logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 4. Cacing Dan Gosip Tetangga

"Sifat tamak manusia berasal dari perut yang lapar, hati yang gundah, dan jiwa yang gelisah. Katanya"
[Asoka- MATA CUAN]
***
Asoka POV:
Ini adalah pagi pertamaku bangun dalam keadaan menjadi seorang pengangguran sejati, hari yang biasanya kukejar dengan semangat kini telah sirna.
Perut kosongku berbunyi nyaring, menandakan makhluk-makhluk lain yang bersarang diperutku mengamuk minta untuk di puaskan.
"Arghh.,, " Aku menggerang tak tahan, entah mengapa hatiku merasa sangat kesal dan frustasi. Aku merasa belum Terima mengapa aku dipecat, hei apakah kalian sependapat denganku?
"Lapar" Ringisku sembari melihat uang receh di dompetku, sepertinya hari ini aku harus puasa.
"Coba kalau enggak bikin Arifin kesel, udah deh aku bakalan minta makan sama dia." Gumamku menyadari ketololanku kemarin.
"Apa aku coba telfon aja kali ya? "Gumamku, lalu kuurungkan kembali.
Semakin lama perutku semakin terasa perih, cacing-cacing diperutku semakin lama semakin beringas minta di beri makan. Mungkin jika cacing-cacing dalam perutku bisa bicara dan berwujud manusia dia pasti telah menggerebek ku dan menuntut ku seperti buruh-buruh negri ini yang lapar.
Jika cacing-cacing ini memiliki kaki, ia pasti telah lari keluar dari perutku dan menjarah toko-toko makanan terdekat demi memuaskan hasrat laparnya.
Jika berjenis kelamin, cacing-cacing ini pasti memilih jenis kelamin pria agar ia dapat bergerak menjarah uang-uang pemerintah, mengeruk sebanyak mungkin makanan didunia ini dan menuntut semaksimal mungkin rasa lapar ini untuk segera di tepati janji makannya.
Ah tamak sekali cacing-cacing ini, bah mereka tidak tahu saja nona nya ini sedang berhemat hari ini ia tak punya cukup banyak uang untuk membeli semangkuk mie. Kau sungguh-sungguh drama wahai cacing-cacing sialan.
Tuk
Tuk
Tuk
Pintu kamarku diketuk oleh seseorang diluar sana, aku yang sedang lapar entah mengapa rasanya ingin berteriak semakin kesal.
"Siapa sih nggak tau apa kalau aku lagi menenangkan para budak durjana, yang setiap hari kupekerja rodikan. Cacing-cacing sialan, bukanya seneng nggak dikasih makan itu kan tandanya kerjaan mereka hari ini selow eh malah ngeberontak" Keluhku sembari berjalan kearah pintu, wajahku yang cemberut tak kusembunyikan.
"Hay" Kata seorang perempuan cantik didepan kamar kos ku, entah aku tidak mengenalnya. Anak baru mungkin.
"Saya adik sepupu tetangga sebelah" Sambungnya seolah mengerti isi otaku, waw hebat.
"Ini," Katanya sembari menyerahkan bungkusan besar entah apa isinya, "Ini ada sedikit bingkisan dari syukuran rumah baru Bang Lukman, mohon maaf ya mbak kalau selama seminggu ini jadi tetangga baru bisa bersilaturahmi" Kata Perempuan didepanku ini, ah aku baru ngeh ternyata tetangga sebelah yang di maksud adalah Lukman, ah iya.
"Terimakasih mbak" Aku tersenyum kikuk, ucapan terimakasih dan ramah tamah lainya secepatnya ku lontarkan, malu dong.
"Kalau begitu saya permisi mau lanjut ke kos sebelahnya ya mbak, ehmm dengan mbak atau Kak siapa kalau boleh saya tahu?" Katanya mengulurkan tangan.
"Asoka, " Jawabku "Kakaknya? " Tanyaku sopan
"Rimbi, Arimbi" Tegasnya lagi, ia tersenyum sembari menjabat tanganku kuat.
"Semoga kelak kita bisa bertemu kembali ya mbak, Mudah-mudahan bisa berteman" Katanya lagi, aku hanya tersenyum seadanya. Ya kali mau ketemu lagi, belum tentu.
"Saya permisi" Pamitnya.
Baru saja selesai menutup pintu kamar suara keras dari toa cacing-cacing didalam perutku berbunyi sangat nyaring, duh!.
"Iya! iya! Sabar kek jadi cacing! " Keluhku.
***
"Tumben nyaranin tanaman mbak sore-sore gini?" Salah seorang ibu berdaster kebesaran yang tak kuketahui namanya menyapaku yang saat ini tengah mencoba mencari kesibukan, salah satunya dengan cara menyiram tanaman dihalam kos.
"Hehehe, biar seger bu" Jawabku yang sebetulnya sangat malas, tanpa sengaja mataku menangkap sosok tetangga yang tadi pagi telah berbaik hati mengirim boxs berisi makanan dan cemilan lainya, Alhamdulillah dua hari ini perutku aman.
"Mas Lukman!! " Teriaku sok ramah, ah itu bukan aku sekali.
Lukman nampak menyunggingkan senyumnya sekilas dan berlalu pergi, apa-apan?!
"Mbak kenal sama Mas ganteng itu? " Kata Ibu berdaster tadi, kulihat ibu itu nampak memperhatikan kepergian Lukman.
"Mbak tau Namanya dari mana? kok saya ndak tau ya" Katanya lagi sembari memeras cucian basahnya.
"Oh.. kebetulan tadi pagi saya dapat hantaran dari adiknya bu, ibu dapat juga kan?" Jawabku yang sebetulnya sangat malas menimpali, ah ini pasti akan terjadi pergosipan khas emak-emak berdaster.
"Ohh iya, saya juga dapat mbak tapi kok saya curiga ya mbak. Apa iya itu cewek yang tadi pagi sepupunya? kok rasa-rasanya kayak aneh dan janggal ya mbak?" Nah, mulai deh.
Aku ingin lari dari tempat ini, gosip seperti ini buka gayaku, sebab bukan tidak mungkin jika diluar sana mereka juga akan menggosiokanku seperti ini, malas sekali.
"Yah ibu, nggak boleh Suudzon. Sepupu jauh kan bisa, lagian jaman sekarang kakak-adik aja banyak loh bu yang nggak mirip" Kataku sembari menggulung selang air, setelah ini aku harus cepat-cepat kabur.
"Ya tapi masa iya mbak, udah pindah satu minggu sukuranya baru sekarang? kayaknya mas sebelah gayanya bukan kayak orang miskin deh mbak. Mbak yang tadi aja cakep banget, badanya kurus tinggi, langsing, putih cantik. Terus bajunya kayak mahal. Masa ya iya sukuran baru hari ini" Katanya lagi, aku tak begitu menghiraukan.
"MBAK! eh Mbak, apa jangan-jangan itu perempuan simpanan ya mbal? " Tuding ibu tadi, aku hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala.
Fikiran bodoh macam apa itu?!
"Mohon maaf ya bu, jika seandainya saya berada di posisi perempuan tadi saya tentu akan lebih memilih menjadi simpanan DPR daripada menjadi simpanan seorang lelaki biasa aja seperti Mas Lukman itu" Kataku sembari menatap rumah sederhana depan kos ku ini. Apa pula lah, ada -ada saja mulutku berkata.
"Itu jika aku menempatkan posisi perempuan tadi, dan juga menempatkan posisi sebagai simpanan. Beda lagi jika aku ehmm maksud Soka, Saya. Jika saya menjadi sepupu Mas Lukman dan saya di fitnah sekeji ini dengan sebagai hati saya akan menuntut dan menjebloskan ibu dengan tuduhan pencemaran nama baik. Hayolo.. Apa ibu mau? " Kataku terdengar nglantur dan ngawur, ah biarkan saja daripada ibu ini terus-terus membuat telingaku sakit.
"Mbak Soka ini, nggak asyik!! " Katanya kesal, tak lama kemudian ibu berdaster itu pergi meninggalkan ku yang tersenyum penuh kemenangan.
Tanpa kusadari, ekor mataku menangkap sebuah siluit perempuan dari balik jendela rumah Mas Lukman. Disana Arimbi tersenyum menatapku, ia mengangguk hingga tak lama kemudian ia meninggalkan tempat itu.
"Apa mungkin Arimbi mendengar semua percakapan kami? Ya Allah, apa nggak sakit banget ya baru datang udah di julidin." Gumamku, turut prihatin.
Beginilah menjadi seorang warga negara yang tinggal dilingkungan dengan tingkat kekepoan penduduknya sangat tinggi nanti julid, yang hobinya mengkritik tapi enggan di kritik.
Merasa menjadi manusia paling tahu segalanya, namun lupa bahwasanya segalanya kadang tak perlu mereka tahu. Bahkan tak jarang jika banyak diantara mereka yang sangat suka mencari celah kesalahan, kehinaan atau bahkan mengorek dan membumbui keburukan orang lain tanpa mereka sadari bahwa diri mereka jauh lebih hina daripada orang yang mereka hina.
Ah, Lagi-lagi aku ingin berteriak keras mempertanyakan kepada langit terkait negri ini.
"Sudah Merdeka kah negri ini, atau justru kami masih terjajah? bukan dengan pedang melainkan dengan mental-mental bobrok yang kemudian digiring dan di cekoki dengan kepuasan fana?
Apakah begitu? "
Apakah bergosip bagian dari rencana ini wahai langit?
Jika memang iya makasih selamat atas keberhasilannya menghasut dan mencekoki otak-otak kami dengan sejuta balok-balok maya.
"Lagi ngapain kamu? " Tanya Arifin mengagetkanku, lah kapan datangnya?
"Setengah jam yang lalu, saat kamu aku telfon dari pagi nggak di angkat, di klakson nggak di bukain pagarnya, di ketuk pintu kamarnya nggak di buka. dan ini? Kirain tidur, nggak taunya lagi ngelamun sambil maju- mundurin bibir. Gak jelas" Kata Arifin panjang lebar, lah emang iya?
"Pakai bajumu, abis itu kita pergi ke Amplas"Ultimatum Arifin, ia lalu berjalan meninggalkanku dengan ketololanku.
Dengan gerakan yang sangat pelan, mataku turun kebawah dan mencoba memastikan keadaanku dan Yap betapa tololnya aku, saat ini aku hanya terbaring dengan hotpant dan bra hitam saja.
"WHAT THE PURPLEGUM" Teriakku kencang.
***
Bersambung, ...

Komento sa Aklat (161)

  • avatar
    PerwatiNunu

    good

    23d

      0
  • avatar
    LakambeaIndrawaty

    👍👍👍

    26/07

      0
  • avatar

    mais ou menos

    07/05

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata