logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Curiga

Aku tersenyum senang, dengan jari-jari yang terampil mengikat tali sepatu. Setelah mengikat rapih tali berwarna putih itu, aku berdiri berjalan-jalan kecil, mondar-mandir di dalam kamar.
“Aku benar-benar tidak sabar masuk ke kelas baru!”
Suara pintu terbuka pun terdengar.
Seorang dari dalam kamar mandi keluar. Aku menghentikan langkah kakiku, menengokkan kepalaku pada pria yang baru saja selesai mandi itu. Tubuh pria itu sedikit atletis, dengan rambut hitam yang sedikit basah.
Dia tampak menawan di mataku, membuat aku secara tidak sadar terus menatapnya yang kini tengah menggunakan kaos putih polos dan celana bahan berwarna putih.
"Selamat pagi Ray!"
Dia tersenyum singkat. Matanya yang indah berwarna coklat itu menerawang, naik ke atas dan ke bawah, melihat penampilanku. "Semangat sekali. Ini belum jam delapan pagi."
"Hehe. Aku tidak sabar untuk masuk ke kelas," ujarku kemudian duduk di ranjangku.
Dia ikut duduk, di depan ranjangku. "Kita harus sarapan dulu. Baru nanti jam sembilan kelas mulai."
Aku menganggukkan kepalaku mengerti, kemudian mengecek isi tasku lagi. Memeriksa apakah sudah lengkap semua atau belum.
"Hari ini pelajaran simpati dan empati," ujar Ray tiba-tiba sambil berjalan ke arah lemari pakaiannya.
Aku memiringkan kepalaku, bertanya sesuatu pada pria tersebut. "Dari mana kau tahu itu?"
"Wali kelas kita memberitahuku semalam lewat surat."
"Surat? Aku tidak pernah tahu kalau semalam kau diberikan surat," ujarku dengan mata yang memicing curiga.
Aku berjalan menghampirinya, berdiri di sampingnya dengan raut wajah cemberut, berupaya untuk mendapatkan penjelasan.
"Aku mendapatkan surat itu ketika kau sudah tidur," ujarnya jelas dengan senyuman miring.
"Mana suratnya? Aku ingin lihat!"
Seperti tidak mengindahkan perkataanku. Pria yang lebih tinggi dariku itu cuek, membalikkan badanku untuk menghadapnya. Dia menundukkan wajahnya, mensejajarkan wajah tersebut dengan wajahku.
"Ayo kita sarapan."
Dia berlalu, melewatiku begitu saja tanpa memberitahu jawaban yang aku inginkan.
"Dasar menyebalkan."
***
Kembali lagi dengan suasana yang sunyi, seperti pemakaman di siang hari. Aku mengetuk-ngetukkan sendokku kesal, ketika merasakan hawa kebosanan mulai menyelimuti tubuh dan pikiranku.
"Makan yang benar, dan cepat habiskan. Kau bilang ingin cepat ke kelas, kan?"
Aku mengangguk pasrah, mendengar penuturan pria bersurai hitam di depanku ini.
"Bahkan dia juga tidak membantu," batinku ketika melihat pria bersurai hitam itu yang santai nan tenang menikmati sarapan pagi.
Tidak ada suara teriakan, tidak ada keributan, tidak ada obrolan sesama penghuni asrama. Suasana yang sama, dengan makan malam kemarin.
Aku menghela napasku pasrah, kembali melanjutkan sarapan pagiku.
***
Setelah melewati beberapa menit suasana bosan tersebut, akhirnya kami berdua melangkah keluar dari kantin menuju ruang kelas.
Langkah kakiku cepat. Bahkan bisa dibilang berlari, menuruni tangga asrama ini.
Karena saking tidak sabarnya ingin masuk ke dalam gedung sekolah yang terletak di depan asrama. Gedung sekolahnya lebih kecil, dibandingkan asrama. Desain dan catnya sama dengan asrama, berwarna putih, dengan banyak jendela di lorong-lorongnya.
"Hei tunggu!"
Aku bersenandung senang, tidak menghiraukan teriakan yang menggema di lorong putih asrama ini. Langkah kakiku sangat cepat, hingga tak terasa sudah berada di lantai dasar asrama.
"Aku ingin cepat sampai aku tidak sa--"
Ucapanku terputus, ketika merasakan sebuah tangan besar yang menggenggam erat tanganku. Dia menatapku khawatir, dengan bibirnya yang sedikit bergetar terlihat seperti ketakutan.
"J-jangan b-berlari seperti itu," lirihnya yang perlahan mulai melepaskan tangannya dari pergelangan tanganku.
Aku menatapnya khawatir, menatap wajah pria bersurai hitam yang nampak sudah sedikit tenang.
Dadanya naik turun, hembusan napasnya sedikit berat.
Aku berinisiatif, meletakkan tangan kananku ke pundaknya. Menepuk-nepuk bahunya pelan. Berusaha menyalurkan rasa semangat dan tenang pada pria tersebut.
Dia mendongakkan wajahnya menatapku. "Hahahaha."
Aku mengernyitkan dahiku bingung. Menatap pria itu yang tiba-tiba saja tertawa, membuatku sontak menarik tanganku dari bahunya yang lebar.
"Kenapa dia tertawa?" batinku bingung sekaligus takut.
"Maafkan aku. Kau pasti khawatir," ujarnya dengan senyuman lembut.
Aku mengerjap-ngejapkan mataku. Bingung ketika melihat pria ini tertawa dan tersenyum secara tiba-tiba.
"U-uh Oke?" ujarku ragu-ragu.
Dia tertawa kecil lagi, kemudian melangkahkan kakinya maju meninggalkan aku yang bingung di belakang.
Aku bingung, menatap datar punggung pria di depanku yang kian menjauh. Setelah menata isi kepalaku, kedua kakiku berlari, mengejar pria yang telah jauh berada di depan.
"Tunggu!"
Teriakanku menggema, beriringan dengan suara derap kaki yang melangkah menuju pintu depan asrama.
***
"Ini kelasnya!" seruku ketika melihat pintu kelas bertuliskan nama "Lily".
Pintu berwarna putih bersih itu ku geser. Memperlihatkan beberapa orang yang telah ramai mengisi beberapa meja dan kursi yang telah disediakan di ruangan putih bersih.
Aku memundurkan langkahku ragu. Entah kenapa, memasuki ruang kelas ini rasanya aneh.
Entah itu karena suasananya yang hening, atau karena ruangan yang bernuansa putih layaknya rumah sakit.
"Karin, kenapa?"
Ray menepuk bahuku. Dia menatapku khawatir, ketika melihat gelagat aneh dariku. "Kenapa suasananya mirip sekali dengan di kantin?"
Dia tersenyum lembut, kemudian mendorong pelan tubuhku untuk masuk ke dalam ruangan kelas yang penuh dengan manusia berseragam putih-putih berjumlah sepuluh orang.
"Ayo duduk di sini," ujar pria bersurai hitam itu dengan tangan yang menepuk-nepukkan meja paling depan.
Aku menurut, kemudian duduk di kursi meja tersebut. "Rasanya dingin sekali. Padahal tidak ada kipas di sini. Apakah ini karena suasananya?"
Ray mengangkat bahunya tidak peduli, kemudian duduk di sampingku. "Entahlah, aku juga tidak mengerti."
"Kau sedari tadi tidak menjawab pertanyaanku. Kau menyembunyikan sesuatu padaku ya?" tanyaku dengan kedua mata yang memicing curiga.
Dia tertawa pelan, melipat tangannya di meja untuk bantal kepalanya. "Kenapa kau merasa seperti itu?"
Aku berdecih sebal, ikut menidurkan kepalaku di lipatan tangan yang ku buat di atas meja. "Habisnya ini semua aneh. Kantin sunyi, ruang kelas juga sunyi."
Dia tersenyum miring, meletakkan sebelah tangannya di kupingku. "Jangan memikirkan hal yang berat seperti itu ...."
Tubuhku menegang ketika merasakan jari-jarinya pria itu, memainkan helai rambut hitamku yang terus menerus turun menutupi wajahku.
"Itu bukan hal yang berat, aku rasa." Aku berdecih pelan, mengerucutkan bibirku kesal.
"Orang di depanku ini benar-benar seperti menyembunyikan sesuatu," pikirku seraya memperhatikan pria bersurai hitam di depanku yang tengah asyik memainkan rambut hitamku.
"Untuk seseorang sepertimu, itu permasalahan yang cukup berat. Aku tidak ingin kau memikirkan hal-hal berat seperti itu dulu. Oke?"
Manik kecoklatan indahnya menatapku. Kami berdua bertatapan, saling menyalurkan perasaan yang tidak bisa ku mengerti ini.
“Kenapa?”
Kata itulah yang terbesit langsung di kepalaku. Kalau orang-orang mengalami sesuatu aneh seperti ini, mungkin akan bertanya-tanya juga ya, kan?

Komento sa Aklat (47)

  • avatar
    AqilMuhammad

    I so like it and its the novel

    1d

      0
  • avatar
    Dimaspryoga

    NOVEL NYA SANGAT BAGUS

    22/07

      0
  • avatar
    AdiAfriadi

    yes

    18/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata