logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

RAHASIA CINTA SANG PSIKOPAT

RAHASIA CINTA SANG PSIKOPAT

triboymustiqa


1. Ruang Bawah Tanah

Malam menjelma bagaikan Rahwana yang membawa gulungan hitam di angkasa. Menutupi pendar sang Rembulan dan kerlip gemintang. Angin bertiup kasar, menghempaskan daun-daun pintu yang terlupa dikunci. Bunyi desau sang Bayu bagai seruling pawang ular yang menyihirkan buhul-buhul ketegangan.
Malam ini, Rawa melepaskan kekesalan jiwanya dengan membuat kupu-kupu patah itu semakin rusak. Melepaskan dahaga iblis akan sentuhan nafsu-nafsu birahi. Erangan dan jeritan kesakitan diterima si perempuan. Rawa seolah bermetamorfosis menjadi montser mengerikan.
Di ujung senggamanya, Rawa mencekik leher perempuan itu. Membuanya melejang-lejang kesakitan.
"Matilah kau, Jalang! Matilah!"
Perlahan-lahan, nafas Rawa mulai mengendur. Ketegangan yang tadi menggelayuti tubuhnya, berangsur rileks. Dengan malas, dia menggeloyor di samping perempuan malang itu. Tiada suara, tiada nafas. Yang ada hanya kebisuan.
Rawa berdiri. Menatap sekilas tubuh tak bernyawa itu, "Kotoran hanya pantas dimasukkan ke dalam tong sampah. Andai Sari menerimaku, perempuan ini masih hidup. Ckckck, kasihan sekali. Salahkan Sari kenapa kau mati, Bitch!"
Rawa terkekeh. Mendekati nakas, meraup sebotol wine. Menenggaknya langsung. Hawa hangat menjalari kerongkongan dan dadanya.
"Hmm, sepertinya memotong-motong daging di malam yang ceria ini akan sangat seru. Sudah lama aku tidak mencium aroma darah. Sudah lama juga tak merasakan segarnya cairan yang mengalir dari daging manusia. Maukah Sari menemaniku di malam ini? Sambil menikmati sate daging panggang?"
Rawa menarik kaki mayat yang mulai terasa dingin. Apalagi suhu dalam kamar masih diselimuti hawa AC. Tubuh malang itu terus diseret keluar dari kamar. Tanpa busana, tanpa sehelai benang pun. Senyuman Rawa begitu pasi. Ada ketegangan baru yang muncul di dalam hatinya. Suatu perasaan senang untuk memulai. Menguliti dan memotong-motong dengan pisau tajam. Lalu membakar serpihan-serpihan mayat itu.
"Hmmm, aku rindu perempuan itu. Apa kabar dia, ya? Apa ia siap untuk sajian daging cincang dan sup enak? Hahaha, melayani perempuan hamil, tentu akan sangat menyenangkan!" Rawa membuka sebuah pintu rahasia. Pintu yang berhubungan dengan sebuah ruang bawah tanah. Diterangi lampu lima watt, menampilkan suasana kaku dan bau pengap yang menyergap.
Tidak peduli dengan mayat yang sekarang kepalanya terantuk-antuk di anak tangga, Rawa terus menyeret tubuh dingin tersebut.
"Sania ..., yuhuuu ... I am coming, honey! Wake up, my dear! I have something for you!" Rawa bersiul, bersenandung, dan meneriakkan sebuah nama. Ruang bawah tanah itu terlihat suram. Rawa melangkah dengan terengah-engah. Tubuhnya yang hanya tertutupi sehelai cawat, mendapati dingin yang tidak wajar menerpa badannya. Namun, dia abaikan itu. Perempuan mati itu dia angkat ke atas sebuah dipan besi. Di atas mayat, bergantungan beraneka ragam senjata tajam. Mulai dari pisau, parang, golok, kampak, dan gergaji. Dan semua benda tersebut berkilat tajam. Membuat nafsu membunuh di mata Rawa semakin berkobar.
Meninggalkan dipan mayat, Rawa memasuki sebuah kamar. Lalu keluar dengan mendorong kursi roda. Di atasnya, seorang perempuan dalam keadaan tangan dan kaki terikat, mulut tersumbat, meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.
"Tssss, kekasihku! Kamu jangan kebanyakan gerak. Kasihan anak kita. Lihat, aku membawakan sesuatu untukmu!" Rawa memegang dengan keras dagu perempuan itu. "Kamu pasti mengenalnya, Sania!"
Gadis itu, yang bukan lain adalah Sania, berusaha berteriak. Namun yang terdengar hanya suara-suara tidak jelas. Matanya memperlihatkan kemarahan. Rawa tersenyum menanggapi kemarahan Sania. Sambil mengelus perut perempuan itu, Rawa menciumi leher telanjangnya, "Akh, aku sangat suka dengan aromamu, San! Sayangnya, aku hanya tertarik sama tubuhmu! Hati dan cintaku tidak akan pernah bisa kau miliki. Itu hanya untuk Sari. Yah, hanya untuk Sari."
Rawa menangis. Lalu berteriak sejadi-jadinya, "Aku hanya ingin bahagia dengan Sari! Aku hanya ingin dia mencintaiku! Tapi kenapa begitu susah? Kenapa, bangsat! Jawab aku!" Telapak tangan Rawa melayang, menimbulkan suara keras di pipi Sania.
"Hahaha, baiklah ... baiklah!" Rawa berdiri. Mendekati dipan, mencabut sebuah parang tajam. Sesaat dia menoleh ke arah Sania yang masih menatapnya bengis. "Kau akan menyukai ini!"
Hanya sekedipan mata, tangan Rawa menebas.
Sania menjerit ketakutan. Jeritan yang hanya berupa gumaman. Darah muncrat mengotori dada dan wajah Rawa. Sebuah kepala terpental dari dipan besi. Jatuh berguling di kaki Sania.
Sania kembali meronta-ronta. Tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Sementara di depannya Rawa tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, sudah aku katakan! Kau kenal dia, bukan?" Rawa menjambak rambut di potongan kepala tersebut. Mengangkatnya dan mengarahkannya ke wajah Sania. Gadis itu serasa mau mati saja. Menyadari siapa perempuan malang itu.
"Ini wanita yang saban hari selalu menggodaku. Mengharapkan agar aku selalu bisa memuaskan nafsu bejatnya. Luna! Tentu kau kenal dia? Hahahaha! Dia ...," Raka mendekatkan bibirnya ke telinga Sania, "Dia ... sahabatnya Sari!"
Sania tahu sekali siapa Luna. Memang bukan gadis baik-baik tapi mereka sudah sahabatan sekian lama. Bahkan, satu perusahaan dengan Rawa dan Sari. Hati Sania mencelus, tidak habis pikir bagaimama seorang Rawa tega melakukan kejahatan seperti ini. Membunuh dan memutilasi korbannya sedemikian rupa.
"San ...." Rawa kembali bersuara, "Akan aku buatkan sup daging untukmu. Biar anak kita sehat. Sebentar ya, Sayang! Aku cincang dulu daging dan tulangnya. Bersabarlah." Rawa mengecup kepala Sania.
Selanjutnya yang terdengar hanya bunyi parang diayun. Menyatu dengan amis darah yang memenuhi lubang hidung. Sania menangis dalam ketidakberdayaannya. Tidak menyangka, nasibnya berada di tangan seorang psikopat. Cinta yang selama ini dia tanam, mati mengenaskan setelah Rawa memperlihatkan wujud aslinya. Selama seminggu dia disekap, sudah tidak terhitung berapa kali dia mengalami kekerasan fisik dan mental. Tubuhnya sudah dipenuhi luka, lebam dan darah. Rawa memerkosanya berkali-kali. Dan itu sangat menyakitkan.
Andai dia tidak ingat anak di dalam perutnya, mungkin dia tidak akan berpikir dua kali untuk bunuh diri. Rawa begitu pintar, dia menyumpal mulut Sania dengan kain, sehingga Sania tidak memiliki kesempatan untuk menggigit lidahnya sendiri.
Dari belakang dia melihat Rawa sibuk mengayunkan parang. Kemudian bergantian menurunkan gergaji dan pisau. Bau amis kian menyengat. Berkali-kali Rawa menyeka keringat yang mengotori wajahnya. Dari bibirnya keluar gumaman yang kian membuat bulu kuduk Sania berdiri.
"Sari itu cinta pertama dan terakhirku, San. Andai saja kau tidak mengadukan kehamilanmu padanya, mungkin aku masih berbaik hati menjadikanmu teman. Namun, congor-mu itu membuat Sari semakin benci padaku. Kau sendiri yang menjebakku malam itu. Berpura-pura sakit agar aku mau mengantarkanmu ke kamar. Aku tidak bodoh, San. Obat tidur yang kau masukkan ke dalam minumanku, sudah kubuang, kuganti dengan obat kuat. Dan dalam minumanmu, sudah kumasukkan obat perangsang. Akh, aku suka desahanmu waktu itu, San!
"Aku suka bagaimana kau meronta-ronta ketika akh ... Hahaha, tidak perlulah aku jelaskan. Aku sangat menikmati tubuhmu, San. Sayangnya, aku cepat bosan. Karena kau bukan tipeku. Kau hanya gadis murahan, bodoh dan dungu. Aku tidak menginginkanmu menjadi isteriku, tapi aku tetap mengharapkan anak dalam kandunganmu lahir. Jika cantik atau tampan, mungkin aku akan memeliharanya. Namun, jika jelek, akan kucincang menjadi potongan-potongan kecil dan kulemparkan ke jalanan. Biar disantap binatang liar. Dan itu sangat mudah bagiku, San!"
Entah sudah berapa kali Sania merutuk di dalam hati. Mencela semua ucapan dan perbuatan Rawa. Inikah lelaki yang selama ini aku mimpikan? Lelaki yang mengubah kepribadianku menjadi tidak baik? Lelaki yang membuatku harus mati-matian mempermak diri agar dia menyukaiku? Ya Tuhan, bagaimana aku bisa keluar dari jeratan ini? Aku takut, selamatkanlah aku, Tuhan. Sungguh, hanya Engkau yang bisa menolongku.
Tidak ada lagi linangan air mata yang membasahi pipi. Mata Sania sudah terasa kering dan perih. Andai Rawa masih menyiksanya lagi, mungkin dia hanya bisa pasrah. Berharap Rawa segera mengakhiri hidupnya. Penyiksaan semacam ini benar-benar menimbulkan trauma mendalam di hati Sania.
Badan dan batin Sania terasa begitu letih. Ingin dia bisa tertidur dan tidak terbangun lagi. Dengan begitu, dia tidak perlu lagi merasakan sakit. Cukup sudah derita batin karena mencintai seorang Rawa. Lelaki jelmaan iblis yang mulai menyakitinya secara perlahan-lahan.
Sania akhirnya tidak mampu menahan dirinya. Matanya terpejam. Pikirannya seperti dibetot paksa dari kepalanya. Semuanya gelap. Hanya kegelapan. Tiada cahaya, tiada suara, hampa serasa dunia tidak lagi mengudara.
Aku letih, jangan bangunkan aku, Tuhan.
***
Bersambung ....
***
Apakah kalian siap dengan petualangan mengerikan ini?
Mohon bagi yang tidak suka cerita berbau kekerasan untuk tidak membacanya.

Komento sa Aklat (105)

  • avatar
    hashimah 706

    best sangat

    15d

      0
  • avatar
    RupiahPejuang

    cerita nya bgs

    11/08

      0
  • avatar
    kusumarepal

    baguss banget novel nya

    10/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata