logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Tidak Ada Izin

"Hi, Sher!" sapa Tedi.
Sheril terdiam, kepalanya penuh pertanyaan. Kok bisa ada Tedi di sini?
"Hi," jawab Sheril. Ia pun berusaha tidak peduli, lalu menutup pintu dan menguncinya.
"Kak Sheril mau ke mana?" tanya Mery, tetangga kosnya.
"Mau pulang dulu, Mer."
"Loh, kok nggak bilang-bilang. Kalau tau gitu, aku pulang sama Kak Sheril aja. Tapi udah nanggung minta Kak Tedi untuk jemput," ucap Mery.
Sheril tersenyum, pantas saja Tedi di sini. Rupanya mau menjemput Mery. Sheril menghela napas lega. Hampir saja ia mengira lagi kalau Alnonim adalah Tedi. Padahal sudah jelas kalau Tedi memiliki akun Minsta dengan namanya sendiri.
"Kalau begitu, aku duluan, ya, Mer!" Sheril pun pamit. Berjalan sendirian keluar dari kosan Jelita. Ia tidak mau pulang bersama siapapun saat ini. Karena ia tidak mau menambah masalah. Cukup baginya gosip tadi pagi menggugurkan izin Fika. Sheril berharap, izin itu kembali diberikan. Ia sudah tidak tahan satu rumah dengan kakak dan keponakannya.
Setibanya di lantai satu, Sheril menoleh ke lorong kamar kos. Sepi, padahal masih siang. Ia berpikir, mungkin Rey pun sedang tidur saat ini.
Deg.
Kembali jantungnya berdebar kencang saat otaknya teringat kejadian yang dialami satu jam yang lalu.
"Aih, Rey itu milik Yuri," gumamnya. Lalu berlari ke arah pagar.
"Kya!" jerit suara wanita. Sheril menoleh ke arah kosannya, tepatnya ke lantai dua. Namun, ia berusaha tak peduli dan pergi.
Sementara itu, di lantai dua. Mery hampir saja terjatuh karena terpeleset saat hendak jalan menuju tangga dan berhasil ditahan oleh Tedi.
"Hampir, saja," gumam Mery sambil berusaha berdiri dan merapikan bajunya.
Kaos yang dipakai Mery itu kekecilan dan menyingkap sedikit memamerkan perutnya yang indah. Tedi, menelan saliva kasarnya, lalu memalingkan wajah.
"Kak Tedi mau tunggu di sini sebentar?" tanya Mery. "Aku mau ganti baju dulu, bisa marah kalau ibu tahu aku pakai baju gini," gerutunya sambil berjalan memasuki kamar kosnya.
Tedi mengangguk, ia berdiri di luar kamar kosan menunggu Mery. Waktu berjalan, Tedi mondar-mandir di luar. Kakinya sengaja ditendang-tendang karena pegal. Ingin duduk tapi tak ada tempat duduk. Sesekali ia melirik ke arah pintu kamar Mery yang sedikit terbuka.
Sementara Mery, ia sudah merapikan buku yang akan dibawanya. Namun, belum ganti pakaian. Mery menatap cermin, lalu tersenyum jahil.
"Duh, Kak Tedi. Bisa tolong aku?!" pinta Mery dari dalam kamar kosnya.
Tedi menoleh ke arah pintu kamar dan menghentikan langkahnya. "Ya?"
"Sini deh, masuk dulu!" pinta Mery.
Tedi berjalan mendekat ke arah pintu. Mery membuka pintunya sedikit lebar, saat Tedi di depan pintu. Mery menarik tangan Tedi dan menutup pintu kembali.
Tubuh Tedi yang condong akibat ditarik spontan itu membuat Mery leluasa mengecup bibir Tedi. Ia merangkul pundak pria yang sedang dicumbunya itu.
Tedi mendorong tubuh Mery dengan pelan, ja tidak bisa menikmati apa yang Mery berikan. Baginya, ini bukan untuk dinikmati.
"Apa yang harus kubantu?" tanya Tedi dengan gugup. Ia memalingkan pandangannya. Menatap sekeliling ruangan kamar kos Mery demi menghindari pemandangan yang menggoda di depannya.
Mery memeluk tubuh Tedi. Ia hanya mengenakan bra dan celana pendek. "Aku … tolong aku!" gumam Mery mengeratkan pelukannya. Ia membenamkan kepalanya di dada bidang Tedi.
"Hei, tapi tidak begini caranya!" Tedi ingin marah, tapi tidak bisa. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku harus bantu apa?" tanya Tedi dengan suara gemetar. Mustahil baginya jika tidak tergoda dengan keindahan di depan matanya. Tedi mengumpat sejadi-jadinya di dalam hati.
"Aku tak tahan!" geram Mery. Kini ia merangkul pundak Tedi lagi, meraih wajah pria di depannya. Sorot matanya sayu, begitu menggoda pria pemilik rambut cepol itu. Mery mendekatkan wajahnya ke arah Tedi, lalu menciumi lagi pria itu tanpa meminta persetujuan.
Tedi menikmati sedikit cumbuan kasar itu, lalu mendorong tubuh Mery lagi, membuat tubuh gadis di depannya menjauh. Pikiran jernihnya mengumpat atas kejadian itu. Mustahil, sangat mustahil jika ia tidak tergoda.
"Kenapa?" tanya Mery terlihat kesal. "Apa Kakak tidak suka?" tanyanya lagi dengan nada yang sama.
Tedi terdiam, ia memalingkan wajah. Otaknya mencoba berpikir jernih. Apa yang salah? Begitulah pertanyaan itu berputar. Dinikmati, salah. Dibiarkan, sayang! Tedi menggeram sambil mengepalkan tangan.
"Cowokku suka banget, loh. Sampai aku pun menjadi kebiasaan. Kalau ingin, rasanya tak bisa ditahan. Aku akan memberikan kenikmatan, please, kita sama-sama untung, kok," ucap Mery kembali mendekat ke arah Tedi. Ia mengedipkan mata dengan manja.
Gadis itu semakin merayunya. Bahkan akan menanggalkan seluruh kain yang menutupi tubuhnya.
Plak.
Tamparan keras memberi bekas merah di pipi mulus Mery. "Sadar, Mer. Tidak semua laki-laki suka hal seperti ini!" Tedi membuka pintu. "Ganti pakaianmu, aku akan mengantarmu sampai rumah!" ucap Tedi dengan tegas. Lalu ia keluar dari kamar Mery. Napasnya memburu. Ada amarah bercampur sesal. Tedi duduk jongkok membelakangi pintu, tangannya memeluk erat kepala. Lalu ia berteriak frustasi.
**R**
Bisik-bisik terdengar kembali oleh telinga Sheril saat melewati gang komplek 14. Sheril menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.
Setibanya di depan rumah, Sheril membuka pintu. Ia masuk dan menutup pintu kembali.
"Sudah pulang?" tanya Reza. "Tumben siang?" tanyanya lagi.
"Dia cari kosan, Yah!" seru Fika yang sedang duduk menonton televisi.
Sheril tak menjawab satupun pertanyaan kakaknya. Ia memasuki kamar dan hendak merapikan baju.
"Kosan? Jadi dia mau ngekos?" tanya Reza pada istrinya.
"Iya, biar bebas, kali. Kemarin malam ia pulang diantar cowok. Kalau ngekos kan bisa bebas masukin cowok, sedangkan di sini nggak bisa," ucap Fika dengan santainya.
Rahang Reza mengeras mendengar tutur kata istrinya. Tangannya mengepal lalu bangkit dan mengetuk pintu kamar Sheril.
Sheril yang mendengar obrolan kakaknya itu hanya mendengkus kesal. Secepatnya ia merapikan baju ke dalam koper.
"Sheril! Kakak tidak mengizinkan kamu ngekos sendirian!" teriak Reza penuh amarah.
"Aku akan tetap ngekos, Kak!" ucap Sheril dari dalam kamar.
"Sekali tidak ada izin, kamu tidak bisa keluar dari rumah ini!" ucap Reza tegas.
"Apa kamu mau mencoreng arang di kening kakakmu ini?" tanya Reza dengan amarah yang menggebu-gebu.
Sheril yang sudah selesai merapikan bajunya ke dalam koper, segera menutup koper dan menariknya menuju pintu. Ia membuka pintu dan menatap kakaknya dengan tatapan tak mau kalah.
"Aku bisa jaga diri, kok!" tegas Sheril.
"Simpan koper kamu, karena kamu tidak mendapat izin untuk tinggal sendiri!" tegas Reza.
Sheril diam, menatap kakaknya dengan wajah datar. Sebenarnya ia kesal sekali dan ingin segera pergi.
"Sudahlah, Ayah. Biarin aja. Paling nanti kita dapat kabar kalau dia hamil dan ditinggalkan cowoknya!" ucap Fika sambil mendelik.
"Dia pindah kosan kan karena cowok, demi ngejar cowok. Lagian, kamu nggak heran apa. Kok adikmu usia 25 tahun tapi tidak ada rencana mau nikah. Nikahkan saja dia dengan cowok mana saja," ucap Fika mengompori.
Sheril mengepalkan tangan, ia tidak bisa melawan. Baginya, apapun alasan yang Sheril ucapkan itu tidak ada artinya.
"Tidak bisa!" teriak Reza sambil mengepalkan tangan. "Simpan kopermu kembali. Kamu tetap tidak dapat izin untuk tinggal sendiri!"
"Aku tetap memilih ngekos, Kak. Apa kakak lebih percaya omongan tetangga?" tanya Sheril dengan suara santai. "Aku ingin bebas bukan berarti bebas yang benar-benar bebas. Aku punya aturan sendiri. Aku tidak betah tinggal di rumah ini. Apalagi pemiliknya seolah enggan menerima kehadiranku. Kalau kakak mau ngadu ke Ayah atau Ibu, silakan! Aku juga akan mengadu ke mereka tentang apa yang kalian lakukan padaku!" ucap Sheril. Ia berjalan menyeret koper melawati kakaknya yang mematung.
Sepertinya Reza kaget mendengar ucapan Sheril. Ia tak berkutik saat adiknya pergi, bahkan untuk mencegah saja ia enggan. Begitu juga dengan Fika. Tak ada sepatah kata pun yang keluar lagi dari lisannya.
Sheril mengambil sepatu yang sudah dijemur di atas bata pagar, lalu pergi dari rumah itu. Menyusuri gang 14 ditemani bisik-bisik tetangga yang terdengar merdu, saking merdunya sampai menyayat hati Sheril.
Di ujung gang 14, Sheril berpapasan dengan Tedi. Pria itu membonceng Mery. Lalu tersenyum saat pandangan mereka bersirobok. Sementara yang diboncengnya, menangkupkan wajah pada punggung Tedi.
Sheril melangkah, memasuki gang sepi. Setelah sekitar sepuluh langkah, ia menghela napas lega sambil menghentikan langkahnya.
"Akhirnya bebas juga dari rumah itu," gumam Sheril. Wajahnya menengadah ke arah langit. Menatap indahnya langit sore yang memamerkan warna jingga. Ia kembali menghirup udara sebanyak-banyaknya. Seolah ia sudah bebas dari duri yang membelenggu tubuhnya, menyesakkan pernapasannya.
Drrt.
Ponselnya bergetar di dalam saku roknya. Sheril merogoh ponsel, lalu menatap lama layar ponsel itu. Sebuah pesan masuk dari aplikasi Minsta.
[Gimana, suka dengan kamar kosnya?]
Begitulah isi pesan dari akun Alnonim. Sheril tersenyum, ia merapikan rambutnya sebelum mengetik sebuah balasan.
[Suka banget. Apa kamu ngekos juga di sana?]
Balas Sheril memastikan. Ia tidak ingin ceroboh lagi untuk menebak orang dibalik akun Alnonim itu. Meski ia memiliki kecurigaan terhadap Rey. Namun, Sheril menepisnya lagi. Tidak mungkin, Rey. Karena, Rey tidak mungkin mengajaknya menikah walau sebuah candaan.
[Tidak.]
Sheril menautkan kedua alisnya setelah membaca pesan yang dikirim Alnonim.
[Lalu, kenapa kamu bisa tahu di sana ada kosan?]
[Untukmu, apasih, yang nggak bisa kulakukan?]
[Hilih!]
Sheril mencebik. Rasa penasaran itu bukannya pudar, malah semakin menjadi.
Ponselnya kembali bergetar. Sheril segera membaca pesan dari Alnonim.
[Haha..]
[Kamu lucu. Apalagi sedang marah]
Sheril terdiam. Ia memindai sekitarnya. Gang sepi tetaplah sepi. Jarang sekali berpapasan dengan orang lain di gang ini.
[Kamu tahu aku sedang marah?]
[Apa yang tidak aku tahu tentangmu?]
Sheril terdiam lagi. Matanya fokus pada layar ponsel.
[Sebenarnya kamu siapa?]
Balas Sheril. Ada rasa takut, di kepalanya penuh pertanyaan. Apakah Alnonim seorang stalker? Ia sangat takut jika dugaannya benar.
[Calon suamimu.] Balas Alnonim.
Wajah Sheril yang tadinya ketakutan, kini luntur. Bersemu merah. Ia menjadi salah tingkah sendiri.
[Sheril.]
[Ya?]
[Mau kan, kau menikah denganku?]
Sheril menghela napas panjang. Akun Alnonim benar-benar gila, pikirnya.
[Kamu selalu bercanda tentang pernikahan, ya?]
[Tidak.]
[Lalu?]
[Aku serius.]
Sheril terdiam cukup lama. Tangannya kembali menari di atas tuts keypad.
[Anon. Kalau kamu bisa melakukan semua hal untukku. Aku ada permintaan]
Begitulah balas Sheril setelah menimbang-nimbang kata cukup lama.
[Apa itu?]
Sheril tersenyum setelah membaca balasan dari Alnonim. Jarinya kembali mengetik pesan balasan.
[Aku ingin melihatmu. Bisakah kita bertemu?]
Sheril menatap layar ponselnya dengan serius. Centang biru itu belum juga berubah merah. Ia menggerutu dalam hatinya. "Kenapa aku minta yang mustahil, sih?" gumamnya.
Sheril masih berdiri di gang sepi. Ia memindai sekitarnya, hanya dirinya seorang di sini. Koper berisi baju itu tegak berdiri di samping pemiliknya. Sheril gelisah, ia menatap ponselnya kembali. Namun, belum juga ada balasan dari Alnonim.
"Tapi aku penasaran," gumamnya lagi sambil menggigit kuku jempolnya.
Ponselnya kembali bergetar. Sigap Sheril membuka kunci layar. Dia diam cukup lama, membaca ulang pesan yang diberikan Alnonim.
[Bukankah kita sudah bertemu?]

Komento sa Aklat (824)

  • avatar
    Carlos Santaro

    best plot story ever

    09/05/2022

      0
  • avatar
    zunzun

    penasaran bangetttt sama ceritanya.. tiap hari selalu cek apa udah update belum.. secepatnya mungkin ya.. soalnya bikin penasaran banget sama ceritanya sheril.. 😍😍🥰🥰

    28/12/2021

      1
  • avatar
    MimiAzli

    sorg pmpn yg jomblo..disukai tiga pria.

    27/07/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata