logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

bab 6

KETIKA SI MISKIN YANG DIHINA MENJADI JUTAWAN
BAB 6
Mau beribu kali aku mencoba menutup mulut kotor mereka pun percuma, karena itu sama saja seperti menegakkan benang basah, yakni melakukan hal yang sudah jelas akan sia-sia. Jadi daripada aku menyusahkan diriku sendiri untuk berseteru dengan mereka, maka kubiarkan saja mereka mau berkata apa tentangku, toh suatu saat kebenaran itu akan terungkap.
***
"Eh kalian tau gak, ternyata si Riri itu beneran jadi simpanan lho, " ucap Bu Ida pada para pembeli, posisinya Bu Ida sedang duduk di kursi dengan arah membelakangi jalan, begitu juga dengan para langganan warung Bu Ida, selain jadi langganan warung, mereka juga menjadi langganan ibu-ibu tukang ghibah. Sementara posisiku ada di belakang mereka kebetulan aku memang ingin membeli sesuatu di warung Bu Ida, jadi tentu saja mereka tidak tahu jika aku mendengar obrolan mereka tentangku. Dan aku pun memang sengaja tidak bersuara lantaran ingin tahu mereka akan bicara ap tentangku.
"Ah masa sih Bu? Tau darimana? Nanti kita malah fitnah lagi. "
"Yah, Bu Kesi ini gak update informasi di desa ini sih, kan beritanya udah kemana-mana, Bu. "
"Iya Bu Kesi, saya juga udah dengar beritanya, tapi ya gitu deh, saya mah diem aja, soalnya takut fitnah, " timpal Bu Lela.
"Eh Bu Lela, itu semua benar, aku tau sendiri dari si Lintang, dia sendiri yang ngomong ke aku," ucap Bu Ida.
"Ah masa sih, Bu? "
"Iya serius ,katanya si Lintang liat ada pria datang ke rumah Riri dan nganterin sembako banyak banget ke rumah Riri, terus lagi katanya hutangnya si Riri sama Lintang itu di bayarin sama itu orang. "
"ApA, yang bener, Bu? " ucap Bu Lela dan Bu Kesi secara bersamaan dengan nada terkejut, sebenarnya bukan hanya mereka yang terkejut, tapi aku pun juga sama terkejutnya.
"Jadi hutangku dan Mas Anam sama Lintang sudah dibayar? Tapi siapa mereka? Kenapa tiba-tiba datang dan membantu keluargaku secara berlebihan begini? Ah, semakin aku memikirkannya semakin pusing rasanya," gumamku dalam hati.
"Wah, udah gak bener itu, kalau gak ada apa-apa gak mungkin bisa semua hutang dibayarin begitu aja, udah jelas ini sih Riri jadi simpanan, " ujar Bu Kesi.
"Iya, sekarang mah jangan dekat-dekat dia pokoknya, takut apes."
"Apes gimana, Bu? "
"Ya apes lah, orang jadi simpanan kan berarti berzina, " ucap Bu Ida yang membuat kedua bola mataku seakan ingin keluar dari tempatnya.
Cukup sudah rasanya dia selama ini memfitnahku sekeji itu, selama ini aku masih sangat segan karena biar bagaimanapun hanya Bu Ida tempat aku berhutang membeli beras, meskipun itu juga harus mendengar suara sinisnya padaku.
"Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus memberi pelajaran pada nenek peot itu, sudah cukup selama ini aku diam jika dihina, fitnahan mereka padaku kali ini sungguh tidak bisa aku maafkan," batinku geram.
"Duh enaknya yang lagi bergosip ria memfitnah orang secara keji sampai tidak sadar jika yang difitnah sedari tadi sudah ada di belakang kalian," ucapanku membuat ketiga orang yang masih asyik bergosip itu seketika menolehkan kepalanya ke arahku.
"Riri, " ucap Bu Kesi dan Bu Lela lirih sembari menutup mulut dengan tangannya, tapi itu tidak berlaku buat Bu Ida, sorot mata tajamnya ia berikan padaku, seolah ingin menerkamku bulat-bulat.
"Kenapa Bu Ibu, kok pada bengong, ayo teruskan menggosipnya, aku kan masih mau dengar."
"Siapa yang gosip, apa yang kita obrolin itu kenyataan, " ujar Bu Ida sinis.
"Kenyataan menurut siapa? Menurut Bu Ida kan? "
"Lho, kan memang begitu faktanya, bahkan adik iparmu sendiri yang ngomong ke aku, kalau mau protes ya sana si Lintang itu! " sentak Bu Ida, jika biasanya aku menciut mendengar suaranya yang sudah seperti kaleng rombeng, tapi tidak kali ini, aku harus melawan, mau sampai kapan aku di injak-injak terus olehnya, toh selama ini bukan dia yang kasih aku makan, biarpun aku sering berhutang tapi kan tetap aku bayar.
"Oh, begitu ya, mulut kayak Bu Ida ini pantasnya itu dikasih ini! " dengan tiba-tiba aku mengambil cabe setan dengan tanganku sembari meremasnya dan dengan gerakan cepat aku menyumpal segenggam cabe setan itu kedalam mulut Bu Ida , dan sudah aku pastikan rasanya itu pasti sangat pedas.
"Aaaaa, apa yang kau lakukan Riri! " pekik Bu Ida sembari melepeh cabe di dalam mulutnya.
"Itu masih belum seberapa, Bu, setelah ini jika kau berani mengusikku atau keluargaku maka riwayatmu akan tamat! " ujarku sembari menatap tajam Bu Ida.
"Begitu juga dengan kalian, jangan asal telan omongan orang yang kalian dengar, bia saja itu fitnah, lagian apa kalian tidak punya kegiatan sehingga hidup kalian itu sibuk mengurusi hidup orang lain! "
"En, enggak Ri, itu tadi Bu Ida yang mulai duluan. "
"Kurang ajar ya kalian! Besok gak usah agi ngutang di warung ku, dan cepat melunasi hutang kalian! Dan kau Ri lihat saja akan aku balas kau nanti! " ucap Bu Ida murka, lalu Bu Ida meninggalkan tempatnya berdiri dan masuk ke dalam warungnya.
"Ingat ya lain kali dipikir dulu kalau mau ghibah, masih untung kalian ketemu orang sama aku, coba kalau yang jiwanya bar-bar, bisa habis kalian, apa kalian juga mau aku jadi bar-bar? "
"En, enggak Ri, maafkan kami, kami hanya ikut-ikutan Bu Ida saja, " bibir Bu Kesi bergetar saat bicara padaku.
"Cuma ikut-ikutan ya? Terus kalau Bu Ida nyemplung sumur apa kalian mau ikutan nyemplung juga ha! "
"Nggak Ri, maaf kami permisi dulu," bu Kesi dan Bu Lela pun ngacir sembari nyincing baju dasternya yang panjang.
***
"Zahra lagi apa? " tanyaku pada putri semata wayangku itu.
"Ini, Bu, Zahra lagi menggambar, kan sebentar lagi Zahra mau sekolah," ucap Zahra dengan tidak mengalihkan pandangan matanya padaku karena masih fokus dengan kegiatannya.
"Bu, kapan Zahra sekolah tk, teman-teman zahra semuanya sudah pada sekolah, Bu,"celoteh Zahra lagi, kali ini ia menatapku.
"Doain Ibu ya semoga rezeki Ibu berlimpah biar bisa sekolahin Zahra, Ibu janji kalau sudah cukup uangnya Ibu pasti masukin Zahra kesekolah," ucapku sembari mengelus rambutnya yang lurus itu.
"Beneran ya, Bu, " Zahra menatapku dengan mata berbinar dan penuh harap.
"Iya insyaallah, Zahra berdoa saja sama Allah SWT ya Nak, doakan semoga Ibu selalu diberi kesehatan sehingga bisa terus bekerja ngumpulin uang buat bayar sekolah. "
"Iya, Bu, ya Allah, semoga Ibu Zahra diberi kesehatan biar bisa kerja cari uang buat Zahra masuk sekolah, dan semoga Rezeki Ibu berlimpah, amin ya robbal alamin, " ucap Zahra yang juga ku amini.
Sesak rasanya dadaku mendengar keinginan Zahra, bukannya aku tidak mau menyekolahkannya, tapi untuk makan saja rasanya sungguh berat, dan sekarang aku harus memikirkan sekolah Zahra, sedangkan uang masuk tk pasti tidaklah murah.
"Assalamualaikum, permisi."
Aku mendengar suara seorang wanita dari luar sana, tapi siapa? Jika Lintang atau Mbak Meri gak akan mungkin mengucapkan salam terlebih dahulu, tapi kalau Citra? Ah dia pun sama saja, malah biasanya langsung nongol udah kayak jelangkung.
"Permisi, assalamualaikum," lagi, suara itu kembali terdengar, akhirnya aku memutuskan untuk membukakan pintu, siapa tau memang orang yang sedang ingin bertamu
"Zahra, Ibu mau kedepan dulu ya, itu ada orang yang bertamu. "
"Iya, Bu. "
Aku berjalan menuju pintu dan bergegas membukanya, tapi pada saat aku membuka pintu, aku sedikit mengernyitkan dahi, karena ternyata yang datang bukan lah orang yang kukenal.
"Assalamualaikum, maaf apa benar ini rumah Ibu Riri orangtua dari Zahra Putri? "
"Iya benar. Bu, ada apa ya? "
"Boleh saya masuk, Bu? "
"Oh, boleh, Bu, mari silahkan, " ucapku mempersilahkan tamu tersebut masuk dan duduk di atas karpet di ruang tamu ku.
"Maaf ya, Bu, lesehan, soalnya gak punya sofa. "
"Ah, tidak apa-apa Bu Riri. "
"Oh iya, maaf kalau boleh tau ada keperluan apa Ibu datang kesini? Dan sepertinya kita belum pernah saling mengenal kan sebelumnya? " ucapku bertanya pada wanita itu.
"Begini Bu Riri, sebelumnya perkenalkan saya Emi, saya ini guru Tk Ceria, tapi juga sebagai petugas bagian pendaftaran murid baru, jadi saya kesini mau menyerahkan formulir data diri siswa dan mohon Ibu Riri isi," jelas Bu Emi yang membuatku semakin bingung.
"Maaf, maksudnya apa ya, Bu, saya gak ngerti? "
"Jadi tadi itu ada yang mendaftarkan atas nama Zahra putri, itu nama anak Bu Riri kan? "
"Iya betul, Zahra, putri saya, tapi saya tidak merasa mendaftarkan anak saya di sekolah Ibu Emi. "
"Jadi gini, tadi itu ada seorang pria beliau mendaftarkan murid bernama Zahra Putri yaitu anak Ibu, beliau juga sudah membayarkan uang pendaftarannya hingga lunas, jadi saya kesini hanya ingin memberikan formulir data diri siswa ini pada Ibu," ujar Bu Emi sembari menyodorkan sebuah lembaran kertas padaku.
"Kalau boleh tau siapa pria itu Bu? "
"Lho, Ibu gak kenal? "
"Nggak Bu, saya gak punya saudara laki-laki selain abang saya, tapi kalau dia yang membayarkannya itu tidak mungkin karena saya tau dia bagaimana dengan saya. "
"Wah sayang sekali soalnya saya juga gak tau Buz beliau hanya bilang kalau beliau adalah Kakek dari Zahra, dan beliau menyuruh saya memberikan formulir itu pada Ibu, bahkan beliau juga yang memberikan alamat ibu pada saya makanya saya bisa tau rumah Bu Riri, atau mungkin ini memang rezeki buat Zahra untuk masuk sekolah tahun ini., jadi tolong terima saja dan segera diisi dan diserahkan pada kami ya, ,Bu, biar segera kami data, kalau begitu saya permisi dulu, mari Bu Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, " aku tidak bisa mengatakan apapun selain membalas salam dari Bu Emi, karena jujur sampai saat ini aku masih bingung, siapa sebenarnya orang itu, belakangan ini memang seperti banyak sekali malaikat penolong di hidupku.

Komento sa Aklat (104)

  • avatar
    Lan Lan

    nice

    10d

      0
  • avatar
    Riandi

    bagus

    08/08

      0
  • avatar
    NaimAinun

    ceritanyabagus

    06/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata