logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 3 Selamat Datang di Batam

Kurang dari dua jam aku sudah tiba di bandara Hang Nadim, Batam. Pemandangan cukup indah aku lihat dari atas pesawat, ada jembatan yang cukup panjang dan pantai yang tersebar dimana-mana. Rasanya sudah tepat untuk memutuskan kembali ke sini, kota kelahiranku. Hampir delapan belas tahun aku hidup di ibukota, bertahan dengan beragam hiruk pikuk kehidupan dan keadaan yang semakin tidak membahagiakan untukku. Pilihannya memang ada dua, bertahan atau merantau!
“Bagaimana perjalanan kamu, Tet? Kesan pertama yang kamu dapat?” tanya Tante Puspa.
Keluarga besar dari mamaku, memang memanggilku, Butet. Karena waktu kecil aku gemuk sekali, dan waktu itu lagu Butet sedang naik daun.
“Panas, Tante. Tapi enak nggak ada macet!” jawabku tersenyum.
“Enak ‘kan? Kalau Jakarta pasti macet dimana-mana,” ucap Tante Puspa sambil menambahkan es batu ke gelas, lalu menyajikan untukku.
“Di minum, Tet. Haus banget kayaknya?” ledek Tante Puspa.
Aku pun langsung meraih gelas berisi sirup dingin berwarna hijau, segar sekali rasanya. Aku nyaris menghabiskan isi gelas itu, saking hausnya. Tante Puspa, adik kelima mamaku. Walau pun tidak terlalu akrab, saat Mama memberitahu kalau aku akan ke Batam. Tante Puspa senang sekali mendengarnya, dia sempat mengatakan mengapa aku baru memutuskan sekarang? Pada hal berita mengenai Batam sedang membuka lowongan kerja besar-besaran sudah tersebar kemana-mana, tapi aku tidak merasa terlambat untuk datang ke Batam. Semua memiliki rezeki masing-masing. Walau pun terlambat, aku berharap masih ada peluang untukku.
Setelah beristirahat sebentar, aku menarik koperku ke kamar Dinda. Karena Dinda sedang kuliah di Malang, jadi aku bisa menempati kamarnya. Ada seekor kucing sedang tidur didepan pintu kamar, duh … Tante Puspa memelihara kucing juga?
“Kamu kenapa?” tanya Tante Puspa bingung melihat aku gelisah.
“Ada kucing ….” jawabku sambil cemberut.
Tante Puspa tertawa, lalu dia mengangkat kucing jenis anggora berwarna putih yang sedang tertidur. Kucing itu kaget dan dia terbangun.
“Ini kucing kesayangan Dinda, namanya Cemol. Dia baik kok, lucu lagi. Nih, lihat ….” Tante Puspa mendekatkan kucing itu ke wajahku, seketika aku berteriak!
“Tante, aku nggak suka kucing. Aku geli!” teriakku sambil terduduk.
Tante Puspa tertawa, aku langsung buru-buru masuk kamar. Aku merinding setiap kali melihat kucing, entah kenapa? Tapi selalu begitu!
“Aku boleh pinjam telepon, Tante? Aku mau telepon Mas Angga,” tanyaku sambil mengeluarkan sebuah kertas dari Tante Ida.
“Pakai saja Tet, nggak usah izin. Tante juga ada kenalan yang mau menawarkan pekerjaan jika kamu mau,” jawab Tante Puspa sambil membelai Cemol.
Aku kembali merinding. Aku tutup wajahku, andai kucing itu tidak ada di rumah ini!
“Hallo, assalamu’alaikum,” sapaku ramah. Aku mendengar suara perempuan diujung telepon.
“Waalaikumsalam, siapa ya?” tanya seorang perempuan bersuara lembut.
“Saya Kayla, Tante. Saya menghubungi nomor ini, karena ada titipan dari Tante Ida,” jelasku.
“Tante Ida? Tante Ida mana ya?” tanyanya lagi.
“Tante Ida, Jakarta, Tante. Ada titipan untuk Om Angga, pesan dari Tante Ida minta tolong diambil secepatnya. Soalnya isinya otak-otak bandeng, atau kalau boleh saya ke tempat, Tante?” ucapku menawarkan diri untuk mengantar titipan ini.
“Om Angga, sedang di Pekan Baru. Nanti sore saya ambil ya, tolong sebutkan alamatnya,” pinta perempuan bersuara lembut itu. Karena aku belum paham alamat lengkap rumah Tante Puspa, aku minta Tante Puspa untuk menjelaskan ke perempuan itu.
Menjelang jam empat sore, aku lihat ada sebuah mobil sedan berwarna merah parkir di depan rumah Tante Puspa. Sore ini kebetulan tidak jauh dari rumah Tante Puspa ada acara keluarga, sehingga banyak sekali kendaraan roda empat yang parkir di jalan. Om Dedi mencoba membantu memarkirkan mobil itu, aku melihat ada seorang perempuan yang tengah hamil besar keluar dari mobil.
“Tet, ada tamu” ujar Om Dedi.
Aku sudah bisa menebak siapa gerangan perempuan ini, aku pun menyambutnya dengan ramah.
“Saya Kayla, Tante. Yang tadi telepon,” ucapku memperkenalkan diri.
“Bunga,” jawabnya pelan.
Senyumnya terkesan terpaksa.
“Sudah berapa bulan, Mbak? Saya Puspa, tantenya Kayla” tanya Tante Puspa basa-basi.
“Sudah masuk delapan bulan, mungkin bulan depan melahirkan,” jawab Bunga lalu duduk di hadapanku.
Aku bingung … Tante Ida atau pun Evy memang tidak memberitahuku kalau Mas Angga itu sudah beristri. Apalagi tengah hamil besar, aku jadi merasa bersalah karena meminta dia datang mengambil titipan Tante Ida. Entah kenapa aku jadi tidak nyaman, apalagi aku melihat wajah penuh curiga.
“Kenal Mas Angga di mana? Saya istrinya, Mas Angga titip salam untuk Tante Ida,” ujar Bunga basa-basi.
“Saya tidak kenal Mas Angga, Tante. Saya hanya dititipkan, kebetulan saya ke Batam. Jadi sekalian, saya teman Tante Ida dan anaknya, Evy,” jawabku hati-hati. Aku teringat ucapan Tante Ida yang mengatakan kalau Mas Angga adalah calon mantunya, tapi tidak jadi! Bunga semakin tajam menatapku, setelah aku menyebut nama, Evy.
Aku menatap Tante Puspa, aku tahu Tante Puspa ikut merasakan apa yang kurasakan.
“Diambil dong, titipannya. Takutnya Mbak Bunga nggak bisa lama-lama,” ujar Tante Puspa.
“Mau minum apa, Mbak? Sampe lupa nawarin minum,” ucap Tante Puspa mencoba tersenyum untuk mencairkan suasana.
“Nggak usah repot-repot, Kak. Kami nggak lama, sopir saya sudah nunggu. Soalnya mau ke rumah sakit.” Bunga menolak dengan halus.
Mobil yang terparkir di depan rumah memang dalam kondisi hidup, sang sopir diajak masuk tidak mau. Katanya menunggu di mobil saja, artinya memang mereka buru-buru.
“Ini ya Tante, mohon diterima,” ucapku.
Titipan seukuran box sepatu itu pun berpindah tangan.
“Terima kasih ya, tolong sampaikan salam kami ke Tante Ida. Minggu depan main saja ke rumah, insya Allah Mas Angga sudah kembali. Oh iya, alamatnya Komplek Bougenville I No.7,” jawab Bunga, kali ini suaranya sudah melunak. Suaranya sudah kembali lembut seperti awal pertama aku berbicara ditelepon.
“Iya Tante, terima kasih. Insya Allah nanti saya ke sana,” jawabku sambil tersenyum.
Tante Puspa mengulurkan tangan, membantu Bunga berdiri. Tadinya aku pun ingin membantu, entah kenapa aku urungkan. Posisi Tante Puspa memang lebih dekat ke Bunga, sedangkan aku terhalang oleh meja dihadapanku.
“Selamat datang di Batam ya, semoga betah,” ujar Bunga lalu masuk ke dalam mobil merah yang sudah menunggunya.
Bunga melambaikan tangan dan dia pun berlalu, Tante Puspa memelukku.
“Baik kok orangnya, semoga dia nggak salah paham ke kamu, ya Tet … Inget loh, Mas Angga yang kamu ceritakan itu sudah beristri. Kamu harus bisa menempatkan diri kamu, tadi saja dia sempat cemburu dengan kamu. Apalagi saat kamu menyebut nama, Evy. Evy itu siapa, Tet?” tanya Tante Puspa.
Akhirnya aku jelaskan ke Tante Puspa sebatas cerita yang aku ketahui, dari Tante Ida.
“Kok Tante merasa, ada keinginan terselubung dari Tante Ida, ya Tet? Jangan-jangan dia ingin anaknya kembali berhubungan dengan Mas Angga? Memangnya dia ganteng, ya? Kok kayaknya jadi rebutan,” sindir Tante Puspa.
“Butet sama sekali belum pernah bertemu atau pun tau wajahnya seperti apa? Hanya saja namanya memang sering disebut-sebut oleh Tante Ida, sepertinya Mas Angga sangat berjasa di kehidupan mereka, Tante,” jawabku.

Komento sa Aklat (423)

  • avatar
    AhmadUdin

    mantap

    2d

      0
  • avatar
    Desi Gusri Murni

    akhirnya bisa dapat aplikasi yg bisa menghasilkan diamond dan terimakasi kepada developer yang udah buat aplikasi ini dan aku juga syok ini aplikasi bisa menghasilkan diamond yang bagus

    5d

      0
  • avatar
    Mainii

    cerita sangat bagus 🥰🥰 bikin tersentuh hati

    15d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata