logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Pertemuan

Setelah jumpa pers dengan Faiz dan teman-teman wartawan, aku segera tancap gas meninggalkan gazebo tempat berbincang tadi. Sengaja pinjam mobil serta Lisa sebagai sopirnya, supaya kalau sewaktu-waktu terjebak hujan tidak ribet menunggu transportasi online datang. Nambah masalah itu berat, hidupku sudah berat, kok.
Benar saja, setengah perjalanan menuju apartemen, hujan turun dengan deras disertai angin. Sesekali kilatan petir menimbulkan perasaan khawatir. Berhenti atau jalan terus, bagaimana kalau terjebak banjir bahkan macet total? Tidak ada solusi jika keadaan sudah begini, aku hanya menurut apa kata Lisa.
Sebentar kemudian, Lisa menepikan mobil di depan sebuah minimarket. Sambil menunggu hujan lumayan reda, kami ngobrol tentang pers dengan wartawan tadi. Lisa bertanya banyak hal, jelas semuanya aku jawab. Aku tadi cuma klarifikasi, bukan membuka aib.
"Lisa, maaf, ya. Aku jadinya ngerepotin kamu," ucapku canggung.
Lisa tertawa. "Santai, Cha. Nggak apa-apa. Kayak sama siapa aja, sih!"
["Iya kali ntar bayar sewanya dua kali.lipat!"
Setelah mengatakan itu, kami tertawa. Mungkin aku terlalu norak, atau yang punya mobil ini kelewat baik hati. Syukurlah Lisa memang mengerti keadaan. Namun, sampai jam berapa kami terjebak di sini menunggu hujan reda? Mana udah laper, nggak bawa payung sama camilan lagi. Dahlah, nasib sok-sokan klarifikasi tanpa persiapan.
Hujan akhirnya menjadi gerimis, Lisa buru-buru tancap gas supaya tiba di apartemen tepat waktu tidak kemalaman. Meski jarak tidak seberapa, tapi terjebak hujan susulan juga bahaya. Apalagi, sama-sama lapar begini.
Akan tetapi, belum sampai mobil melewati sepuluh rumah, ujian kedua kembali datang. Aku melihat seorang laki-laki berjalan agak terhuyung tanpa payung. Tidak ada apa pun yang melindunginya dari gerimis dan dingin udara. Aku ingin tidak peduli sebenarnya. Toh, keadaanku tidak memungkinkan untuk menolong orang yang tidak dikenal. Namun, setelah mengamati penampilan dan gestur tubuhnya dengan seksama, pikiran itu berubah.
Kok, tetep nggak tega ya liat seseorang terlantar di jalan, aku kenal dia pula. Hadeeh!
Buru-buru aku minta Lisa menghentikan laju mobil, dan menurunkan kaca di sebelah kiri kursi kemudi. Lalu, memanggil laki-laki itu setengah berteriak. Suaraku tentu kalah dengan bising kendaraan di jalan raya ini.
"Kak!"
Laki-laki itu menoleh, seketika senyum lebar terbit di antara ekspresi kagetnya. Dia menyugar rambut, menepis titik titik gerimis yang berjatuhan di wajah sekaligus memastikan tidak salah lihat, mungkin. Apa aku terlihat asing sekarang, ya?
"Kak, masuk!" ulangku memberi perintah, persis seperti apa yang dia lakukan beberapa bulan lalu.
Mengangguk. Laki-laki dengan kaos biru langit dan syal yang mengalung leher itu gegas menghampiri mobilku. Dibukanya pintu bagian kurai penumpang, tapi ragu hendak masuk. Meski Lisa mengangguk meyakinkan, laki-laki itu tetap bergeming di tempatnya.
"Kakak mau pingsan kedinginan di situ?" hardikku kesal. Keburu hujan lagi, malah nggak peka ditolongin.
Akibat pintu yang terbuka itu, kontan saja membuat air yang diembus angin mengenai sebagian pakaianku. Alamat besok harus bersihin mobil Lisa, nih. Sayur asem emang!
"I-iya, iya. Kakak masuk," ujarnya tergagap, sebelum menutup pintu mobil dari dalam.
Tanpa menoleh lagi, aku minta Lisa melajukan mobil. Kali ini tujuan kami beralih ke butik pria. Tidak mungkin membiarkan seseorang yang berada dalam mobil ini basah kuyup sampai penginapan, kan?
Ketemu Kak Aldin nyusahin aja, sih!
"Cha," Kak Aldin membuka percakapan. "Nggak nyangka, ya, ternyata kamu bisa hidup mandiri dan sukses. Kirain cuma bisa marah-marah doang!"
"Kakak ngapain sampai hujan-hujanan di Bandung?" Malas menanggapi ledekan yang dari dulu tidak pernah berubah, aku memilih melontarkan pertanyaan.
Kuabadikan Lisa yang melirik tidak nyaman, mungkin pertanyaanku terlalu ketus. Iya kali pertama ketemu harus pura-pura ramah. Tidak bisa.
"Tadinya sih lihat kamu diwewancara wartawan. Eh pas mau pulang, malah keduluan hujan. Ya udah, jalan aja siapa tahu nemu kafe," terang Kak Aldin sambil memilin-milin syal basah, sesekali melihat ke arahku.
"Nggak nyangka juga sih malah ketemu kamu," lanjutnya tanpa menutupi kebahagiaan yang tergambar.
Aku menoleh sekilas, tersenyum tipis, lanjut mengintrogasi. "Emangnya kak Aldin ke Bandung naik apa?"
"Kereta. Terus taksi sampai taman."
"Mobil pribadi kakak?"
"Males!"
Sok banget gaya orang susah. Padahal ke mana-mana enak naik mobil pribadi, daripada transportasi umum. Dasar aneh!
"Ini mobil kamu, Cha?"
"Bukan, kak. Mobil saya." Lisa menyela.
Kak Aldin hanya mengucapkan iya dan basa-basi kenalan dengan Lisa. Canggung atau mungkin takut menyinggung.
"Jadi, Kakak ke Bandung cuma mau lihat aku klarifikasi?" Aku kembali mengintrogasi.
Kak Aldin mengangguk.
"Kenapa?"
"Karena kamu nggak mau kasih alamat rumah."
Aku menghela napas berat mendengar jawaban itu, Lisa justru menahan senyum. Tiba-tiba saja sesak hadir, memaksa aku mengingat caranua menangis. Rumah, tempat berteduh sesungguhnya yang merupakan impian semua orang, sudah lama jauh dari jangkauanku. Iya, apakah aku masih punya rumah? Apa pantas apartemen tempat berteduh dan tidur itu kuberikan alamatnya kepada Kak Aldin?
"Bukan untuk memastikan berita viral tentang aku?" tanyaku sinis, mengelak dari kesedihan dan rasa sakit yang tiba-tiba melintas seiring cuplikan ingatan pengalaman. Soalnya, sekali lagi Lisa melirik tidak suka.
Hobi banget sih belain Kak Aldin!
Laki-laki dengan rambut ala Tomingse itu tertawa pelan. "Aku cuma percaya sama kamu, Icha."
Shit, hampir saja aku berbalik dan memeluk Kak Aldin, kalau tidak ingat ada Lisa. Jawaban itu benar-benar membuat aku salah tingkah.
"Termasuk kalau aku bilang nggak punya rumah, dan tinggal di apartemen pinjaman Lisa?" pancingku.
"Iya," jawab Kak Aldin singkat.
"Termasuk DM dari Arif yang Kakak kirim waktu itu, sebenarnya rekayasa?"
"Lebih dari itu, Cha. Perasaan yang tidak bisa kamu ungkapkan karena kebodohanku, aku sangat percaya. Apalagi masalah hidup kamu" Kak Aldin bicara tanpa menghiraukan kehadiran Lisa. "Cinta yang membawa aku ke sini, Icha. Mempettemukan kita dengan cara yang tidak disangka-sangka."
Lisa marah nggak sih jadi obat nyamuk. Aduh, sementara doang, kok. Beruntung mobil tiba di butik, sehingga percakapan bisa diskip.
°°°°
Kak Aldin menggenggam tanganku sambil memilih baju harian yang langsung dipakai setelah dibayar. Genggaman itu kemudian dibawa ke dadanya supaya aku bisa merasakan deetak yang berlalu lebih cepat di sana.
"Aku pernah janji sama kamu, kan? Cha, kalau kita bertemu, aku bakal berhenti minum dan balik kayak dulu lagi." Kak Aldin terlihat sangat serius sekarang. "Tolong, Icha. Bantu aku memenuhi janji itu sambil menjaga kamu. Agar tidak lagi ada rasa sakit karena kita berjauhan."
Astaga, jantungku aman nggak ini? Apa terpantau cctv?bisa gawat kalau ketahuan mesra-mesraan di butik.
"Iya, Kak," jawabku singkat. Nyaris gugup nggak bisa mikir.
"Aku janji nggak akan nyakitin kamu, bakal terus jagain kamu untuk menebus semua rasa sakit kita, Icha."
Kak Aldin aja kali yang sakit, aku mah ogah.
Aku sudah tidak sanggup bicara, hanya isakan haru  mewakili perasaan.
"Cha, jangan nangis, dong. Aku mau kamu janji. Janji ya, tinggal di Jakarta lagi sama Mama dan Papaku?"
Apa aku bisa menolak? Apa aku diprank?
"Asal Kakak setia sama aku."
Kak Aldin mengangguk. "Sekarang kamu senyum!"
Menurut, aku mengulas senyum. Membiarkan jemari Kak Aldin mengusap lelehan air mata di wajahku.
"Nah, gitu. Kamu tu cantik kalau senyum!" pungkasnya, sebelum kami melanjutkan mencari baju yang tertunda.
TAMAT

Komento sa Aklat (663)

  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    8d

      0
  • avatar
    Sya Syi

    good

    09/03

      0
  • avatar
    LauraAweh

    sukakkkk bagus banget

    04/02

      0
  • Tingnan Lahat

Tapusin

Mga rekomendasyon para sa iyo