama cowok-cowok di kelas.
"Tanahnya rata Tih, " kataku nggak mau memberitahu pembicaran yang nggak berbobot ini.
Nggak lama kemudian, Wingki sama Anya datang membawa pesanan kami.
"Gimana Wing? Balon apa semangka?" tanya Andhika ke Wingki yang lagi sibuk membagi mangkok berisi bakso ke kami.
"Anu, semangka....gede banget...."
"Yah, keras dong,"
"Hooh, biasanya kalo yang empuk tuh silikon,"
Aku sama Kenya cuma memutar bola mata. Kesal. Kalo cowok sudah ngomongin ini, nggak akan habis, apalagi kalo diladenin, tambah melantur kemana-mana.
"Kok sisa satu Wing?" tanyaku karena melihat ada satu mangkok tersisa di nampan yang Wingki bawa, padahal sudah kebagian semua.
"Iya, buat gue. Gue laper banget,"
Aku menggelengkan kepala, nggak habis fikir sama cowok satu ini. Yaudahlah, biarin saja. Sultan mah bebas.
"Katanya mau ada acara kemping," kata Andhika sambil bermain handphone sementara tangan kanannya menyendok bakso.
"Kemping apaan? Ada hari Pramuka Nasional ya?" tanyaku.
"Pengen dong kemping, rindu banget gue sama api unggun," tukas Ratih.
"Bukan acara sekolah sih. Ini acaranya anak PA," terang Andhika. PA atau Pecinta Alam, salah satu ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ikut ekskul itu wajib, terserah mau ekskul apa. Tapi aku nggak ikut, selama nggak ketauan ya sudah nggak papa. Males, karena aku nggak terlalu suka berorganisasi.
"Lah, acaranya anak PA ngapain nawarinnya ke kita? Kelas kita nggak ada anak ekskul PA kali." timpal Wingki yang sudah menghabiskan mangkok pertamanya, dan berlanjut ke mangkok kedua.
"Itu emang acara anak PA, tapi buat anak ekskul lain juga boleh ikut kalo tertarik. Siapapun, jurusan apapun, kelas berapapun." jelas Andhika.
"Kok lo tau? Lo bukan anak PA kan?" tanyaku.
"Ye....kan gue ketua kelas,"
"Terus kempingnya dimana?" tanya Kenya yang sedari tadi cuma menyimak pembicaraan kami.
"Bukit Mbeji,"
"Ya ampun...itu tempat kan serem.... katanya ada pocongnya," kata Ratih sambil bergidik.
"Dimana-mana yang namanya setan tuh ada Tih," Wingki menimpali. Dia berusaha keras menghabiskan bakso keduanya, sementara kami sudah selesai makan.
"Itu tanpa persetujuan sekolah gitu? Cuma idenya anak PA? Nggak ada pendampingnya? Ntar kalo ada apa-apa disana gimana coba?" tanyaku lagi.
"Hooh. Ntar kalo ada macan gimana? Kan itu hutan. Diculik genderuwo, mampus dong," Ratih nggak setuju sama kayak aku.
"Sekolah ngizinin, tapi emang murni acaranya anak PA, nggak campur tangan sekolah. Kalian mau ikut nggak? Kalo gue sih ikut, ketua kelas wajib soalnya,"
Wingki mengacungkan garpu, kayak mau bertanya ala murid yang lagi diajar guru.
"Cewek-cewek banyak yang ikut nggak? Gue ikut kalo ada, "
"Ada dong. Banyak..."
Aku nggak tau Andhika itu ngomong beneran, atau cuma asal ngomong biar Wingki terkompori buat ikut.
"Oke. Gue ikut, kalo bisa kita berlima ayo dong ikutan. Biar seru...." Bujuk Wingki ke aku, Ratih, dan Kenya.
"Gue kayaknya bisa sih, tapi izin dulu sama ibu gue, " Kenya mengatakan keikutsertaannya. Dia sudah sering manjat gunung, traveling sama kakaknya, sampai kulit dia agak gelap karena kebanyakan terpapar sinar matahari. Jadi dia lumayan berani dibanding aku sama Ratih.
"Lo juga ikutan Tih," tuding Wingki.
"Ngapain sih maksa-maksa. Gue asli takut banget kalo ada pocong beneran," Ratih membela dirinya buat nggak ikut.
"Nggak ada pocong. Ini kita rame-rame. Setan pada takut semua sama kita,"
"Lo ikutan juga kan Na?" tanya Andhika ke aku.
Aku diam, butuh mikir. Dulu saat bapakku masih ada, aku memutuskan untuk di rumah saja pas sekolah ada acara. Aku pengen menemani Bapak. Tapi sekarang, beliau nggak ada. Kalo aku tetap di rumah saja, aku bakalan kesepian. Apalagi sekarang, aku tinggal di rumah Om David. Laki-laki itu katanya juga nggak selalu ada di rumah. Kalo aku nggak ikutan, dan Om David nggak di rumah, aku sendirian dong. Di rumah seluas dan sebesar itu. Pasti sepi banget.
"Iya gue ikut," putusku akhirnya. Aku pengen memiliki perubahan di hidupku yang tanpa Bapak. Bukan berubah menjadi buruk, tapi memberanikan diri buat melakukan hal yang belum aku pernah lakukan disaat bapakku masih ada.
###
Kalo pulang sekolah gini, WiFi aula bakalan lancar karena nggak banyak yang pakai. Makanya kenapa sekarang aku nongkrong di depan aula.
Tadi Wingki nggak menolak waktu kuajak kesini, buat mengerjakan tugas bareng, sambil WiFi an. Mendadak dia izin pulang duluan, katanya kebelet BAB. Nggak tau kenapa, kalo BAB di WC sekolah tuh nggak enak banget sampai nggak bisa keluar, terus akhirnya pilih nggak jadi BAB saja.
Jadi, aku sekarang sendiri cuma ditemani tumpukan buku berisi tugas yang harus aku selesaikan. Biasanya sekolah nggak sesepi ini. Anak basket bakalan latihan di lapangan depan aula, tapi hari ini enggak ada.
Aku memilih menyelesaikan tugasku sekarang karena pumpung ada WiFi. Aku masih sayang sama uangku kalo aku belikan kuota, padahal Om David ngasih uangnya banyak banget.
"Hai Dek."
Aku mendongak, melihat orang yang menyapaku. Mas Dinar langsung duduk di kursi depanku.
"Ada berkas yang kurang lagi? Atau tanda tangan saya yang salah?" kataku nggak mengalihkan mataku dari handphone. Aku sedang mencari jawaban soal matematika di Brainly. Semoga ada yang mirip sama soal yang ada di buku. Dengan begitu aku tinggal menyalin jawabannya, tanpa susah menerapkan rumus yang memuakkan.
"Tanda tangan kamu kurang satu, di buku nikah,"
Aku langsung menatap Mas Dinar yang lagi tersenyum. Aku tau senyum Mas Dinar itu maut banget, tapi nggak usah tebar-tebar kayak gitu ke aku. Aku nggak bakalan meleleh, atau histeris kayak Ratih.
"Kemarin jadi staff TU, sekarang jadi penghulu. Banting setir, Pak?" sindirku dan sengaja menyebut dia dengan 'pak'.
Kata Ratih, Mas Dinar lah yang membawaku ke UKS waktu aku pingsan pas mendengar kabar bapakku meninggal. Ratih menceritakan sambil kayak nggak rela gitu, dia pengen kalo yang digendong ala bridal style itu dia, bukan aku.
Aku nggak berniat buat mengucapkan terimakasih. Rasanya kalo sama Mas Dinar, aku nggak ada sopan-sopannya.
Mas Dinar meloloskan tawanya. Matanya mengikuti gerakan tanganku yang lagi menulis di buku.
"Matematika?" tanyanya saat tau aku lagi menulis angka-angka.
"Iya, ngitungin umurnya Budi selisih berapa tahun sama umur Adi. Kan saya nggak kenal Budi sama Adi, kenapa disuruh ngitungin?" kataku asal nyeplos.
Mas Dinar tertawa lagi.
"Mas ngapain disini? Bukannya pulang malah gangguin saya belajar," kataku lagi sewot.
"Nemenin kamu,"
"Kurang kerjaan banget sih, nemenin saya yang nggak butuh ditemenin,"
Aku nggak bermaksud mengusir dia, karena itu bukan hakku. Ini sekolah, tempat umum, mau dia duduk dimanapun, aku nggak bisa melarang. Tapi aku nggak suka sama pandangan cewek-cewek adek kelas yang lewat di samping kami. Aku nggak mau keberadaan Mas Dinar bersamaku bikin mereka salah faham, terus menggosipkan yang enggak-enggak.
"Kamu udah makan?" tanya Mas Dinar. Dia bertanya, kalo mengajak makan ya enggak papa.
"Belum,"
"Makan yuk sama Mas,"

Komento sa Aklat (536)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    FaqihahMazlan

    best gila

    1d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata