logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Petir di Siang Bolong

Kami terlambat. Dan kali ini lebih berat karena ada hukuman. Beda sama yang kemarin masuk gerbang lolos begitu saja. Penyebabnya masih sama, gara-gara Wingki.
Wingki memintaku untuk mampir ke rumahnya, karena mau berangkat bersama, dengan bersepeda tentunya.
Aku nggak mau menemani dia kalo dijam enam lima belas dia belum apa-apa. Itu permintaan dariku yang langsung disetujui Wingki. Tapi yang namanya Wingki, sengotot apapun dia berjanji, kalo sama aku bakalan lupa.
Aku juga ngotot mau meninggalkan dia, tapi ibunya Wingki merayuku, menyuruhku menunggu anak bontotnya sambil sarapan. Tentu aku nggak nolak, padahal aku di rumah sudah sarapan nasi beberapa sendok.
Makanan di rumah sama di rumah Wingki kan beda, yang pasti lebih enak makanan di rumah Wingki. Jelas dong, kan Wingki orang kaya.
Jadi, sekarang kami berdua harus berakhir disini. Bersama dengan puluhan murid lain yang juga terlambat, berbaris dengan rapi di bawah sinar matahari pagi, sambil mendengarkan ceramah kepala sekolah. Lumayan, dapat amanat dua kali dalam seminggu.
" Wing, kabur yuk...." ajakku. Kakiku sudah pegel berdiri sejak tadi, sementara kepala sekolah di depan nggak ada tanda-tanda mau mengakhiri ceramahnya.
Wingki nggak menyahut. Menolehkan kepalanya ke arahku saja enggak dan malah asyik main handphone.
Aku mencondongkan tubuhku, melewati tubuh cowok yang berdiri diantara aku dan Wingki.
"Wingki..." kataku sedikit keras, sampai membuat murid depan kami menoleh.
"Apa?" tanyaku Wingki setelah aku berhasil memanggilnya. Aku meminta cowok di sampingku agar mau bertukar tempat, biar enak mau merencanakan kaburku sama Wingki. Tapi cowok ganteng ini nggak mau, dia bahkan mengancamku mau melaporkan aku ke kepala sekolah kalo aku nekat kabur. Emang dia seberani itu?
Aku mencebik. Dan aku terpaksa diam ditempatku, karena nggak mungkin kabur, juga Wingki yang masih asyik dengan handphone miring di tangannya. Cowok itu nge-game lagi.
"Nama lo siapa sih? Gue sering lihat lo, tapi nggak tau nama lo,"
Aku mendongak, menyaksikan tubuh menjulang cowok yang disampingku saat berdiri tadi. Ceramah kepala sekolah sudah selesai, hukumannya kami harus membuat surat pernyataan bersalah karena terlambat.
Wingki sudah kembali ke kelas dulu, aku nggak ikut karena memilih menyelonjorkan kakiku di atas paving lapangan.
Melihat nggak ada jawaban dariku, karena aku nggak berniat menjawab, cowok asing ini ikutan duduk di sebelahku. Aku mencium bau-bau kemodusan disini.
"Anak TKR?" tanyanya usai melirik bet jurusan di lengan seragamku.
"Iya. Lo jurusan apa?" tanyaku balik. Aku ingat sama ucapan Ratih, kalo mau dapat teman banyak itu jangan cuek. Makanya aku berusaha sok akrab.
"Kayu,"
Aku manggut-manggut. Nggak ada pembicaraan lagi karena terpotong sama suara speaker, yang mengumumkan kalo semua guru harus menghadiri rapat dijam pertama hari ini. Senang bukan main tentunya murid-murid. Terdengar riuh kesenangan dari mereka.
Makin malas masuk kelas kalo begini.
"Lo kenal Andhika?" tanya cowok bernama Johan, yang kubaca dari bet namanya.
"Teman sekelas gue," jawabku dengan mata menyipit menghindari sinar matahari pagi yang menyilaukan.
"Pas banget....gue ada titipan buat temannya Dhika," katanya begitu senang sambil menurunkan tas punggung, dan menarik benda dari dalam sana. "Tolong kasih ke cewek yang namanya Anna ya?" sambungnya sambil menyodorkan sebuah buku ke aku.
Aku melotot, sangat mengenali buku yang kini sudah kuterima. Ini bukuku, yang dipinjam Andhika tempo hari.
Disuruh memberikannya ke Anna, apa dia nggak tau kalo aku cewek bernama Anna. Nama di bet ku masa nggak kelihatan sih.
"Iya, nanti gue kasihin." kataku tanpa mengaku kalo aku cewek yang dia maksud.
"Disitu ada suratnya Dhika, dia izin. Pulang kampung,"
Rezeki anak sholeh ini. Biasanya Andhika bakal traktir aku makan kalo dia habis pulang. Yang pasti setelah dari rumah, dompetnya kembali tebal.
"Anna....." teriakan melengking dari Ratih mengagetkan kami. Johan menatapku aneh, kayak dia nggak percaya kalo yang dipanggil itu aku. Nggak percaya kalo aku adalah Anna.
"Jadi, lo Anna?" tanyanya dengan ekspresi ketidakpercayaan.
"Hoohlah, yang namanya Anna itu gue. Nih." kataku sambil memperlihatkan bet namaku.
"Maaf Na, gue nggak tau. Dan nggak baca bet lo. Dhika cuma bilang ke gue, kalo yang namanya Anna itu cantik, lucu, kayak Anna adiknya Elsa,"
Aku memutar bola mata, jengah.
"Tapi Dhika nggak bohong, lo beneran cantik," katanya lagi sambil menyunggingkan senyum. "Minta w.a lo dong,"
Aku mendengus. Dugaanku dengan bau-bau kemodusan tadi benar terjadi. Aku bisa melihat kalo garis di wajah Johan yang emang ganteng, kentara banget kalo cowok ini playboy.
"Na..."
"Ya, " jawabku tanpa melepas mataku dari handphone.
"Itu tuh mas-mas yang gue ceritain kemarin, yang ganteng." kata Ratih semangat banget. Aku masih nggak bergeming, sibuk menyimpan nomer asing yang masuk sejak aku menghidupkan WiFi.
Banyak banget nomer asing yang minta disave. Pasti ada temanku yang memberikan nomerku ke bocah-bocah ini. Aku nggak marah kok, malah senang karena targetku buat punya kontak WhatsApp seribu nomer bentar lagi tercapai. Kalo bisa, satu sekolah nomer-nya aku save, nggak papa.
" Anna!" Ratih berteriak kencang di telingaku. Aku tersentak, dan langsung memasukkan handphone ke saku.
"Cepetan lihatin, sebelum orangnya masuk,"
Aku menyipitkan mata, memperjelas penglihatanku ke sosok yang ditunjuk Ratih.
"Dia orangnya?" tanyaku.
"Iya, ganteng kan?"
Mas Dinar, mas-mas yang diomongin Ratih tempo hari. Emang beneran dia ganteng, tapi aku nggak sehisteris Ratih yang kayak baru lihat cowok ganteng. Walaupun nyatanya laki-laki itu sempat manjadi tokoh khayalanku, karena aku nggak kuat sama bulu-bulu yang tumbuh di atas bibir dan dagunya.
"Eh Na, dia mandangin kita kayaknya," Ratih tambah histeris.
"Masa sih?" Aku kembali melihat Mas Dinar yang ternyata beneran melihat ke arah kami. Mungkin saja lagi melihat Ratih, siapa tau dia terpesona sama kecantikan Ratih. Atau melihat cewek-cewek yang juga duduk di kursi sebelah kami.
"Dia manggil kita Na,"
Mas Dinar mengisyaratkan dengan tangannya agar kami kesitu. Tapi masalahnya, ini benaran kami nggak sih yang dipanggil.
"Mbak, dipanggil tuh," ujar cewek di sebelah yang ternyata adik kelas.
"Beneran Na, dia manggil kita. Ayok." Dengan semangat empat lima, Ratih menarikku. Kami sampai lupa kalo Kenya masih di kamar mandi dan menyuruh kami buat menunggu dia disitu.
"Ada apa Pak?" tanya Ratih penuh ke pedean. Cewek ini nggak mingkem selalu menebar senyum.
Aku memilih diam, ingat sama kejadian kemarin. Niatan buat membuktikan kalo warna bibirku asli bisa kulakukan disini. Memakai tisu wajah milik Ratih yang selalu ada disakunya.
"12 TKR 2 kan?" tanyanya sambil melirikku.
Ratih belum tau, kalo aku lebih dulu mengenal Mas Dinar. Aku diam saja nggak mau memberi tau, nanti aku dikira mencuri start duluan, padahal dengan jelas kemarin dia bilang kalo nggak tertarik sama laki-laki ini.
"Iya Pak, bener." jawab Ratih.
"Muridnya berapa?"
"36." Lagi-lagi Ratih yang menjawab.
Aku bukannya benci sama Mas Dinar. Cuma lagi malas saja bersuara, Ratih kan ada, apalagi dia seneng banget kayak gitu.
"Berkas yang dikumpulin kemarin kurang satu. Saya hitung cuma tiga lima. Coba tolong, cari berkas siapa yang ketinggalan. Secepatnya dikumpulin ke TU ya,"
###
"Udah beres?" tanya Kenya ke Ratih yang masuk kelas dengan raut muka senang banget. Aku melihat Ratih sekilas lalu melanjutkan kegiatanku menyalin materi.
Cewek itu baru saja kembali dari ruang TU, buat menyerahkan berkas yang ketinggalan.
"Udah dong. Ganteng banget ya kalo lihatinnya dari dekat,"
Kenya mematikan musik di handphone yang diputarnya tadi. "Terus, Jaka mau lo kemanain?" tanya Kenya lagi.
"Gue bingung. Jaka tuh imut-imut, tapi Mas Dinar lebih ganteng,"
Ratih sudah tau nama Mas Dinar, mungkin Mas Dinar memperkenalkan diri, mana bisa sih, menolak cewek secantik Ratih. Atau kalo enggak, Ratih yang maksa buat memberi tau nama Mas Dinar. Ratih kan orangnya gesit banget.
"Kok manggilnya Mas?" Kenya bertanya, karena dia yang masih nggak tau apa-apa.
"Dia bukan guru Nya, tapi mas-mas TU,"
jelas Ratih. "Oh iya, Anna disuruh kesana,"
Mendengar namaku disebut, aku menoleh.
"Kenapa sama gue?" tanyaku heran.
"Lo disuruh kesana, katanya kertas yang lo tandatanganin kemarin salah,"
"Lah, kok nggak masuk akal banget. Kan bisa diganti sama tandatangan lo," keluhku. Aku nggak mau kesana lagi dan bertemu sama mbak-mbak TU yang judes itu. Dia nggak enak banget, kayak benci gitu sama aku. Padahalkan aku nggak ada salah sama dia.
"Nggak tau, pokoknya tadi Mas Dinar bilang begitu,"
"Yaudah Na, cepetan kesana aja, biar cepat selesai," suruh Kenya.
"Oh iya, minta tisu,"
Buat persiapan kalo Mas Dinar menyindirku lagi masalah lipstik. Bakal kubukuktikan, biar dia pasang muka pias.
"Ada apa ya Mas?" tanyaku ke Mas Dinar yang lagi menyandarkan punggungnya di kursi kerja miliknya.
Aku bernafas lega karena saat tiba di dalam tadi, Mbak TU yang judes itu nggak ada. Aku juga nggak melihat karyawan lagi berseliweran. Ruang ini benar-benar sepi, cuma ada Mas Dinar dan aku saja disini.
"Duduk,"
Aku langsung duduk di kursi depan meja. Kemarin kursi ini nggak ada, tapi sekarang ada. Kenapa nggak dari kemarin coba, adanya?
"Tandatangan kamu salah Dek,"
Aku geli sama panggilan Mas Dinar ke aku. Wajar sih sebenarnya, tapi aneh banget. Mending dia panggil pakai namaku saja daripada dipanggil begitu.
"Kan bisa diganti sama tandatangannya Ratih?" Aku nggak percaya kalo alasannya buat memanggilku kesini karena itu.
"Tandatangan lagi aja Dek," kata Mas Dinar sambil menyodorkan kertas.
"Yang ini udah benar kan?" tanyaku memastikan sebelum aku membubuhkan tandatangan. "Udah selesai kan Mas, saya bisa balik ke kelas sekarang dong,"
"Kamu sekarang ada pelajaran apa?"
"Bahasa Jawa, tapi gurunya nggak ada,"
"Yaudah, disini aja dulu. Bantuin ngurutin berkas,"
Loh, kok jadi begini. Ngurutin berkas itu pekerjaan dia sebagai staff TU, bukan aku. Aku nggak punya keahlian buat melakukan itu. Seharusnya anak perkantoran yang dia suruh, bukan aku. Aku mau bantu, kalo dia nyuruh buat benerin mesin mobil, seenggaknya itu cocok sama keahlianku.
"Tapi, saya banyak tugas," Seharusnya dia peka kalo aku menolak permintaannya.
"Bantuin Mas dulu, nggak lama kok,"
Aku tambah geli dengan penyebutan dirinya 'mas'. Sumpah ini aneh banget. Aku nggak perlu dibahasain kayak gitu, lha wong aku bukan anak kecil.
"Kamu urutin dari yang terkecil. Kode angka yang terakhir," katanya sambil menunjukkan angka di pojok kertas kepadaku. Dia nggak mau dibantah, otoriter banget.
"Oh iya, kamu suka salad buah?"
Dia tanya, kalo akhirnya ngasih nggak papa.
"Suka," jawabku sambil melaksanakan tugasku. Harusnya tadi aku bohong, bilang saja kalo aku nggak jamkos.
Sekotak toples berisi salad buah dengan taburan banyak keju, dia letakkan di depanku, setelah mengambilnya dari laci meja.
"Makan saja, sambil kerjain,"
Aku mengalihkan dari kertas dan menatap Mas Dinar yang lagi menatapku juga. Lalu satu senyuman terkembang. Dia orangnya emang nggak pelit senyum gini ya?
"Coba senyum dong Dek..." perintahnya ke aku.
"Saladnya beneran buat saya?" tanyaku mengalihkan omongannya. Aku nggak mau malu karena udah menghabiskan salad buah, lalu dikabarin kalo itu juga kesalahan.
"Iya buat kamu,"
Aku nggak sengaja meloloskan senyumku, karena terlanjur senang mendapat makanan gratis. Dan ulah bibirku ini ternyata mendapat perhatian dari Mas Dinar.
Aku nggak mau menolak sih kalo makanan. Tapi ingat kalo Mas Dinar aneh banget jadi sungkan buat menerima. Tapi disisi lain, sayang banget kalo ditolak. Padahal salad buah ini termasuk makanan mahal versiku. Aku selalu pengen makan salad yang kejunya bikin ngiler itu. Sejauh ini, cuma bisa ngelihatin orang makan di Instagram. Masih butuh keberanian diri buat beli dengan uangku sendiri. Selalu nggak jadi, karena aku lebih sayang uangku. Nggak makan salad buah juga nggak mati.
"Mas nggak suka keju. Itu tadi dari Bu Ani, kamu makan aja. Sayang kalo dibuang, "
Mendengar itu, penguatan diriku buat menolak jadi runtuh. Aku jadi pengen banget.
"Kok lipstik kamu tetap stay Dek? Waterproof ya?" tanya Mas Dinar usai aku menyuapkan sesendok salad.
Aku berusaha biasa saja, ditatap kayak gitu sama dia. Aku sebenarnya tau, kalo sedari tadi Mas Dinar memperhatikan aku makan. Risih sebenarnya. Tapi mencoba biasa saja. Nggak sekali ini juga kok aku ditatap pas lagi makan. Temanku kan banyak yang cowok, mereka juga tau cara makanku.
"Saya udah males membela diri saya, kalo saya beneran nggak pake lipstik," kataku. Kukuh banget Mas Dinar menduga kalo aku memakai lipstik. Ini sudah terbukti, aku udah nggak perlu lagi mengusap dengan tisu yang kuminta dari Ratih.
"Bagus banget, pasti mahal ya?" tanya Mas Dinar membuatku semakin nggak terima dengan tuduhannya. Padahal, aku sudah biasa mendengar ejekan kayak gitu.
"Mas kok nggak percaya sih? Sakit loh rasanya dituduh yang enggak-enggak," kataku ngegas. Nggak peduli kalo salad enak yang kumakan ini pemberian darinya. Aku nggak mengucapkan terimakasih, malah ngegas. Sudah bener, nggak ada sopannya aku kalo sama orang satu ini.
"Coba Mas lihat, asli nggak sih?" Tangan Mas Dinar menyerobot tisu yang ada di laci mejanya. Pantas saja aku nggak menemukan ada tisu disini, ternyata disembunyikan. Lacinya sudah kayak kantong Doraemon, apa saja ada.
Aku terkesiap begitu Mas Dinar mendadak dan tanpa izin mengelapkan tisu diatas bibirku. Jantungku langsung berdebar kencang banget. Rasanya aneh, aku nggak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Rasa ini sama kayak yang kurasakan dulu pas aku jatuh cinta waktu SMP.
Mas Dinar menggerakkan tangannya, lembut banget. Menarikan tisu diatas bibirku. Matanya fokus ke obyek yang dibersihkan. Aku nggak tau dia emang mau mengelap bibirku yang katanya dipoles lipstik, atau karena ada sisa keju di bibirku yang aku enggak tau.
Rasanya masih aneh, malah tambah dengan kemunculan gelenyar di perutku. Kayak ada kupu-kupu terbang, tapi pastinya bukan, karena nggak mungkin ada kupu-kupu di sana. Mungkin ini cacing perutku yang menggeliat minta makan.
Melihat tisu bekas bibirku yang nggak ada warna merah, dia tersenyum.
"Cantik," Dengan santainya dia bilang begitu lalu membuka laptopnya. Sementara aku, jantungku nggak kunjung reda juga. Merasa melayang dengan pujiannya barusan.
Deringan handphone-ku sontak membuatku kembali tersadar. Tanpa izin Mas Dinar, aku mengangkat telepon dari nomer nggak dikenal. Ini telepon di nomerku, bukan di WhatsApp kayak yang biasanya temanku lakukan.
"Halo? "
"Halo Na...Anna...Halooo..."
Aku refleks menjauhkan handphone dari telinga, karena suara orang yang menelpon kencang banget, kayak orang teriak.
"Ini Mbok Iyem, Na..."
"Ada apa Mbok?" tanyaku. Nggak biasanya Mbok Iyem menelponku. Tetanggaku itu nggak punya handphone, kalo pun bisa menelpon, pasti pinjam dulu.
Suara disana agak berisik, jadi suara Mbok Iyem jadi sedikit tersamarkan. Pantas saja dia teriak, tau kalo aku disini nggak mendengar.
"Halo Mbok, ada apa?" tanyaku lagi karena nggak ada jawaban, tapi suara riuh itu masih terdengar.
Perasaanku mendadak nggak enak. Bukan karena sisa rasa anehku atas kelakukan Mas Dinar tadi, tapi ini beda lagi. Rasanya nggak enak, nggak tenang, gelisah.
"Bapak kamu meninggal,"
Kayak petir di siang bolong, menyambar orang sampai nggak sadar. Itu aku sekarang. Petirnya menyambar tepat di ulu hatiku, aku terkejut nggak percaya, lalu rasanya perih. Handphone-ku terjatuh dari genggaman tanganku yang mendadak lemas, dan aku nggak tau apa-apa. Gelap, kayaknya aku pingsan.

Komento sa Aklat (536)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    FaqihahMazlan

    best gila

    1d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata