logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 9

Sore hari,  Arba,  Arman  dan ibunya mengunjungi makam ayahnya. Sudah hampir satu bulan mereka tidak berziarah karena belum ada waktu, maka kesempatan kali ini mereka  gunakan. Arba, Arman menaburkan ke makam ayahnya secara bergantian. Setelah itu, mereka memanjatkan doa. Tangis mulai pecah  saat Juli teringat mendiang suaminya. Kadang, Juli merasa merindukan kenangan bersama suaminya dulu. Ya, susah senang dilalui bersama semenjak awal pernikahan sampai membesarkan anak kembarnya. Tetapi takdir berkata lain, suaminya harus meninggalkan semua karena sakit keras yang dideritanya sejak lama.
  Sejak saat itu, Juli menjadi tulang punggung untuk Arba dan Arman dengan menitipkan jajanan pasar pada tetangganya bahkan sampai ke pasar. Mengandalkan warisan suaminya tidaklah cukup  sebab kebutuhan yang semakin banyak, ditambah lagi untuk biaya kedua anaknya.
“Andai ayah masih hidup,” gumam Arba, menunduk.
“Sudahlah, kita harus mengikhlaskan kepergian ayah,” jawab Juli pada Arba.
“Iya, Ba, benar kata ibu,” sahut Arman sambil menepuk bahu saudara kembarnya.
Setelah selesai, akhirnya mereka pulang dengan berjalan kaki. Ya, karena jarak dari rumah ke pemakaman tidaklah jauh, kira-kira sepuluh menit dari rumah.
Sesampainya di rumah, Arba duduk di ruang tamu begitu pula dengan Arman. Mereka saling melamun sehabis dari pemakaman ayahnya. Kadang ada rasa iba pada ibu mereka yang berjuang mati-matian untuk menghidupi keduanya.
“Apa gue berhenti kuliah aja, Man,” ucap Arba tiba-tiba membuat Arman tercengang.
“Kenapa lo bilang gitu? Ibu udah bilang lo fokus kuliah aja, Ba.”
Arman mencoba memberi pemahaman pada Arba supaya dia fokus kuliah dan menurut apa yang dilontarkan ibunya beberapa minggu yang lalu.
“Gue kasihan sama ibu, lo pernah mikir nggak, sih, kita kuliah biaya mahal apalagi biaya kuliah kita berdua, kalau salah satu dari kita berhenti kuliah  dan bekerja setidaknya beban ibu jadi ringan, nggak berat,”  Arba hanya berkeinginan membantu ibunya supaya beban hidupnya tidak berat jika salah satu anaknya ada yang bekerja.
Arman mengangguk paham dan sebenarnya dia berpikiran sama dengan apa yang dipikirkan saudara kembarnya.
“Masalah kuliah biar ibu yang tanggung. Sudah menjadi tanggung jawab orangtua membiayai anaknya,” sahut Juli tiba-tiba yang tak sengaja mendengar percakapan antara Arda dan Arman.
“Iya, Bu,” jawab Arman dan Arba serempak.
***
Drt
Drt
Drt
Ponsel Arman bergetar dan dengan cepat dia pun mengangkat panggilan telepon.
"Halo,  ini siapa?" tanya Arman lewat telepon.
"Ini Felisa, Man. Kamu malam ini ada acara?"
Jantung Arman berdetak kencang, dia tak menyangka yang meneleponnya adalah sosok gadis yang dia taksir selama ini.
"Nggak, kenapa?"
"Aku mau ngajak kamu jalan, Man."
"Bisa, bisa. Nanti aku ke rumah kamu, deh. Jam berapa?"
"Habis Isya. Aku tunggu, Man. See you."
Arman menutup sambungan telepon sambil jingkak kegirangan.
“Gue seneng banget!” teriak Arman membuat Arba segera menghampiri saudara kembarnya.
“Kenapa seneng gitu?” tanya Arba.
“Gue mau jalan sama cewek yang gue suka, tadi dia telepon. Mimpi apa gue semalam,” Arman menjitak kepalanya sendiri, rasanya seperti mimpi diajak jalan orang yang dia sukai.
“Cewek macam apaan, tuh,  cewek ngajak cowok, harga dirinya di mana?” celetuk Arba.
Bukan bermaksud iri, tapi bagi Arba perempuan yang berani mengajak laki-laki jalan terlebih dahulu merupakan hal yang tabuh dan tak patut. Bukankah kodrat seorang perempuan menunggu?
“Sirik aja! Ini udah zaman milenial, Bro, bukan zaman Siti Nurbaya ,”  Arman mencibir pemikiran Arba yang dirasanya masih kuno.
“Sukses aja jalannya. Hati-hati sama cewek zaman sekarang , banyak yang modus!” Arba mengangkat bahunya acuh, lalu memilih untuk menghabiskan sisa  sore  untuk menonton televisi.
***
Seperti apa yang sudah dijanjikan, Arman mendatangi rumah Felisa. Sesampainya di sana, Felisa sudah menunggu di depan rumah. Terlihat gadis itu memakai baju merah yang serasi dengan warna hijabnya.
“Sudah lama nunggunya?”  Arman memberikan helm pada Felisa, dan gadis itu menggeleng. “Belum.”
“Ini kita mau jalan ke mana?” tanya Arman  lagi.
“Makan malam di kafe Bunga, kamu yang traktir,  ya, Man?” Felisa tertawa, padahal dia hanya bercanda, sedangkan Arman hanya mengangguk tanda menyanggupi.
“Ayo naik.”
Felisa segera naik ke belakang jok motor dan perasaan Arman kembali berdebar, masih tak percaya jika saat ini dirinya sedang memboncengkan gadis yang diidamkan selama ini.
Tak berselang lama, mereka sudah sampai kafe yang dituju. Arman segera memarkirkan kendaraan dan masuk ke kafe bersama Felisa. Mereka duduk dan memesan makanan. Sambil menunggu makanan tiba, Felisa membuka pembicaraan tentang Arman yang sekarang lebih pintar dibandingkan kemarin-kemarin.
“Aku salut sama kamu sekarang, Man, kamu lebih pintar, aku jadi tambah suka sama kamu,”  celetuk Felisa membuat Arman yang mendengarnya kecewa. Bagaimana tidak? Yang dimaksud ‘pintar’ adalah Arba bukan dirinya. Arman hanya tersenyum  getir menanggapinya. Kenyataan pahit saat yang dipuji seseorang yang kita dambakan bukan kita.
Akhirnya makanan datang dan  mereka segera menyantap hidangan yang ada di meja. Ucapan Felisa masih teriang-iang dalam kepalanya, tetap saja ada rasa kecewa yang terselip.
Arba memang selalu jadi yang terbaik, batin Arman.
Seusai makan malam, keduanya memilih langsung pulang karena waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Lima belas menit kemudian, sampai ke rumah Felisa, Felisa segera turun dari  motor dan sebelum masuk ke dalam rumah Felisa melambaikan tangan ke arah Arman, Arman pun membalas lambaian tangan gadis itu.
Sesampainya di rumah, Arman menceritakan semuanya. Arba yang mendengar cerita saudara kembarnya hanya tertawa dan malah meledeknya habis-habisan.
“Apa gue bilang, dia ngajak makan malam ada maunya. Kasihan bin tragis. Mana yang dia maksud itu gue, bukan lo. Dua kali tragisnya,” cibir Arba.
“Sial!” Arman sedikit kesal, dia merasa tak ada gunanya dihadapan orang yang didambakan. Benar yang dilontarkan Arba, yang dimaksud oleh Felisa tetaplah Arba bukan dirinya walaupun yang Felisa tahu itu adalah Arman.
       "Udah terima kenyataan aja. Inget kata gue, cewek yang bener-bener cinta sama lo bakalan nerima lo apa adanya," Arba memberi nasihat.
Arman hanya mengangguk.
"Nggak usah kecewa gitu, dan sadar diri," ucap Arman pada akhirnya.
"Semangat!" Arba menyemangati Arman yang tengah dirundung kekecewaan yang amat dalam.
"Semangat!" Arman tersenyum sambil merangkul Arba.
"Gue pengin jadi asdos di kampus lo, Man," ucap Arba. Jujur dia sudah lama ingin menjadi asdos, karena yang dia tahu menjadi asdos mendapat bayar dan satu lagi menambah keberanian untuk berbicara antar satu sama lain.
"Yakin?" Arman memiringkan senyum, dia senang dengan semangat Arba yang selalu mengebu-gebu.
Arba hanya mengangguk antusias, dan mulai semester depan dia akan mendaftar sebagai asdos.

Komento sa Aklat (210)

  • avatar
    Leni Meidola Putri

    cerita nya sangat menarik

    28/05/2022

      0
  • avatar
    channelBASRI PUTRA

    semangat dan semoga ke depannya akan ada terus cerita cerita yang lebih menarik.!!!

    22/12/2021

      0
  • avatar
    JuniantoRizki

    bgs

    21d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata