logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Hujan Sakit

Gumpalan-gumpalan air jatuh dari langit membasahi desa Bange. Kerumunan anak-anak sedang bermain-main di bawahnya. Keceriaan tak terhingga terpancar dari sudut pipi anak-anak masa depan itu. Mereka bak anak-anak yang hidup dalam istana raja, tak pernah sedih, hanya kebahagiaan yang berani menghampiri masa kecil mereka. 
Masa anak-anak memang merupakan masa paling indah dalam kehidupan. Masa itu adalah suatu putaran waktu dimana manusia akan merasakan pengalaman yang paling berkesan. Tidak ada sedikitpun beban pikiran. Tidak ada tanggung jawab yang harus diemban. Tidak ada kewajiban yang harus dilaksanakan. Sungguh indah pada periode yang takkan pernah terlupakan itu. Masa itu tidak bisa tuk diulang, tidak bisa tuk diulur. Semua orang kelak hanya mampu bercerita tentang pengalaman masa-masa terindah itu. 
“Aku pergi duluan ya teman-teman” ungkap Dayat kepada teman-teman sepermainannya yang masih asyik bermain di bawah hujan.
“Kamu mau pergi kemana ?” tanya salah satu dari mereka.
“Aku mau pulang dulu. Aku takut dicari ayah”
“Kamu tidak boleh pulang. Kita harus pulang sama-sama nanti”
“Aku sudah kedinginan. Aku takut sakit”
“Kamu cemen. Baru main begini saja sudah kedinginan. Pokoknya kamu tidak boleh pulang. Kalau kamu pulang, besok kami tidak mau lagi berteman sama kamu”
“Esok kami tidak mau lagi berteman sama kamu” sebuah kalimat yang memaksa Dayat tuk tetap bertahan di bawah derasnya hujan sore hari itu. Sekujur tubuhnya menggigil. Kedua bibir atas dan bawahnya sudah seperti daging ayam yang dimasukkan di dalam lemari es. Rambutnya bak ijuk hitam yang digerus hujan sepanjang tahun. Semua itu tidak ia pedulikan lagi. Ia tidak mau kehilangan teman. Dayat akhirnya melanjutkan bermain di bawah air langit yang mengguyur bumi itu.
***
Perempuan yang sedang berjalan di bawah payung itu tampak seperti seekor induk ayam yang sedang kehilangan anaknya. Matanya tidak berhenti menatap satu persatu kerumunan anak-anak yang sedang berada di lapangan desa itu. Di depannya tampak beberapa anak-anak yang sedang berkejar-kejaran, bermain bola, dan bermain becek-becekan.
“Dayat….” ujar perempuan itu dengan suara yang beradu dengan kerasnya suara hujan. 
Dayat tak sedikitpun menoleh. Barangkali ia tidak mendengar suara perempuan itu. Ia masih saja bermain bola dengan teman-teman sebayanya di tengah lapangan hijau yang sudah mulai berubah menjadi kubangan itu.
“Dayat” sekali lagi Aminah memanggil anaknya.
“Iya Mak, Dayat di sini” jawab Dayat setelah mendengar panggilan emaknya.
“Ayo Nak, pulang. Ayah memanggilmu”
“Iya Mak. Dayat akan datang”
Dayat kembali minta izin kepada teman-temannya. Walau berat hati, teman-temannya itu terpaksa membolehkannya pulang. Pun seandainya teman-temannya itu tidak membolehkannya pulang, ia akan akan tetap pulang juga. Ia pasti lebih menuruti panggilan emaknya dari pada kehendak anak-anak yang semena-mena itu. 
***
Aminah menutup payung. Diletakkannya payung berwarna hijau itu di depan rumah. “Ayo masuk” ujar perempuan itu kepada anaknya. Dayat ragu untuk masuk ke dalam rumah. Ia takut ayahnya yang penyayang itu akan berubah jadi monster menakutkan jika tahu ia bermain hujan. Jelas ia akan takut, karena beberapa hari yang lalu ayahnya mengatakan jika hujan turun, jangan bermain-main di bawahnya. Ia lupa akan nasehat ayahnya itu ketika teman-temannya jalangnya merasuki pikirannya agar mau bermain hujan. “Ayo masuk, ayah tidak marah kok” sekali lagi Aminah menyuruh Dayat untuk masuk ke dalam rumah. 
 “Dayat dari mana ?” tanya Hasan ketika melihat putranya sudah di dalam rumah.
“Dari halaman Yah. Tadi diajak teman-teman, Dayat tidak bisa menolak” 
“Dayat sudah lupa nasehat ayah beberapa hari yang lalu. 
“Tidak yah, tapi…”
“Ya sudah, untuk hari ini ayah maafkan, tapi tidak untuk berikutnya. Lain kali jangan mau diajak mereka lagi”
“Iya Yah”
“Minta baju sama emak agar tidak kedinginan”
***
Beberapa hari ini Dayat terbujur sakit. Setelah bermain di bawah hujan kemarin, suhu tubuhnya panas dingin. Wajahnya pucat. Makan tidak enak. Tidur tidak nyenyak. Orangtuanya sudah berusaha membeli makanan yang enak-enak agar ia mau makan namun tetap saja ia tidak bernafsu untuk menikmatinya. Nasi terasa pahit. Buah terasa pahit. Minum terasa pahit. Semua terasa pahit.
“Cepat sembuh ya sayang, sebentar lagi kamu akan masuk SD” ucap Hasan sembari memberi semangat untuk putra sulungnya yang sedang terbujur kaku di ranjang lusuh itu.
Dayat hanya bisa membalas ucapan lelaki itu dengan pandangan kasih sayang penuh iba. Pandangan sayu ia jatuhkan tepat di pupil kedua bola mata ayahnya. Hasan terharu bercampur sedih ketika menyambut pandangan anaknya itu. Mata Hasan sudah berkaca-kaca. Ingin sekali ia mengalirkan air mata yang sudah berusaha ia bendung sekuat tenaga dari tadi. Tidak. Ia tidak mau terlihat cengeng di depan anaknya yang sedang sakit itu. Ia harus tegar agar si jantung hatinya itu bisa tegar. Ia tidak mau memperlihatkan rasa putus asa di depan Dayat. Ia ingin, kelak jagoannya itu mampu menjadi manusia yang tangguh.
“Dayat, sayang. Nanti kalau sudah sembuh emak akan bawa Dayat ke pasar lagi ya”
Dayat hanya bisa menganggukkan kepala membalas ucapan perempuan yang paling ia cintai itu. 
Berbeda dengan Hasan yang mampu membendung luapan air matanya, Aminah justru sebaliknya, ia menumpahkan air mata yang tak mampu lagi ia bendung ketika melihat buah hatinya itu tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Ia menangis. Di peluknya Dayat. Diciumnya kening putra sulungnya itu. Dibelainya rambut hitam anak kebanggaannya yang sedang terbaring lemah itu.
Aminah tak mampu menyembunyikan naluri perempuannya. Perasaannya sebagai seorang perempuan sangatlah peka dan perasa. Mudah tersentuh. Mudah merasa sedih. Mudah merasa iba. Itulah sifat yang melekat pada diri seorang perempuan. 
Dayat pun menitikkan air mata ketika memandang wajah emaknya. Perasaan yang sedang dirasakan emaknya itu ia rasakan dalam getaran nafasnya. Ia berdoa dalam hati agar emaknya diberikan kekuatan oleh tuhan. Hati kecilnya berkata, suatu saat kelak ia akan membahagiakan kedua orangtuanya. Dayat coba membuka mulutnya meski terasa sangat keluh. Ia coba tuk membalas ucapan kedua orangtuanya itu meski dengan suara terbata-bata.
“Mak, Yah, Dayat tidak kenapa-napa. Emak jangan menangis”
“Iya sayang. Emak cuma sedih saja melihatmu terbujur kaku di ranjang ini”
“Besok Dayat pasti akan sehat. Emak jangan khawatir lagi”
Kata-kata yang keluar dari lidah putra sulungnya itu sedikit memberi kedamaian hati bagi Aminah. Walaupun Dayat hanya mampu berucap beberapa penggal kata saja, namun itu sudah cukup pertanda bagi Aminah bahwa anaknya itu akan segera sembuh.
***
Anak itu bukan lagi seorang manusia pesimis seperti beberapa hari yang lalu. Hanya bisa berbaring di ranjang. Tak punya tenaga. Tak punya asa dan rasa. Sekarang ia tampak gagah. Beridiri dengan tegar. Melangkah bebas. Memandang dunia dengan optimis. Ia tidak kenal lagi kata pesimis, tangis, teriris. Ia kembali berjalan dengan ikhlas menjejaki setiap jengkal tanah yang dibentangkan tuhan.
Hari ini Dayat berangkat ke sawah dengan semangat menggebu. Hari ini merupakan pertama kalinya ia ke sawah setelah kemarin jatuh sakit. Ia berjalan di samping emaknya yang sedang menyandang aronduk . Sembari berjalan, sesekali Aminah memberi petuah kepada putra sulungnya itu agar menjadi anak yang baik. Ia tidak akan pernah jenuh untuk mengalirkan kata-kata mutiara dari lisan lemahnya. Kapanpun. Dimanapun. Bagaimanapun. Baginya, Dayat merupakan seorang pangeran kecil yang harus selalu dituntun agar suatu saat bisa menjadi sumber inspirasi bagi orang banyak.
Bersambung.....

Komento sa Aklat (65)

  • avatar
    Ardnsyhh Mrf

    begitu lah perjuangan seorang ibu yang selalu nyiapin apa saja untuk keluarganya

    09/08/2022

      0
  • avatar
    Rava Arrafi Setiawan

    Saya tidak mencapai apa-apa hari ini. Tidak ada satu hal pun yang produktif. Tapi aku bergaul denganmu, jadi, ya, hari ini bagus.🎉aku mau diamond ff geratis ff max

    8h

      0
  • avatar
    tasnimputeri

    👍👍

    4d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata