logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

7. Kampung Halaman

Kendaraan yang Namida tumpangi membawanya ke daerah yang sudah puluhan tahun tidak pernah dia sambangi. Sepanjang perjalanan, keindahan alam terpampang nyata dan memanjakan mata Namida yang selama ini hanya bisa melihat edung-gedung tinggi menjulan atau kerumunan manusia yang lalu lalang di tengah sibuknya kota. Belum lagi kepadatan yang disebabkan oleh kendaraan roda dua dan empat yang saling berebut di jalan raya.
Sekarang, matanya terasa segar menatap hamparan sawah yang menghijau. Sungai-sungai dengan aliran airnya yang deras dan jernih. Beberapa burung terlihat saling melayang di udara yang bebas.
Dada Namida kian berdetak lebih cepat ketika matanya menangkap tugu masuk desa yang berbunyi, "ANDA MEMASUKI DESA GALOGANDANG". Kenangan masa kecil sejenak seakan-akan hendak naik ke permukaan, begitu Namida melewati tugu tersebut.
Berada di lingkungan bukit barisan, Jorong Galogandang, Kanagarian Tiga Koto, Kecamatan Rambatan, kampung halaman Namida itu bisa dimasuki dari tiga jalan utama. Dari Padang Magek, Dari Turawan dan dari Batubasa. Kampung kecil yang sangat asri di mana penduduknya menekuni usaha di bidang pertanian dan pembuatan gerabah, sejenis usaha tradisional yang bahannya dari tanah liat yang dibakar.
Keluarga ibu Namida merupakan keturunan terpandang. Para Datuknya disegani bukan saja karena keilmuan mereka, tapi juga karena kekayaan yang telah diwarisi secara turun temurun. Bersawah dan berkebun luas. Rata-rata keluarga besarnya itu sarjana. Tidak terkecuali Nilam Suri yang merupakan seorang Bidan di kampung kecil tersebut.
Dari jendela mobil, Namida memandang rumah adat yang masih berdiri kokoh. Laksana raksasa yang menjulang angkuh, menatapnya sombong.
"Belum ada perubahan, ya, Bu? Terakhir SD dulu Nami pulang. Apa Rumah Gadang ini masih dihuni?" Melihat rupa Rumah Gadang yang terawat, Namida menyimpulkan kalau bangunan kebanggaan masyarakat Minang itu masih ditinggali.
Nilam Suri menggeleng lemah, "Sejak Nenek dan Kakekmu tiada, rumah ini dimasuki hanya sesekali. Itu pun untuk bersih-bersih. Maklum, lantainya sudah ada yang keropos. Namanya bangunan kayu, kalau tidak didiami malah semakin lapuk. Padahal banyak sekali kenangan di rumah ini." Sambil menekan handle pintu mobil, Nilam Suri mengajak Namida turun. "Apa kamu mau masuk ke dalam Rumah Gadang?"
Ragu sejenak menghampiri, namun dengan cepat dia menggeleng, "Tidak usah, Bu. Nami capek. Mungkin sebaiknya kita ke rumah Ibu saja. Lagian Nami juga mau buang air kecil."
"Ehemmm!"
Keduanya sontak menatap sumber deheman. Suryana menggaruk-garuk kepala, "Ada lagi yang bisa dibantu, Tek? kalau tidak, *ambo mau pulang saja. Penat-penat badan ini rasanya." Walau mulutnya berucap, matanya tidak lepas dari menatap Namida tajam. Hati perempuan muda itu berdesir tidak karuan begitu mata mereka bersirobok.
"Sudah, Surya. Kamu pulanglah. Nanti malam datang lagi. Etek ingin kamu membawa Nami ke pasar Batusangkar. Banyak yang mesti dia beli untuk keperluan sehari-hari."
Degup jantung Namida semakin kuat. Hatinya melambung tidak terkira. Berarti nanti malam dia akan pergi lagi dengan lelaki yang kini mencuri perhatiannya.
Suryana mengacungkan jempolnya. "Baik Tek, kalau begitu ambo pulang dulu. Nami, sampai ketemu nanti malam, ya? Dandan yang cantik." Sambil tersenyum manis, Suryana mengedipkan mata, Namida pun kian tersipu malu. Lelaki itu segera mengunci pintu mobil, memastikan kendaraan tersebut parkir dengan aman.
Nilam Suri menyikut lengan Namida lembut ketika akhirnya Suryana melangkah meninggalkan mereka. "Uda kamu tu, jongkek. Tak sadar dia kalau kamu ini adiknya." Nilam Suri mengomel sambil mengajak Namida berjalan menuju sebuah rumah permanen bertingkat dua yang berada di samping Rumah Gadang.
"Jongkek itu apa, Bu?"
Wajah Nilam Suri memerah, "Gatal. Hmm, apa ya? Sejenis sifat playboy."
Hmm, sudah kuduga. Aku sangat yakin kalau Uda Suryana itu banyak pacarnya. Namida membatin dalam hati.
"Tapi kamu tidak perlu khawatir. Dia pasti akan menjagamu dengan baik. Walau terkadang dia menyebalkan, sesungguhnya Udamu itu sangat perhatian dan baik hati."
Namida tersenyum simpul. Hatinya tidak bisa berdusta kalau dia mulai merasakan sensasi yang beda. Semacam rasa senang yang berlebihan. Berharap bisa bertemu secepatnya.
Apakah ini faktor kesepiannya karena sudah lama tidak mempunyai kekasih? Namida terkikik sendiri di dalam hati.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Suara Nilam Suri selaras dengan bunyi kunci diputar. Pintu menjeblak terbuka. Harumnya bau ruangan seketika merasuki lubang hidung. Kedua pipi Namida merona.
"Tidak, Bu. Gak kenapa-kenapa." Mulut boleh saja berdusta, namun rasa senang terbaca jelas di wajahnya, "Nami hanya sangat bahagia bisa bersama Ibu lagi."
Namida merangkul bahu Nilam Suri dan mencium pipinya lembut. Wanita setengah baya itu membalas rangkulan Namida, "Syukurlah kalau kamu senang. Ibu juga bahagia. Sekarang bawa kopermu ke kamar. Ibu sudah bersihkan kamarmu itu."
"Di lantai dua, Bu?"
Nilam Suri mengangguk. Kemudian beranjak menuju dapur. Sekilas tadi jam di dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia berencana membuat sedikit sayur untuk makan malam.
Semetara itu Namida sudah menghempaskan tubuhnya di kasur yang empuk. Ruangan yang harum dan kamar yang bersih membuat gadis itu betah berleha-leha di atas ranjang.
"Akh, aku belum telepon Bapak. Sebaiknya kukabari dulu kalau aku sudah sampai dengan selamat"
Di meja kecil, dekat lemari ada telpon rumah. Menekan beberapa nomor. Tidak lama kemudian line telepon tersambung. Hanya menghabiskan waktu lima menit bagi Namida berkomunikasi dengan ayahnya. Bukan karena dia tergesa-gesa, tapi matanya menangkap sosok seseorang yang sedang berdiri di balkon rumah seberang. Suryana?
Bersambung ....

Komento sa Aklat (105)

  • avatar
    hashimah 706

    best sangat

    14d

      0
  • avatar
    RupiahPejuang

    cerita nya bgs

    11/08

      0
  • avatar
    kusumarepal

    baguss banget novel nya

    10/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata