logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Diam-diam Cinta

Aku menatap lekat Kak Arhan yang kebaikannya sudah melebihi saudara kandung sendiri, coba mencari maksud ucapannya barusan. Kalau aku jatuh cinta, berarti tugas untuk menjagaku kira-kira menjaga dari apa? Kan, aku sudah dewasa, bisa cari makan sendiri, terus bukan barang berharga juga.
Karena tidak menemukan satu pun jawaban yang meyakinkan, jadinya kuputuskan bertanya langsung.
"Maksud Kakak apa?"
"Icha, dengerin Kakak, ya!" Kak Arhan menatapku lekat, kemudian menjelaskan satu demi satu hal yang selama ini tidak pernah aku pikirkan sama sekali. "Kalau kamu jatuh cinta, dan pilihan kamu itu tepat, artinya kamu bisa hidup sendirian. Benar-benar mengatasi persoalan sendirian, tanpa sedikit sedikit melibatkan Kakak.
Bukan ngelepas tanggung  jawab ngejagain kamu sepenuhnya, sih, tapi berkurang aja intensitasnya. Sesuai pesan ibu kamu."
Panjang lebar Kak Arhan bicara, membuat air mataku tidak bisa ditahan lagi. Dulu, sebelum pergi ke ibu kota, ibu memang berpesan banyak hal kepada Kak Arhan, salah satunya menjaga aku dari pergaulan dan lingkungan buruk. Ibu sangat percaya, yang dititipi tanggung jawab juga tiap hari laporan.
"Jadi, nantinya Kakak bakal ninggalin aku?" tanyaku.
Kak Arhan menyeka air mataku, sambil tersenyum simpul. "Kakak akan tetep ngawasin kamu dari jauh."
"Enggak, aku nggak mau!"
"Cha, denger dulu--"
"Pokoknya enggak!" sentakku yang membuat Kak Aldin terdiam seketika. "Aku nggak mau punya pacar, kalau akhirnya Kakak yang ninggalin aku!"
Benar bukan? Lebih baik tidak mengenal apa itu cinta, kalau akhirnya orang yang menyayangiku lebih dari keluarga lepas tanggungan. Menjauh dan semakin jauh karena merasa orang yang dijaganya tidak lagi membutuhkan. Jelas aku memilih yang setiap hari ketemu, daripada pacar baru.
Beberapa saat diam, terdengar helaan napas berat dari Kak Arhan. Aku tahu dia sengaja mengalah supaya persoalan ini tidak dibahas lagi.
"Ya udah kalau gitu, nggak usah dibahas lagi, ya. Kakak nggak mau justru membebani pikiran kamu," ucapnya kemudian.
Aku tersenyum cerah. "Janji, Kakak tetap ada buat aku?"
"Janji!"
"Tetep nemenin terus?"
"Iya!"
"Makasih, ya, Kak!"
Kak Arhan lalu memelukku, saling memberitahu dalam diam kalau rasa sayang itu tidak akan luntur oleh apa pun. Saling menjaga, dan berjanji menghapus kata 'pergi' dari kamus kehidupan masing-masing 
Apa jadinya kalau aku harus hidup sendirian di ibu kota? Apalagi sedang merintis karir seperti ini.
°°°°
Satu Minggu kemudian di SMEA 16.
Lapangan voli yang berada di sebelah timur gedung kelas XI, pagi ini disulap menjadi arena hiburan. Sebuah panggung lumayan mewah dengan hiasan-hiasan cantik berada di tengah lapangan. Matahari yang sesekali diselimuti mendung September menjadi panorama keindahan tersendiri.
Sebentar redup, tidak lama kemudian panas, seolah merupakan gambaran perasaan siswa-siswi kelas akhir yang harap-harap cemas menunggu detik-detik perpisahan. Tampil di atas panggung memakai toga kebesaran, tentu menghadirkan kesan tersendiri.
Aku memang sengaja datang lebih awal dari waktu yang ditentukan panitia saat memberi undangan ke rumah tempo hari. Selain untuk mengenang masa putih abu-abu, di rumah sedang tidak ada kegiatan pengusir bosan. Daripada gabut sendirian, kan, ya.
"Kak Icha, nggak apa-apa datang lebih pagi nih?" tanya salah seorang siswi dengan tanda pengenal PANITIA ACARA yang tersemat di dada kirinya.
Dia duduk di sebelahku, sambil mengipas-ngipaskan potongan kertas karton ke wajahnya. Antara lelah dan senang jelas sekali dari ekspresi gadis itu.
"Nggak apa-apa. Lagian gabut juga di rumah, bingung mau ngapain," jawabku dengan senyum ramah.
"Oh iya, nama kamu siapa?" tanyaku sebelum gadis berkemeja almamater di sebelahku merespon.
"Rena, Kak," jawabnya, kemudian mengulurkan tangan.
"Jadi panitia capek, ya?"
"Lumayan, tapi seneng!."
Tanpa aku minta, Rena bercerita senang dan lelahnya menjadi panitia perpisahan sekolah. Apalagi dia sudah ditunjuk bagian terpenting OSIS sejak kelas X. Tidak lupa Rena juga memberi tahu urutan acara pagi ini, meskipun pening mengurus persiapan sejak jauh hari, tetap saja ada perasaan puas tersendiri.
Sambil bertukar cerita, kami juga bertukar nomer WhatsApp. Beberapa kali berhenti bicara karena fokus membalas pesan di media sosial masing-masing. Wah, ternyata Rena mulai jadi selebgram, folloersnya lumayan. Namun, aku tersentak saat melihat postingan terbaru instagram Kak Arhan. Tidak sengaja lewat beranda.
Kakak ketemu dewasa rasa saudara kandung itu beberapa menit lalu mengunggah sebuah foto dengan caption 'ketemu teman lama. Orang Indonesia blasteran Belanda, yang nggak bisa bahasa Belanda.'
Lah, itu kan foto Kak Arhan sama cowok turunan alien. Kok, mereka bisa kenal?
[Kak, itu yang di Instagram, foto bareng siapa?]
Kuputuskan bertanya melalui pesan WhatsApp, daripada penasaran akut. Beneran Kak Aldin si tukang nyinyir, apa mirip doang, gitu.
[Aldin]
Balasnya selang hitungan detik.
Aku mengetik pertanyaan lagi, tapi chat susulan dari Kak Arhan mendahului.
[Dapat salam dari Aldin]
[Dia mau ke situ nemuin kamu, katanya]
Salam? Dari Kak Aldin? Yang bener aja, sih. Setengah hatiku tentu saja menolak mentah-mentah, calon musuh bebuyutan itu ngapain juga pakai salam salam. Setelah tidak berhasil minta maaf langsung, sepertinya dia menggunakan trik lain untuk mendekati aku, yaitu meminta sukarela teman baiknya jadi makcomblang. Namun, sisi hatiku yang lain berbunga-bunga. Sangat menyenangkan sebentar lagi bertemu Kak Aldin.
Astaga, Icha! Kamu nih kenapa?
[Kakak udah lama ya kenal Kak Aldin?]
Lebih baik aku kepoin hal penting ini, daripada pikiran halu tidak jelas ke mana.
[Teman sejak SMA]
[Dari SMA dia nyebelin, nggak, Kak?]
Aduh, keceplosan. Mana sudah terlanjur centang dua warna biru. Ya sudah aku tambahin emoticon nyengir saja sekalian, dan bersiap menunggu pertanyaan balik dari Kak Arhan.
[Kenapa, Cha? Kamu pernah digangguin, ya?]
[Kenal Aldin di mana?]
[Cuma tanya]
[Awas main rahasia-rahasiaan sama Kakak!]
[Pacarnya Aldin tu banyak, Cha]
Lah, emang siapa yang nanya pacar? Kalau pacarnya ada di setiap kota di Indonesia pun, tidak ada hubungannya sama aku.
[Awas, nggak mau ngaku. Kakak tanya langsung ke Aldin, nih]
Ya ampun, pakai diancam! Iya kali aku ngadu kalau sempat menjadi korban bullying ... eh, korban toxic tempo hari. Bisa ribet urusannya nanti.
[Sebenarnya iya, tapi Kakak jangan bilang, ya]
Karena pembawa acara sudah memanggil namaku, dan Rena mengingatkan jam tampil, terpaksa kumatikan handphone saat Kak Arhan mengetik balasan. Menuju panggung, tidak sengaja aku melihat seorang laki-laki berkemeja biru donker melambai di kejauhan sana.
Kak Aldin?

Komento sa Aklat (665)

  • avatar
    ZᴇʀᴏKɪɴɢ

    nice app

    1d

      0
  • avatar
    RayraChrisyra

    lucuu bingitt

    2d

      0
  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    12d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata