logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Staff T. U

"Na.... cepetan!" teriak Wingki sambil menolehkan kepalanya ke arahku. Aku mendengus sebal sambil terus bersikeras mengayuh sepedaku untuk menjejeri cowok itu.
Bisa-bisanya Wingki meninggalkan aku di belakang. Padahal tadi pagi aku yang duluan menjemput dia di rumahnya. Semalam, Wingki mengabariku kalo dia mau berangkat sekolah bersamaku dengan naik sepeda.
Aku emang sudah terbiasa pulang pergi dengan sepeda, makanya kuingatkan Wingki kalo dia harus stay dijam enam lima belas kalo mau sampai sekolah tepat waktu. Saat aku tiba di rumahnya, Wingki baru saja bangun tidur. Aku sudah dongkol sejak itu.
Dia tetap saja membela, katanya berangkat setengah tujuh enggak papa. Emang sih jarak sekolah dan rumah kami lumayan dekat. Tapi jangan disamakan durasinya dengan naik motor, bisa tiga kali lipat kalo naik sepeda.
"Gara-gara lo ini," teriakku bersungut-sungut. Tepat banget, jam pertama itu pelajaran PPKn, gurunya nggak galak sih, tapi benci banget kalo ada muridnya terlambat. Enggak dimarahin juga, tapi bakal dicatat dimasukkan jurnal.
"Cepetan Na, gerbang bentar lagi tutup."
Begitu sampai di depan pintu gerbang, aku memilih berhenti. Mengatur deru nafasku, sementara Wingki sudah memarkirkan sepedanya di parkiran.
Menuntun sepedaku melewati pintu gerbang, langkahku dihadang dua cowok berseragam dengan bet warna hijau, artinya mereka siswa kelas satu.
Setiap pagi di depan pintu gerbang emang selalu ada yang namanya penertiban. Petugas Osis ini yang bakalan ngecek atribut sekolah.
"Ngapain sih, gue udah lengkap nih," kataku sebal sambil memperlihatkan dasi dan bet kelasku. "Gue buru-buru," kataku lagi.
"Tolong lipstiknya dihapus Kak," ujar cowok bertopi yang tingginya sejajar denganku. Jelas aku mendelik mendapat suruhan itu.
"Lipstik apaan? Gue nggak pake lipstik." protesku. Aku nggak pernah memakai lipstik ataupun liptint kaya yang cewek- cewek pakai disini. Enak saja menuduhku kayak cewek-cewek penggila make up itu.
"Cepetan hapus aja Kak, biar cepet masuk kelas," ucap cowok satunya.
Kekesalanku kayaknya udah berada di puncak ubun-ubun. Ini masih pagi tapi ada saja yang bikin aku mau marah.
Aku merebut tisu yang diulurkan ke aku.
Buru-buru menghapus bibirku, lalu menunjukkan tisu bekas bibirku ke dua cowok di depanku. "Tuh...lihat...bisa lihatkan, gak ada bekas...gue gak pake lipstik, dibilangin juga. Ini bibir gue merah begini udah dari orok, gawan bayi... ngerti gawan bayi gak kalian?" Kataku mencak-mencak.
"Ada apa ini? Kok ribut-ribut?" Seorang guru laki laki muda mendatangi kami. Aku tambah jengkel kalo masalah ginian tambah panjang.
"Saya kan nggak pake lipstik Pak, masa dituduh saya pake. Kan nggak semuanya cewek pake lipstik," ujarku.
Pak Ari menatapku, lebih tepatnya melihat ke bibirku. Kayak memastikan kalo ucapanku beneran. Dia guru Bahasa Jawa, sekaligus menjadi guru pembimbing OSIS, makanya dia ada disini. Pernah mengajar kelasku waktu kelas satu. Mungkin dia nggak ingat kalo aku murid yang pernah diajarnya dulu. Kan murid disini banyak, ratusan, bahkan sampai ribuan.
"Yaudah cepetan masuk," Perintah Pak Ari yang langsung kutaati. Beda dong, Pak Ari sama bocil. Laki-laki pengalaman emang lebih tau mana warna bibir asli dan warna bibir polesan. Apalagi Pak Ari punya gelar 'Hot Daddy', pasti khatam sama yang begituan.
Aku langsung ngacir meninggalkan dua cowok yang pasang muka pias, lalu segera memarkirkan sepedaku. Enggak sekali dua kali aku dibeginikan. Dikira memakai lipstik warna merah padahal bibirku enggak aku apa-apakan. Aku cuma memakai lipbalm karena bibirku gampang kering. Banyak yang nggak percaya kalo warna bibirku asli.
Emang sih kebanyakan cewek warna bibirnya merah muda, lain sama aku yang malah merah merekah.
Wingki beneran udah nggak kelihatan saat aku sampai di dalam sekolah. Cowok itu pasti sudah tiba di kelas barengan sama guru PPKn. Udah pasti namaku tercatat dalam jurnal terlambat.
"Aww," pekikku setelah pantatku mendarat keras di lantai anak tangga. Udah jatuh tertimpa tangga aku pagi ini, apes banget. Gimana bisa, kakiku menginjak ujung rok hitam yang kupakai. Perasaan kemarin aku udah memotong rokku lima jari di atas mata kaki. Sudah pendek banget tapi masih ngribetin orang jalan.
"Sakit?" Tiba-tiba saja ada orang bertanya. Suaranya cowok, serak-serak basah gitu.
"Sakit banget ya ampun, ngalahin ditinggal nikah mantan," Bisa-bisanya aku menjawab begitu tanpa melihat orang yang bertanya tadi di belakangku.
"Kasihan banget sampe ditinggal nikah,"
Mataku membulat menyaksikan sosok yang bersuara tadi kini sudah berpindah di depanku. Mampus, aku malu seperempat mati. Kukira dia murid sini, tapi perkiraanku melenceng sembilan puluh derajat membentuk sudut siku-siku. Tersudutkan.
Ketergesaanku untuk tiba di kelas lebih cepat, hilang sudah tergantikan dengan tubuhku yang menegang panas dingin susah buat gerak. Beneran aku malu banget, buat benerin rokku yang tersingkap saja aku nggak bisa, apalagi lari, jadi aku cuma bisa menundukkan kepala sambil memejamkan mata.
"Sakit banget ya sampe merem gitu?" Kali ini suaranya terdengar dekat di telingaku. Aku langsung membuka mata karena terfikir yang enggak-enggak, dan mendapati laki-laki yang kukira murid tadi, berjongkok di depanku.
Aku langsung bangkit, karena bahaya kalo terus-terusan begini. Bahaya kalo aku lebih lama terlambat.
"Enggak papa Pak, saya baik-baik saja. Permisi," Aku menganggukkan kepala menunjukkan sikap hormat, lalu berlalu. Biar saja aku dicap sebagai murid enggak sopan karena mendahului guru.
Enggak etis banget jatuh di tangga terus ketauan guru. Apalagi gurunya muda dan aku nggak pernah lihat dia sebelumnya. Ganteng lagi, punya kumis, punya jambang tipis, Ya Tuhan. Sadarkan aku buat nggak menghayal di waktu yang salah ini.
###
Siang-siang begini, biasanya Wingki akan mengajakku makan pop mi di kantin. Menyaksikan ciwi-ciwi boga lagi berhamburan menuruni tangga buat menikmati waktu istirahat. Itu hobinya Wingki, kalo aku bakal muas-muasin main medsos pake WiFi aula sekolah.
Lumayan hemat paket data. Aku lumayan pelit sih kalo masalah kuota. Agak nggak rela kalo buang uangku cuma buat beli kuota. Lebih baik kusimpan kubelikan yang lain.
"Na, sorry ya. Gue pulang duluan. Males gue, masuk kelasnya Bu Anik sama Bu Ninik, " Itu yang diucapkan Wingki tadi sebelum ngacir sama Andhika. Nggak mereka berdua saja yang milih kabur tiga puluh menit sebelum pelajaran Bu Anik. Sebagian temanku cowok, yang emang sudah terkenal sering bolos juga ikutan.
Benar sih, emang malas banget rasanya kalo harus mengikuti pelajaran matematika dan fisika, dijam-jam kayak gini. Hawanya tuh panas, lelah, laper, ngantuk bikin pengen tidur saja. Belum lagi ditambah sama rumus-rumus x dan y yang nggak habis-habis. Aku benci banget sama pelajaran yang mengandung rumus-rumus. Rumusnya sih bisa dengan mudah aku hafalin, tapi penerapannya itu bikin pusing tujuh keliling.
"Oh iya Na, jangan lupa kumpulin berkas kemarin di TU, " Itu pesan Andhika sebelum kabur dari kelas. Peluang kabur di jam usai praktek kejuruan emang besar banget. Satpam nggak akan curiga kalo keluar pintu gerbang dengan memakai seragam produktif.
"Kunci lemari mana ya?" tanyaku pada Rendi, si cowok penunggu kursi pojok kelas.
Rendi mengalihkan pandangannya dari game masak-masak lalu menatapku yang lagi mencuri pandang ke layar handphone-nya.
"Ya ampun, lo main cooking Mama?" tanyaku lalu terbahak. Heran sih, padahal temannya yang lain pada bergerombol membentuk kubu sana sini buat mabar PUBG sama ML.
"Ngapain sih lo kepo banget," balas Rendi nggak suka.
"Kunci lemari mana?" ulangku.
"Disitu nggak ada?" tanyanya balik.
"Ye...kalo ada, gue nggak tanya sama lo. Kan lo yang setia duduk disini, jagain pojokan, sama harta karun di lemari."
Rendi merenung sejenak, memikirkan sesuatu, lalu merogoh saku celananya. "Ada sama gue ternyata, hehehe," katanya sambil nyengir.
"Setau gue sih, setan sekolahan seneng banget nongkrong di pojokan kelas. Apalagi Mbak Kunti, dia kan paling seneng menyendiri gitu...." kataku lirih tepat di telinga Rendi sebelum bergegas pergi usai mengambil setumpuk berkas.
"Gue nggak takut Anna Frozen....." teriak Rendi kencang, membuatku terkikik.
Kalo waktu istirahat siang gini, kursi-kursi yang diletakkan di sepanjang koridor lantai bawah selalu ramai jadi tongkrongan para cowok jurusan teknik. Karena emang gedung ini wilayah anak teknik. Beda lagi sama kursi di gedung dalam yang pasti penuh sama para cowok jurusan las, gambar bangunan, perkayuan, dan jurusan yang lain.
Emang enak banget kalo nongkrong sambil bercanda dan angin sepoi-sepoi bakal menyapu wajah membawa kesejukan. Kalo satu kursi panjang cuma diisi satu orang, bisa banget buat rebahan.
"Anna..."
Ada yang manggil tapi nggak kelihatan orangnya yang mana. Karena disepanjang koridor banyak banget cowok yang pasang mata ke arahku yang lagi berjalan mau ke TU. Serasa jadi maskot di pawai agustusan jadinya.
"Anna," Satu panggilan lagi. Memutuskan aku buat berhenti dan menatap satu persatu deretan cowok itu. Lambaian tangan terulur dari satu cowok yang duduk nyempil diantara cowok yang aku nggak kenal.
"Riko....ngapain lo disitu? Gue kira ikutan kabur sama Andhika" kataku dari tempatku berdiri. Membuat sebagian cowok yang awalnya nggak melirikku jadi ikutan melihatku. Aku tersenyum kikuk. Agak malu juga kalo dilihatin begini. Padahal hampir tiga tahun aku hidup berdampingan sama cowok-cowok.
"Enggak, gue kan murid teladan. Mau kemana?" tanya Riko dari tempat duduknya.
"TU," jawabku singkat.
"Yaudah terusin aja,"
Aku langsung meneruskan langkah. Telingaku sempat menangkap suara-suara dari cowok di sebelah Riko, meminta Riko untuk memberi nomer WhatsApp-ku ke dia. Awas saja kalo aku membuka WhatsApp nanti, bakal banyak pesan masuk dari nomer nggak dikenal, bakal ku save satu-satu. Lumayan buat menambah kontak.
"Aduh," erangku lumayan keras, membuat Mbak TU yang nggak aku tau namanya melirikku dari atas mejanya. Untuk yang kedua kalinya pantatku menyentuh lantai, dan ini lebih sakit dari yang tadi.
"Hati-hati dong dek, makanya jangan bengong di depan pintu," kata Mbak TU dengan sedikit sarkas. Menumbuhkan omelan di hatiku menyalahkan sosok dibelakang pintu yang membuatku jadi tersungkur begini.
Aku baru saja masuk dan berdiri di depan pintu, karena mataku mencari dimana meja yang harus aku tuju untuk mengumpulkan berkas. Tiba-tiba saja ada dorongan dari luar pintu, kencang banget, sampai aku terdorong dan tersungkur. Sial banget aku hari ini.
"Aduh, maaf ya Dek." kata sosok yang membuatku jatuh begini. Aku nggak menjawab, sibuk merapikan kertas-kertas yang berserakan. Nggak mau diinjak karyawan yang lewat, dan nggak mau diomelin lagi Mbak TU yang judes itu. Hatiku jelas dongkol sama orang ini.
"Loh, Mas Dinar udah nyampe?" Pertanyaan Mbak TU yang nadanya melengking berdengung di telingaku. Membuatku melepaskan pandangan dari kertas dan beralih ke sosok yang disebut 'Mas Dinar', yang masih berdiri di depanku.
Cuma laki-laki sebenarnya, pasti juga karyawan TU. Tapi dia nggak biasa, karena tadi pagi aku sudah bertemu dia di tangga depan kelas. Menyaksikan aku jatuh, dan juga membalas celetukanku tentang ditinggal nikah mantan.
Aduh, bakal malu lagi atau kesal aja akunya? Kan ini salah dia. Harusnya aku minta pertanggungjawaban sama kertas-kertasku yang berserakan.
"Ada keperluan apa kamu dek?" tanya Mbak TU karena aku nggak juga bergeming dari tempatku.
"Mau ngumpulin berkas yang buat ujian," jawabku sambil membuang pandang, menjatuhkan tatapanku ke TV yang menempel di dinding. Laki-laki ini kayaknya menatap aku. Tampak dari ekor mataku, dia menyunggingkan senyum.
"Kelas tiga ya? Kumpulinnya ke Mas Dinar,"
Aku mengangguk, lalu mengikuti Mas Dinar yang menyuruhku untuk ikut ke ruangannya. Jadi, dia beneran karyawan TU, bukan guru kayak yang kukira tadi pagi.
"Jurusan apa?" tanyanya setelah dia duduk di kursi tempat kerjanya. Aku berdiri di depan meja, pengen duduk tapi nggak ada kursi.
"TKR 2."
Mas Dinar mungkin nggak ingat kalo yang jatuh di tangga tadi pagi itu aku.
"Gimana?" tanyanya lagi.
Aku melotot, nggak faham sama pertanyaannya. Gimana apanya. Kan nggak logis.
"Apanya yang gimana?" tanyaku balik.
Mas Dinar tersenyum, menampakkan deretan giginya yang putih dan kecil-kecil. Senyumannya maut banget. Aku yakin cewek diluaran sana bakal terkintil-kintil sama senyumannya itu.
"Masih sakit ditinggal nikah mantan?" tanyanya sambil menyodorkan kertas ke aku.
Tanganku berhenti sambil memegangi kertas yang disodorkan, terkejut. Dia nggak lupa kalo aku yang menyeletuk kalimat nggak lucu itu tadi pagi.
Aku tersenyum kikuk. Malu.
"Tulis kelas dan jurusan, jangan lupa sama tanda tangan," kata Mas Dinar menghentikan aksi kikukku.
Aku mulai mengisi data kelengkapan berkas. Mengangkat kepalaku saat Mas Dinar mengeja nama di bet dada, "A double N, A. A double Y A, double S Andra." Matanya menyipit, lalu menatapku dengan tatapan bingung.
"Anna Ayyassandra," ujarku membenarkan namaku yang baru dibacanya dengan aneh.
"Kenapa hurufnya double semua?"
"Mana saya tau Mas, yang ngasih nama kan bapak saya waktu saya masih bayi abang," terangku.
Mas Dinar meloloskan tawanya. "Kamu ketua kelas?"
"Enggak. Ketua kelasnya absen, jadi saya yang wakilin,"
"Kamu wakil?"
"Enggak. Saya nggak punya pangkat apa-apa di kelas," jawabku lengkap sebelum dia bertanya aku sekretaris atau bukan.
"Berkasnya udah lengkap?" tanyanya sambil meminta berkas di dekapan tanganku.
"Udah,"
Seharusnya sih begitu. Pengumuman TU buat mengumpulkan berkas sudah beberapa hari yang lalu. Dan berkas kelasku masih dikumpulkan sekarang. Ini karena cowok-cowok kelasku yang bandelnya nggak ketulungan.
"Kenapa masih dikumpulin sekarang?"
Pertanyaan itu akhirnya ku dapat.
Aku menghela nafas, seolah-olah lelah menghadapi bandelnya anak-anak kelas.
"Cowok di kelas saya bandel semua Mas, lupa terus disuruh bawa fotocopy an KK sama Akta, padahal kerjaan mereka kan cuma nge-game sama tidur," keluhku jujur. Kalo aku nggak membantu Andhika gembor-gembor mengingatkan anak-anak setiap pulang sekolah, pasti berkasnya belum bisa kukumpulkan sekarang.
"Kamu pake lipstik?" Mas Dinar malah nggak menanggapi keluh kesahku, dan malah bertanya hal lain. Refleks aku menutup bibirku.
"Enggak,"
"Jangan ditutupin mau lihat," katanya. Jantungku langsung berdebar keras banget, ada rasa aneh gitu, tapi nggak tau rasa apa. Kurang ajar nggak sih, kalo Mas Dinar mengatakan kayak gitu. Lumayan risih sih aku. Dia kan baru saja tau namaku, tapi sudah berani ngomongin lipstik. Bukan tuduhannya tentang memakai lipstik, tapi keberaniannya membahas bagian tubuh yang termasuk sensitif. Kalo ngomongin ini sama sesama cewek sih nggak papa, kalo sama Mas Dinar kan malu, apalagi dia bukan cowok sepantaranku.
"Banyak yang bilang kalo saya pake lipstik, tapi ini beneran warna bibir asli saya. Suer, " terangku dengan mengangkat dua jari membentuk V.
Aturan nggak boleh memakai lipstik di sekolah emang yang paling banyak dilanggar. Hanya bagi cewek-cewek sebenarnya, yang padahal jumlah cewek disini hanya berapa persen dari jumlah cowok. Tapi tetap saja, aturan itu yang paling keras diberlakukan khusus bagi cewek.
Mas Dinar tersenyum lagi. Aku semakin nggak tau, dan bingung sama tingkahnya.
"Warnanya bagus," ujarnya lagi.
Jadi dia nggak percaya kalo aku beneran nggak pake lipstik. Boleh kubuktikan disini nggak sih. Tisu mana tisu?

Komento sa Aklat (536)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    FaqihahMazlan

    best gila

    1d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata