logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Aku Butuh Bukti, Bukan Janji

"Angkat-angkat," suruh Om David pas kakiku menjulur menapak lantai. Aku melirik dia dengan mata menyipit, terus mengangkat kakiku, pindah menjadi duduk bersila diatas kursi.
Hari ini, kami memutuskan untuk bersih bersih rumah dan membagi tugas. Tugasku sudah selesai soalnya cuma memasak sama membereskan dapur doang, sementara Om David, menyapu, mengepel bahkan juga mencuci pakaian. Dia sendiri kok yang bagi tugasnya, bukannya milih yang enteng, tapi malah menawarkan diri buat ngerjain yang berat. Ya sudah, aku kan malah enak kalo begitu.
"Itu Om, masih berdebu, ntar istrinya brewokan loh, kalo nyapunya gak bersih." komentarku seraya menuding tempat yang kumaksud. Sebenarnya gak kotor sih, cuma iseng saja menjahili Om David kayak gini.
"Mana?" tanyanya.
"Itu tuh," kataku lagi.
"Biarin, lagian istri saya juga sudah brewokan."
katanya gak peduli dan memilih untuk melewati tempat yang kutunjukkan.
"Emang istri Om yang mana yang brewokan?" tanyaku. Yang jelas yang dia maksud bukan aku. Aku kan gak brewokan, lagian mana ada perempuan brewokan. Lah, tapi kok aku bisa ngomong begitu. Masa iya, aku sudah ikhlas kembali lagi menjadi istri Om David. Jangan buru-buru deh, soalnya hatiku belum yakin. Meskipun kalo difikir rencana kehidupan apa selanjutnya yang akan kujalani aku gak tau.
"Kamu," jawabnya seraya melirikku.
"Tapi, aku kan gak brewokan," Kesel deh, sudah jelas daguku mulus kayak gini. Emangnya dia, yang demen banget memelihara brewok.
"Brewok kok, dibawah." Om David tersenyum mengejek, seraya matanya turun melirik kakiku yang terlipat.
Aku awalnya gak konek, tapi semakin mikir, kok semakin tau. Dasar ya aku, kalo tentang pelajaran saja susah banget nyantolnya, tapi kalo tentang hal yang berbau kesitu gampang banget fahamnya.
"Enggak brewok kok, bersih." sahutku sambil menurunkan kembali kakiku.
"Oh ya? Coba saya cek." Om David mendekat yang langsung kulempari bantal. Dia kenapa senang banget sih menjahili bocil.
"Om nyapunya cepetan, nanti keburu debunya nyebar lagi." kataku mengalihkan pembicaraan yang sesat kalo lama-lama diteruskan.
"Tenang saja, debunya gak bisa terbang tanpa izin saya."
"Lah kok. Ntar kualat lho, ngambil alih kuasa Tuhan,"
"Gak kok bercanda."
"Kalo Tuhan terlanjur marah?"
Om David langsung membuang sapu yang dipegangnya. Langsung menengadahkan tangan kayak orang berdoa, dan berkata, "Maafkan saya Tuhan, saya gak bermaksud seperti itu."
Aku terkikik melihat tingkahnya. Entah kenapa, menurutku Om David berbeda, dari Om David yang dulu kukenal. Om David yang sekarang tuh kayak Denny Cagur, lucu dan tukang ngelawak. Meskipun lawakannya Om David lebih banyak garingnya, tapi aku masih mengapresiasi dengan pura-pura tertawa.
Mungkin, dia melakukan itu untuk menghiburku, juga menghibur dirinya sendiri. Aku masih ingat sama yang dia katakan dulu, kalo dia juga lelah dengan semuanya. Aku maklum, sampai sekarang laki-laki itu masih menganggap dirinya sebagai suamiku, meskipun aku masih belum berani mengakui.
Sebagai suami, dia tentu merasa sedih dan kecewa atas apa yang terjadi denganku.
"Om gak kerja?" tanyaku usai dia kembali menurunkan debu ke teras dan kembali masuk dengan sapu yang dia tenteng kayak lagi mengangkat barbel.
"Kenapa? Nyuruh saya pergi?"
"Ye, aku kan nanya, kok malah suudzon,"
"Mau ikut?" tanyanya.
"Kemana?" tanyaku balik.
Gak etis banget, ditanyain malah nanya balik. Mau gimana, Om David saja ambigu banget ngasih pertanyaan. Kalo kujawab iya, nanti dia jawab kalo mau pergi ke kamar mandi. Kan ngeselin, ngapain juga ikutan ke kamar mandi.
"Saya mau ke kafe, kamu mau ikut?"
Nah kan dia bisa juga lho ngomong lengkap begitu.
"Mau."
Namanya juga hidup, menjalani hal yang sama kayak kemarin, pasti ada rasa bosan. Sudah gak kuliah, gak kerja juga, cuma menghabiskan waktu di rumah nontonin drakor sambil makan cemilan, mungkin akhir bulan aku bisa divonis mata minus plus kelebihan berat badan.
"Mbak Sari masih kerja disana kan Om," tanyaku.
"Masih."
Sudah berapa bulan ya aku gak kesana. Semenjak menghilangkan diri dari Om David, aku sudah gak pernah menginjakkan kakiku ke tempat yang pernah kami pijak.
"Oke, ngikut." kataku akhirnya.
Rasanya, pengen banget kembali ke masa-masa sekolah dulu. Hari hariku jauh lebih aktif pas aku masih sekolah, meskipun bolak balik puyeng karena mikirin pelajaran, tapi imbalannya aku bisa bercanda tertawa bahagia sama teman sekolah.
Aku gak pernah memutuskan hubungan pertemanan, hanya saja gara-gara kami gak pernah berinteraksi secara langsung, hubungan kami dingin kayak kembang es.
Grup kelas juga sudah sepi, soalnya anggotanya sudah sibuk sama kehidupan masing-masing.
Grup circle yang beranggotakan aku, Ratih, Kenya, Wingki dan Andhika juga sepi, terakhir ramai itu kemarin malam itupun gegara Kenya ngeshare link minta like tugas kuliah.
"Kenapa?" tanya Om David begitu melirikku setelah sedari tadi fokus menyetir.
Aku menggeleng.
"Kalo ada masalah, coba cerita. Saya siap mendengarkan."
"Om beneran serius mau nerima aku kembali?" tanyaku. Mendadak kebimbanganku muncul lagi. Sudah tau kan, kalo perempuan itu butuh kepastian, pembuktian, bukan hanya janji ataupun omongan doang.
Hanya saja, kalo Om David menjawab 'iya' aku pun tetap masih ragu. Jadi, mungkin aku yang bermasalah, dan perlu dibenahi. Aku perlu merenung, mikir esktra, kalo perlu semedi tujuh hari tujuh malam, agar mendapatkan jawaban nyata dari nuraniku sendiri. Agar aku yakin mau melangkah maju, atau belok kiri, asal gak mundur menuju masalalu.
Aku butuh kebenaran, agar gak salah melangkah.
"Saya sedari dulu gak pernah menganggap kita pisah. Jadi, gak ada kata kembali karena kamu gak pernah pergi. Perlu saya ingatkan lagi, kalo kamu itu istri saya?"
"Terus, apakabar sama Mbak Olivia?"
Tentang itu, aku juga butuh kejelasan. Aku hanya menagih janji yang dulu dia berikan.
"Dia bukan siapa-siapa saya."
"Bayinya? Bukannya itu anak Om."
David diam. Gak berani menatapku, entah karena memilih fokus menatap depan mau menyalip truk, atau takut kalo matanya bisa saja mengkhianati ucapannya.
"Kenapa diam? Bayi itu beneran anak Om?"
Entah kenapa, aku merasa perih saat memikirkan kalo bisa saja Om David bohong, dan kenyataan yang sebenarnya adalah bayi itu beneran darah dagingnya. Semenjak kehadiran Mbak Olivia yang mengaku, aku sudah merasa dikhianati sama laki-laki disebelahku ini.
Semenjak itu aku langsung menyimpulkan kalo Om David bercinta dengan perempuan itu, pas dia masih berstatus menjadi suamiku. Dia saja benci melihatku berinteraksi sama laki-laki lain, tapi dia sendiri malah sampai membuat bayi.
Tapi, melihat betapa seriusnya dia merawatku baru-baru ini, hatiku melunak, dan menyisakan rongga, memberikan kesempatan Om David mengisinya.
Aku emang gak mau cepat mengambil keputusan. Karena aku tau, kalo laki-laki berparas malaikat baik hati, namun dalamnya kayak iblis, itu ada nyatanya. Dan mereka biasanya menggunakan taktik yang sama, berkoar-koar memberi janji, lalu menghilang kayak setan setelah berhasil menaklukkan target yang mereka hendaki.
"Apa aku bisa mempercayai Om?" tanyaku lirih tanpa menatapnya, dan malah menatap jejeran bangunan dipinggir jalan raya.
"Saya hanya perlu waktu. Lalu saya bisa membuktikan kalo saya bisa kamu percaya."
"Aku mau eskrim." kataku melenceng dari pembicaraan. Aku sengaja, soalnya sudah muak membahas masalah tanpa kejelasan itu.
"Oke, kita beli eskrim."
###
"Kok ada kasur?" tanyaku pas mataku melihat ada sebuah ranjang dengan ukuran besar.
"Buat tidur."
"Ya kali buat main badminton," jawabku sinis seraya mencoba duduk di ranjang yang kelihatannya sih empuk banget. Dan beneran, pas aku cobain, rasanya empuk. Kayaknya enak banget deh kalo rebahan disini.
Ruangan kerja Om David yang berada di lantai atas kafe, sudah beda. Dulu, seingatku aku kesini pas dalam keadaan kosongan gitu, tapi sekarang sudah lengkap ada perabotannya, dan juga ada kulkas.
"Kok ada kulkasnya juga. Jangan-jangan Om nyewain tempat ini ke bocil pacaran dengan harga murmer ya," tebakku. Bisa saja kan, apalagi tempatnya aman banget. Orang mah gak bakalan nyangka kalo kafe ini di lantai atasnya ada motel buat enak-enak.
"Saya masih waras buat gak menghalalkan bocil pacaran, apalagi sampai seks."
Begitu mendengar kata terakhir, tanganku berhenti mencengkeram pintu kulkas yang terbuka. Aku sekarang jadi sensitif banget kalo dengerin kata tentang begituan.
"Ini boleh diminum?" tanyaku agar otakku gak membayangkan hal yang ingin kubayangkan. Aku mengambil sebotol sprite, yang nyatanya nyegerin.
"Boleh." jawab Om David singkat. Laki-laki itu sedari tadi sibuk ngobrak abrik setumpuk berkas. Entah, dia sedang mencari apa, aku juga gak berniat menawarkan diri membantu, dan lebih memilih duduk di sofa single sambil menikmati sebotol sprite yang dingin.
"Aku boleh pesan makan Om?" tanyaku lagi yang langsung direspon anggukan. Aku bangkit, keluar kamar, tanpa berkata lagi, dan menuruni tangga dengan cepat.
"Mbak Sari, aku pesan ayam geprek satu," kataku pas melihat Mbak Sari berjalan ke arahku yang lagi nimbrung di kasir.
"Oke Mbak."
Jadi atasan dan punya karyawan itu enak banget ya. Tapi gak semua orang punya kesempatan. Aku jadi mikir, kayaknya aku mau jadi pengusaha saja, ngikutin jejak karir Om David. Tapi, mau usaha apaan, aku kan gak punya bakat selain rebahan. Nanti bukannya untung, malah buntung.
"Anna mana?" Suara Om David terdengar, padahal sekarang aku sedang berada di dapur. Gak salah kan kalo aku kelayapan sampai sini, soalnya kepo banget pengen lihat orang masa
"Ada apa?" tanyaku pas sudah berada di ambang pintu dapur, sementara Om David baru saja akan menyusulku masuk.
"Kamu gak papa ya, disini dulu. Saya mau pergi, ada urusan mendadak." katanya.
"Em, gak papa kok. Lagian, pergi lama juga boleh."
"Gak akan lama. Kamu disini dulu, nanti saya minta tolong Sari buat nemenin."
Aku mengangguk. Om David menggenggam tanganku, kayak meyakinkan kalo dia pergi gak bakalan lama. Aku mah gak masalah, dia pergi cuma lima menit atau sampai besok baru pulang, yang penting jangan selamanya menghilang, soalnya janji dia tentang pembuktian bayi yang dilahirkan Mbak Olivia bukan anaknya belum ditepati. Aku kan kepo, apalagi setelah dilahirkan, Om David gak pernah menjenguk bayi itu.
"Sari, saya nitip, tolong jagain Anna," pesan Om David ke Mbak Sari yang kebetulan lewat membawa piring bekas. Tentu saja, Mbak Sari langsung mengangguk mengiyakannya. Ikhlas gak ikhlas, tetap dia lakukan soalnya ini yang memerintah bosnya sendiri.
"Jangan pergi kemana-mana, sampai saya kembali kesini." pesannya ke aku yang lagi lagi hanya kuangguki. Om David tersenyum, mengelus kepalaku pelan, lalu mencium keningku singkat.
Lagi-lagi itu pergi, sementara aku bersandar di tembok luar dapur, menyisih, agar gak menghalangi pelayan yang simpang siur.
Masih mengikuti punggung tegap itu yang semakin mengecil, lalu hilang dari radarku, aku meraba keningku yang tadi diciumnya.
Pumpung Mbak ada disini, saya mau nanya boleh? Tapi, kalo Mbak gak mau jawab, gak papa," Sari mendadak nongol lagi, tapi kali ini tangannya kosong gak membawa apa-apa.
"Mau nanya apa? Aku jawab dong, aku kan baik hati dan gak sombong."
"Tapi kita ngobrolnya jangan disini, gak enak kedengeran sama yang lain."
"Oke, jadi dimana?"
Mbak Sari menarik tanganku, mengajakku pergi ke sebuah taman mini, yang ada di belakang dapur. Aku gak tau lho, kalo ada tempat sesejuk ini disini. Soalnya, kalo kesini, tujuanku pasti langsung ke lantai atas.
Jangan jangan, kafe ini banyak menyimpan rahasia menakjubkan yang belum kuketahui. Aku jadi pengen berkeliling, siapa tau menemukan ruang harta karun, yang kuncinya masih disembunyikan keberadaannya.
"Jadi gini Mbak, saya langsung to the point saja ya,"
Aku manggut-manggut. Mbak Sari tampak resah, terlihat dari tangannya yang berkelit satu sama lain, sementara dianya mondar-mandir sembari menengok ke pintu belakang.
"Mbak kenapa sih, santai aja kali. Duduk sini, terus tanya tanya deh ke aku." suruhku sembari menepuk tempat sebelahku. Aku kan jadi merasa gak enak, kalo Mbak Sari saja resah kayak gitu. Dia kayaknya takut deh, kalo Om David muncul lagi dan memergoki dia disini, padahal masih jam kerja.
"Emang Mbak, sama Pak David udah baikan?" tanya Mbak Sari langsung membuat alisku naik.
"Sudah." jawabku singkat.
"Syukur Mbak, sudah, itu doang pertanyaan saya. Saya kembali kerja dulu." Mbak Sari mulai beranjak, tapi kucegah soalnya aku merasa ada yang masih ingin dia tanyakan lagi. Masa iya, sampai mengajakku kesini kalo cuma mau menanyakan gitu doang.
"Tanya aja Mbak, gak papa, daripada kepo terus gak bisa tidur,"
"Saya bingung ples takut sebenarnya Mbak. Hari ini, pas Pak David datang kesini sama Mbak, saya dan teman-teman kaget banget. Saya kira, kalian berdua, maaf, sudah cerai."
Aku sebenarnya gak mempermasalahkan isi omongannya Mbak Sari. Yang kupenasarankan itu, kenapa dia bisa tau coba keretakan rumah tanggaku sama Om David. Aku kan gak pernah cerita, boro-boro cerita, kesini saja enggak. Masa iya, Om David sendiri yang curhat ke karyawannya, tapi kan dia bukan tipe laki-laki kayak gitu.
"Kita belum cerai kok, nyatanya tadi kita barengan,"
"Soalnya gini Mbak," Mbak Sari ikutan duduk, langsung menyerong menghadapku.
"Beberapa bulan terakhir, Mbak gak pernah datang, dan Pak David selalu nginap di kafe. Jadi, saya sama teman-teman berspekulasi kalo kalian itu bertengkar, atau bahkan pisahan."
Keningku mengernyit. Aku faham kok sama ucapan Mbak Sari, cuma aku ragu, apa aku salah dengar apa gimana.
"Dia nginap disini?" tanyaku.
"Iya. Setiap hari."
Kok aku jadi tambah penasaran, sama yang terjadi dengan Om David pas aku pisah dari dia. Laki-laki itu ngapain coba pakai nginep disini segala, kalo masih punya rumah, dan waktu itu kan, ada Mbak Olivia juga yang masih hamil anaknya.
Pantas saja ruangan atas sudah kayak penginapan bintang tiga, apapun ada semua.
"Dan waktu itu, ada juga perempuan hamil yang datang mencari Pak David."
Tanpa dikasih tau namanya, aku sudah bisa menebak dengan benar kalo perempuan yang dimaksud Mbak Sari itu adalah Mbak Olivia.
"Ada urusan apaan kok nyariin."
Mbak Sari menggeleng. "Saya gak tau, setelah itu Pak David nya datang, terus mengajak perempuan itu keluar."
Aduh, otakku berkecimpung lagi buat mikir yang berat. Kalo Om David waktu itu selalu nginap disini, berarti dia gak satu rumah sama Mbak Olivia. Kenapa bisa kayak gitu coba, padahal kan Mbak Olivia lagi hamil anaknya. Harusnya Om David peduli, dan menyayangi selingkuhannya yang rahimnya berhasil dia tanami keturunan. Masa iya, omongan Om David yang selalu menyangkal, kalo bayi itu bukan anaknya adalah benar.
Kalo beneran, aku pasti senang banget. Soalnya, aku selalu takut pas mikirin apa yang terjadi kalo bayi itu beneran anak Om David, sementara aku perlahan-lahan mulai bisa menerima sebagai suamiku lagi.
Aku gak bisa bohong sama perasaanku sendiri. Nyatanya, keberadaannya disisiku selalu membuatku tenang.
"Yang terpenting Mbak sekarang sudah balik lagi. Saya ikutan senang, apalagi melihat wajah Pak David sudah gak murung lagi kayak dulu."
Mbak Sari memegang tanganku, lalu menyambung ucapannya, "Saya dan semua orang disini, selalu mendoakan yang terbaik buat kalian berdua,"
Aku membalas mengelus punggung tangannya, dan berkata, "Makasih ya Mbak udah didoain,"
"Angkat saja," kataku lagi pas mendengar dering handphone yang berasal dari saku celananya Mbak Sari.
Mbak Sari mengangguk, mengambil handphone, dan matanya langsung terbelalak begitu membaca nama sang penelpon dilayar.
"Pak David," katanya ke aku, lalu dia bangkit, menyisih ke pojok taman.
Kenapa ya kok semua anak buahnya Om David itu kayak ketakutan banget kalo sudah berhadapan sama dia. Masa sih, kalo Om David galak banget dihadapan anak buahnya. Padahal, kalo didepanku, dia baik banget. Kalo menyebalkan sih, baru aku setuju, apalagi perintahnya itu selalu otoriter dan harus dilakuin.
"Mbak Anna, ayam gepreknya sudah siap." Sebuah suara membuatku menoleh ke belakang. Sang pemilik suara, berdiri di depan pintu sembari melebarkan senyum. Aku mengangguk, bangkit, pamitan ke Mbak Sari, terus melanglang masuk dapur.
Mending makan dulu, daripada pusing sama kehidupan yang rodanya selalu dibawah mulu.

Komento sa Aklat (535)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    ApriliaNadira

    membosankan

    21/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata