logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Video Call

"Memangnya kamu lihat apa, Icha?" Kak Aldin justru balik bertanya sambil terkekeh. "Alat lukis, laptop ..."
Sambil menggeser kamera, Kak Aldin berusaha menutupi gugup.
"Aku serius! Kakak jangan bercanda, deh!" potongku gusar.
Laki-laki berkemeja putih gading itu pun menghentikan tawanya, balik menatapku dengan serius pula. Detik kemudian ia mengambil sebuah botol kaca berwarna kehijauan, tapi berusaha menyembunyikan merk yang tertera. Dan, aku tidak bodoh mengetahui itu wadah apa.
"Ini?" tanyanya memastikan maksudku. "Cuma botol biasa, Cha. Sirup, kecap, atau air minum juga banyak yang ditaruh sini."
"Termasuk alkohol?" Pertanyaan tegasku membuat Kak Afdhal seketika tergagap. Namun, tetap bisa ngeles.
"Kamu ini kenapa, dah? Sekarang jadi paranoid banget."
"Kakak agak kurusan sekarang. Mulai suka minum? Emang berat banget ya masalahnya sampai harus lari ke minuman?" Aku tetap mencecar Kak Aldin.
Kak Aldin menggeleng, senyum lebar tidak lupa dia tambahkan supaya terlihat sangat baik. Padahal, jelas kamera handphone kesulitan berbohong menunjukkan kebenaran rentetan pertanyaanku.
"Icha, udah. Kakak nggak apa-apa. Ini ... ini cuma kalau lagi gabut. Nggak usah dibahas, ya. Kakak kangen banget sama kamu!" Kak Aldin mencoba mengalihkan pembicaraan, beranjak menjauh dari tempat duduk dekat botol botol yang kulihat tadi.
Gabut katanya, minuman keras solusinya.
"Enggak, Kak. Aku harus ngerti semuanya!" tegasku.
Kak Aldin tetap bersikap tenang, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia menyugar beberapa helai rambut yang menutupi mata, lantas berucap datar.
"Aku hanya melarikan diri dari penyesalan, Cha. Selama ini aku sudah menyia-nyiakan cinta kamu, sampai akhirnya kamu sangat membenciku. Caramu menghindar bukan saja membuat jiwa ini sadar, tapi juga tersiksa.
Aku sakit, Icha. Bener-bener ngerasain yang kamu alami selama ini."
Deg!
Apa yang Kak Aldin maksud adalah aku, dia mulai peka bahwa pahitnya mencintai memang nyata. Duhh, jadi ingin tahu banyak hal..
"Lalu?" tanyaku.
"Beberapa sahabat dekat menyalahkan aku gara-gara kamu, Cha. Hingga aku menjauh dari semua orang. Termasuk ... tertutup sama Mama." Kak Aldin mengakui.
Astaga, benarkah yang kudengar ini? Kalaupun iya, aku masih perlu bukti apakah semua ucapan Kak Aldin bisa dipertaruhkan atau tidak. Sebab, bagi laki-laki penulis itu, cinta dan pengakuan hanya satu atau dua puisi tertulis yang segera terlupakan. Sama sekali tidak penting.
Dengan ekspresi tenang dan menganggap pengakuan Kak Aldin hanya main-main, aku berusaha menggali kejujuran hatinya. "Terus, pacarnya Kakak?"
Jangan bilang Kak Naya sudah diputusin juga karena aku, soalnya Kak Aldin itu red flag sama suka nge prank.
"Putus!" jawab Kak Aldin singkat.
Jadi, Kak Aldin sudah menyakiti Kakak sepupuku?
"Icha, kamu kok kelihatan datar aja dari tadi? Nggak senang ya Kakak telpon?"
Aku tersentak dari pikiran singkat tentang Kak Naya, saat satu pertanyaan itu meluncur dari mulut laki-laki yang betah jadi pengamat di kamera handphone dengan alasan rindu. Buru-buru mengelak, meski sedikit tergagap. Aku tidak boleh memberi kesan buruk, tapi juga jangan sampai kelihatan berharap.
"Enggak. Aku ... aku biasa aja, Kak," ujarku.
"Kamu jangan bohong. Buktinya---"
"Maaf, Kak. Aku mau jalan, udah ditunggu teman," putusku. Tanpa menunggu Kak Aldin menjawab, video call langsung aku putus sepihak.
Huft, detak jantungku aman. Lebih baik menghindar daripada berdebat hal receh sama Kak Aldin. Dan sepertinya aku belum menemukan alasan yang tepat untuk bertanya tentang Kak Arhan.
Aku tidak mungkin bercerita semua persoalan di sini pada Kak Aldin juga. Membuat seseorang yang sangat dicintai khawatir apalagi repot, pantang bagiku. Lebih baik Kak Aldin tidak menemukan tempat tinggal dan informasi tentang aku, daripada kami sama-sama terluka nantinya.
Sebelum mengubah mode handphone menjadi silent, supaya tenang mengerjakan file kiriman Pak Bos dari email, aku menulis chat kepada Kak Aldin. Memintanya berhenti menyiksa diri dengan minuman keras. Meski jawaban laki-laki itu: baru mau berhenti kalau sudah bertemu aku.
Huft, beban pikiranku sudah terlalu banyak. Kenapa masih ditambah? Masa lalu ternyata tetap terhubung dengan masa depan, ya.
°°°°
Masih suntuk berada di rumah sejak ditelpon Kak Aldin, aku memutuskan pergi ke toko buku usai berkutat dengan laptop hampir seharian. Dengan panduan google maps, barangkali dua sampai tiga novel bisa mengalihkan pikiran yang dilanda kekacauan akut. Healing terbaik selain tidur adalah membaca. Soalnya pekerjaanku kan sama kayak healing. Jualan rumah.
Arif, kenapa aku harus dipertemukan dengan laki-laki labil itu, sih? Mau dibilang baik, over protektifnya membuat aku muak. Sementara Kak Aldin yang setengah mati aku hindari, justru berusaha mendekat dengan berbagai cara sekarang.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk. Saat aku memarkir sepeda motor di sebelah tiang penyangga papan nama besar bertulis TOKO BUKU AVATAR II. Dengan tergesa kuraih benda pipih itu dari tas untuk mengetahui akun sosial media mana yang mengusik lagi. Lupa nggak mode silent salahku tadi.
[Icha, kamu di mana? Kenapa pintu rumah dikunci?]
Astaga, baru juga dibatin nyebelin, orangnya chat. Makan apa aku seharian tadi bisa sial terus kayak gini, ya!
Kalau saja handphone bukan barang yang sangat dibutuhkan, rasanya aku ingin membuangnya saja ke laut.
[Jalan-jalan]
Balasku asal, kemudian memasukkan benda pipih itu kembali dalam tas. Hari yang cerah ini aku ingin membahagiakan hati, tidak boleh ada perusak mood sekecil apa pun. Kerja ya kerja, tapi nanti.
Ting!
Ting!
Lagi-lagi bunyi notifikasi itu seperti memburu detik, seperti tidak mengizinkan pikiran menikmati suasana tenang aku masuk toko buku. Tidak lama kemudian, dering penanda panggilan masuk, terus menerus menyusul, terpaksa aku berjalan dengan pandangan agak menunduk untuk meng-nonaktifkan handphone dalam tas.
Arif memang tidak bisa diam kalau tahu aku pergi dari rumah selain bekerja. Dikabarin saja masih rewel, apalagi ini tidak sama sekali. Dasar over protektif!
Bruk!
Karena terlalu fokus dengan umpatan dalam hati sambil mematikan handphone, aku jadinya menabrak seseorang. Tubuhku hampir oleng jatuh terduduk di lantai teras toko, kalau tangan tidak sigap dipegang orang yang aku tabrak. Sementara orang itu hanya isi paper bag saja yang terlempar dari tangan.
"Jalan pakai mata, dong! Untung gue cuma bawa buku!" hardiknya sebelum berjongkok memunguti beberapa buku yang berantakan.
"Ma-maaf, aku ... nggak sengaja," balasku tertunduk, malu campur takut dibentak-bentak.
Tanpa disuruh, aku langsung membantunya memberesi buku-buku itu, sambil mendengarkan dia marah-marah. Memang salahku juga sih jalan sambil melamun, di tempat umum seperti ini pula.
"Maaf, maaf! Emangnya kalau kotor bisa ganti apa? Dasar perempuan di mana-mana sama!"
Aku mendongak, menatap tepat ke iris coklat laki-laki yang berdiri sambil berkacak pinggang itu. Semula aku tidak terima dan hendak membalas kata-katanya. Tetapi .... seketika kami saling tunjuk dengan raut muka kaget luar biasa.
"Kamu?" ujarnya begitu bisa menguasai diri.
"Kakak?" Aku pun berucap hampir bersamaan.

Komento sa Aklat (663)

  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    8d

      0
  • avatar
    Sya Syi

    good

    09/03

      0
  • avatar
    LauraAweh

    sukakkkk bagus banget

    04/02

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata