logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Dia Bukan Sekadar Boss Bagiku

Dia Bukan Sekadar Boss Bagiku

Pundalisa


Kembalinya Sang Pangeran

Tak kusangka, sekarang sudah pukul sebelas malam. Sedangkan tubuhku masih saja berada di kantor. Maka segera kukirimkan semua laporan yang selesai kukerjakan ke Pak Toha. Jadi, besok aku sudah siap dengan bos baru — anaknya. Kurapikan semua barang di atas meja, menyiapkan tas, lalu bersiap agar bisa cepat pulang.
Aku pun teringat tentang kabar kedatangannya. Mungkin saat ini, dia sudah ada di rumah. Bibi Endah bilang kalau pesawat Pak Imran akan mendarat pukul delapan. Pasti beberapa jam yang lalu, beliau sudah tertidur.
Kumatikan semua lampu sebelum pergi keluar kantor, lalu segera menuju Lift. Meski semua karyawan sudah pulang, aku tidak merasa takut. Karena petugas keamanan di sini semuanya bersikap baik.
"Hati-hati di jalan ya, Bu Zahra!" Pak Ari menyapaku ketika bertemu di pintu utama gedung. Senyumannya begitu ramah kurasakan.
“Terima kasih, ya Pak Ari. Saya pulang duluan ya,” kataku seraya menjalankan mobilku.
###
Sepanjang perjalan pulang, aku masih mengingat kata-kata Bi Endah di kantor tadi.
"Pak Imran pulangnya besok," kata Bibi Endah di depan meja kerjaku.
"Begitukah," kataku, tidak tahu kalimat apa yang harus kuucapkan.
Aku tidak peduli dengan apa pun yang akan mereka bicarakan. Karena ibuku adalah kepala pelayan keluarga Toha. Mereka mendidik dan membiarkanku tinggal di rumah, dengan gaji ibuku sebagai gantinya. Sekarang setelah lulus, aku bekerja di perusahaan mereka sebagai sekretaris Pak Jeri.
Sebenarnya, kalau dihitung sudah dua tahun aku bekerja di sana. Namun, awalnya hanya magang karena ketika itu aku masih tahun pertama kuliah. Saat itu aku bekerja secara part time, dan setelah lulus aku menjadi karyawan resmi dan bekerja secara full time.
"Eh, dia mau ngegantiin posisi Pak Jeri, loh. Lo harus bisa ngajarin dia dalam bisnis ini, karena lo adalah sekretaris Pak Jeri selama dua tahun!" ucap Bi Endah.
"Oke. Gak masalah Bi."
"Dia mulai masuk kantor hari Jumat. Nah, nanti hari Sabtu, lo ada acara gak? Shopping yuk bareng gue!"
"Boleh, lagian gue juga udah selesai laporan kok bulan ini." jawabku.
Aku dekat dengan Bibi Endah. Dia selalu memperlakukanku layaknya seorang adik. Walau sebenarnya, dia dan suaminya menganggapku sebagai anaknya sendiri. Karena memang mereka belum punya anak perempuan. Aku memanggilnya bibi.
"Woy, Zahra! Gak usah terlalu gila kerja lah. Lo juga butuh kehidupan sosial. Gadis seperti lo harus menghabiskan lebih banyak waktu malam di luar, jangan di kantor terus! Itulah sebabnya, lo gak punya pacar sampai sekarang."
“Hehe, Bibi bisa aja," ucapku dengan wajah malu-malu.
"Nanti si Imran datang, lo terpesona nanti, haha." komentar tawanya membuat pipiku merona.
Andai saja dia tahu. Ya, Andai saja dia tahu bahwa aku telah menyimpan rasa dan menunggunya datang selama bertahun-tahun.
###
Klakson mobil terdengar begitu keras, membuat pikiranku kembali ke masa sekarang. Sinyal lampu berhenti mati. Untungnya, suasana lalu lintas begitu sepi hari ini. Jadi, aku tidak tertabrak saat melamun tadi.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, akhirnya aku tiba di rumah keluarga Toha. Aku memarkir mobil di belakang Toyota Vios yang juga diparkir di garasi luas. Setelah itu aku pun turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah.
Lampu rumah tidak menyala, mungkin orang-orang sudah tertidur. Aku menjentikkan saklar di dekat kusen pintu lalu menyalakan lampu.
Betapa terkejutnya hatiku saat melihat sosok yang kukenal, berbaring di sofa ruang tamu.
"Imran?" Aku bertanya-bertanya. Jantungku yang tadi tenang mulai berdegup kencang.
Mumpung dia sedang tidur, aku menatapnya dan mencoba melihat perubahan yang ada di tubuhnya. Setelah 5 tahun kami berpisah, ternyata banyak yang berubah pada penampilan fisiknya.
Lengannya yang dulu cukup kurus, sekarang berotot. Perawakannya juga terlihat jelas. Wajahnya yang lembut kemudian terlihat nakal dan kasar. Bahkan dalam keadaan tidurnya, dia terlihat kejam namun lebih jantan.
"Jadi lo selalu pulang terlambat dari kantor, ya?"
Aku hampir melompat panik ketika tiba-tiba saja dia berbicara.
"Lo udah bangun?" Aku bertanya meskipun seharusnya tak perlu kubertanya. Dia bangkit dari berbaring lalu memberi isyarat agar aku duduk di sebelahnya. Aku pun patuh.
"Dasar jelek!" katanya saat aku duduk di sebelahnya. Senyum lebar terpampang di bibirku.
"Apa? Benarkah? Jadi gue terlihat jelek ya?" Aku merasa pipiku menjadi merah.
Tiba-tiba aku menjadi sadar. Mengapa tadi tidak terpikir untuk berdandan sebelum pulang?
"Cuma bercanda, woy!" Dia pun tertawa. Dulu suka main-main dan sekarang masih saja suka main-main. Seharusnya aku sadar dari dulu bahwa dia akan bermain dengan hatiku juga.
"Gue kangen tauk! Lo gak kangen ya sama gue?" dia menambahkan.
Aku tersenyum.
Empat tahun. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan selama kami tidak berkomunikasi.
Wajar jika saat ini aku canggung bertemu dengannya. Terlepas apa pun yang dia lakukan atau tidak dia lakukan selama 4 tahun ini. Yang jelas, aku memang merindukannya.
"Tidak," jawabku sebaliknya. "Seharusnya lo tinggal di sana sepuluh tahun, itu baru bisa buat aku rindu sama kamu. 4 tahun itu belum cukup!" jawabku.
"Gue udah tunggu lo udah lebih dari dua jam, sekarang lo bilang gak kangen? katanya sambil cemberut.
Oh, Imran. Please, jangan membuatku meleleh ....
Aku ingin bermanja padanya, ingin sekali berteriak. Namun tetap tak bisa, aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan.
"Haha cuma bercanda, kok. Tentu saja gue kangen! Bukannya lo yang mau ketemu?" Aku mengubah topik pembicaraan.
Wajahnya pun menyala. "Ayo pergi ke kamarku."
Aku kaget dengan apa yang dia katakan. Ini bukan pertama kalinya aku masuk ke kamarnya, tapi sudah hampir lima tahun lalu tidak masuk. Kalau sekarang, tidak baik jika ada yang melihat kami hanya berdua di dalam sana.
"Aduh, gue ngantuk nih!" Aku beralasan. "Besok-besok ajalah! Masih banyak hari lain."
Dia pun mengangguk. Lalu berkata, "Oke. Apa lo sudah makan?"
Aku pun menjawab, "sudah makan tadi di kantor. Lo juga sudah makan belom?" tanyaku balik.
Dia hanya menghela nafas. Entah kenapa dia tak mau menjawabku.
"Yaudah kalo sudah makan mah. Kalo gitu biar gue antar lo ke kamar ya!" katanya sebelum berdiri. Aku pun menurut.
"Good Night, Zahra. Gue kangen banget sama lo!. Ternyata lo sudah berubah jadi secantik ini." kata Imran ketika kami sampai di pintu kamarku. Di seberangnya adalah kamarnya.
"Gue juga kangen sama lo, Ran. Lo juga udah beda bangetz sekarang Six Pack!"
Tiba-tiba dia pun menarik lenganku.
Tanpa sadar, lengannya sudah melingkar pinggangku. Wajahnya terbenam di leherku, menjilatinya sebentar, lalu berkata,
"Gue kangen banget sama lo sumpah," bisiknya dengan suara tangis yang membela dahiku. "Lo pernah punya utang sama gue!"
Apa yang pernah aku lakukan? Utang apa aku padanya? 'Bukankah dia yang punya utang padaku!

Komento sa Aklat (250)

  • avatar
    DurahmanTurina

    Ceritanya bagus tapi gantung ada kelanjutan ceritanya kah?

    22/10

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice

    12/07/2023

      0
  • avatar
    Aditya

    seru ni🥰

    12/04/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata