logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Diajak?

Untung saja Sansan sudah siap dengan penyamarannya sebelum Zidan datang. Ia tinggal merapikan rambutnya sedikit lagi. Setelah dirasa siap, Sansan melangkah keluar. HP-nya sudah berdering, menandakan jika Zidan sudah sampai.
"Hai," sapa Sansan tersenyum manis. Zidan hanya menghela napas pelan.
"Ada apa?" tanya Zidan.
"Aduh, itu nanti aja. Sekarang kita bersenang-senang dulu," ucap Sansan.
"Aku tidak punya banyak waktu."
"Ah, masa? Bukannya kamu menikmati waktu bersamaku?" Sansan mendekatkan badannya, lalu bersandar. Tangan Sansan membelai pipi mulus Zidan. 
Tatapan Sansan yang tak beralih sedikit pun dari Zidan membuat pria itu ikut terpana. Wanita itu jika dilihat dari dekat memang sangat cantik. Zidan meneguk salivanya susah. Kenapa ia mudah sekali terpikat?
"Zidan, aku mau kamu menikahiku," ucap Sansan lembut, semakin membuat Zidan menegang.
"Aku tidak bisa menikahi orang yang tidak aku cintai," ucap Zidan cepat.
"Oh, ya?"
"Ya. Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena kamu adalah seorang wanita penggoda," ucap Zidan tak memikirkan perasaan Sansan. Tentu saja Sansan marah mendengarnya, tetapi ia tahan.
Sansan lalu mengambil HP-nya. HP khusus untuk ia menjadi Sansan, karena HP sebagai Zidny beda. 
"Jadi, kamu tidak mau menikahiku?" tanya Sansan.
"Tentu saja tidak," jawab Zidan langsung tanpa basa-basi.
"Oh, apa kamu yakin?" tanya Sansan memutarkan satu video dari HP-nya yang diperlihatkan pada Zidan. 
Mata Zidan melebar saat melihat video itu, refleks tangan Zidan akan mengambil HP Sansan, tetapi wanita itu langsung menjauhkan HP-nya.
"Kenapa? Takut?"
"Darimana kamu dapat video itu?"
"Kamu nggak perlu tahu."
"Tapi kenapa bisa ...."
"Sudah kubilang, kamu nggak perlu tahu." Sansan tersenyum sinis. "Jadi, gimana? Kamu mau nggak menikahiku?"
"Ak--aku nggak bisa. Aku ...."
"Kenapa? Kamu harus tanggung jawab!"
"Tapi aku gak bisa menikahimu tiba-tiba."
Sebenarnya Sansan tahu alasan Zidan, karena ia sudah menikah, tetapi Sansan ingin saja mengganggu pikiran Zidan. 
"Oke." Sansan berpikir sebentar. "Hm ... gimana kalau ... kamu belajar mencintaiku dulu, karena jika kamu sudah cinta sama aku, kamu mau menikahiku, kan?"
"Aku tidak bisa berjanji untuk itu, Sansan. Aku sudah sulit untuk jatuh cinta."
Sansan mengelus paha Zidan pelan. "Ya, aku paham, izinkan aku mengobati luka di hatimu. Aku akan jadi penyembuh." 
"Tidak usah, Sansan."
"Tapi jika kamu menolak, aku akan membagikan video ini sampai viral."
"Jangan!" 
"Hm, oke. Jadi, gimana? Kamu setuju, kan?"
Zidan menghela napas berat. Ia akhirnya menyetujui saja, jika tidak nama baiknya akan tercoreng dan akan berdampak pada perusahaannya. 
"Ya udah. Aku akan menerimamu dan mencoba buka hati untukmu."
"Begitu, dong!" ucap Sansan memeluk Zidan dari samping. Sebenarnya tujuan Sansan menjadi wanita penggoda di club ada alasannya. Akhirnya Sansan mendapatkan Zidan–suaminya sendiri—yang sekaligus bisa menjadi 'Bank Pribadinya' 
Sansan bukan matre, tetapi ia memang harus bisa mengumpulkan uang banyak. 
Menjadi seorang penggoda dengan suami sendiri tidak salah, bukan? Memoroti uang suami sendiri pun tidak akan jadi masalah.
***
Pagi pun kembali menyapa, tetapi Zidan belum juga terbangun dari tidurnya. Sansan jadi heran, biasanya Zidan sudah bersiap-siap dan sarapan di meja makan, tetapi sekarang suaminya itu masih bergulung selimut.
"Pak Zidan! Pak, bangun, Pak! Udah siang. Udah jam sepuluh, loh, ini!" teriak Sansan menarik selimut Zidan.
Sontak Zidan langsung membuka matanya. Apakah benar sudah pukul sepuluh? Berarti ia sudah terlambat! 
"Jam sepuluh?" tanya Zidan dengan suara yang masih parau.
"Iya, Pak. Kalo WITA. Kalo WIB masih jam sembilan, kok, Pak," ucap Sansan memberi alibi. Ia takut Zidan mengamuk.
"Anak kecil ...," dengkus Zidan. 
"Salah Pak Zidan, sih. Kenapa masih tidur jam segini? Emang Pak Zidan nggak ke kantor, apa?"
"Ya. Saya meetingnya jam sebelas. Tidak perlu buru-buru ke kantor."
"Tetap saja Pak Zidan tidak disiplin."
"Maksud kamu?" tanya Zidan tidak paham.
"Pasti karyawan Pak Zidan disuruh datang jam tujuh, tapi Pak Zidan sebagai boss seenaknya saja datang kapan saja. Tidak adil, Pak," oceh Sansan yang membuat telinga Zidan sakit, mana masih pagi, baru bangun pula, sudah diomelin saja.
"Sudah ceramahnya?"
"Sudah, Pak. Tapi kalau Pak Zidan mau nambah, boleh."
"Tidak usah. Saya mau mandi."
Zidan mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. 
***
"Zidan sudah bangun, Sayang?" tanya Nuni saat Sansan baru duduk di meja makan.
"Sudah, Nek."
"Tumben Zidan lama, ya, biasanya jam segini sudah di kantor."
"Katanya meeting siang, Nek. Jadi nggak usah buru-buru. Oh ya, Nek. Mama Wanti ke mana?"
"Ke pasar, beli bahan masakan."
"Ooh."
"Zid, Nenek boleh nanya?" Nuni jadi ragu mau bertanya.
"Boleh, dong, Nek."
"Kamu ... nggak mau nyari orang tua kamu lagi, Nak?"
Sansan terdiam dengan pertanyaan Nuni. Ia tidak tahu jika Nuni menanyakan hal tersebut.
"Eh, iya. Mas Zidan belum sarapan, aku panggil dulu ya, Nek!" ucap Sansan mengalihkan pertanyaan. Nuni tahu, jika Sansan tidak pernah suka ditanya mengenai orang tuanya. 
Sansan bangkit, pergi dari situ. Ia tak memanggil Zidan ke kamar, melainkan pergi ke taman belakang rumah, si sana suasana sejuk, tempat yang bagus untuk bersantai.
Sansan kembali mengingat memori dua tahun yang lalu, saat ia bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Ma ... Pa ... akhirnya aku ketemu kalian!" ucap Sansan senang. Ia pun hendak memeluk, tetapi ....
"Stop!" 
"Kenapa, Ma?"
"Sudah saya bilang. Jangan panggil saya Mama-mama. Terus, kamu pikir ini papa kamu, ha? Bukan! Papa kamu sudah mati bagi saya! Saya tidak kenal dia lagi. Jadi, jangan ingatkan saya dengan dia!" 
"Ya udah. Ak--aku hanya ingin memeluk Mama."
"Kamu tahu! Gara-gara kamu, karier saya hancur! Gara-gara kamu saya menderita! Semua gara-gara kamu. Sekarang, kamu pergi dari sini. Pergi! Jangan pernah muncul di hadapan saya lagi!" Wanita itu dengan teganya mendorong Sansan.
Ingatan itu kembali membuat air mata Sansan kembali jatuh di pelupuk matanya. 
"Kenapa nangis?" Sebuah suara langsung menghentikan tangisan Sansan. Ia segera menghapus jejak air mata itu dengan tangannya.
"Pak Zidan belum berangkat?" 
Zidan tak menjawab. Ia memilih duduk di samping Sansan.
"Ada apa? Apa yang membuatmu menangis?" tanya Zidan mengulang.
"Nggak pa-pa. Pak Zidan tidak usah kepo. Mending Pak Zidan berangkat sekarang, sebelum terlambat."
"Mau ikut ke kantor saya?" 
"Ha?"
"Mau ikut nggak?"
"Emangnya boleh?"
"Siapa yang melarang. Kalau mau ikut, siap-siap sekarang!" suruh Zidan.
"Eh, ini beneran, Pak?"
"Iya."
Sansan pun akhirnya bangkit dan berjalan ke kamarnya. Lebih baik ia ikut ke kantor bersama Zidan. Ia kan belum pernah ke sana. Namun, kenapa Zida tiba-tiba mengajaknya?
"Jangan lupa bawa jaket! Pulang nanti saya mau mengajakmu ke suatu tempat!" teriak Zidan dari luar.
Ke mana Zidan akan membawa Sansan? Lalu, ada apa di kantor Zidan? 
***
BERSAMBUNG
***
 
 
 

Komento sa Aklat (746)

  • avatar
    SaputriAprilia

    aduh ceritanya seru deh pake banget, plisss lanjut dong lagi,. bener" gue pantengin terus dah ini.

    22/12/2021

      0
  • avatar
    MaulaniAmalia

    Masya Allah😊

    12d

      0
  • avatar
    Mela Agustina

    bnyk plotwis nya bkin mewek tpi seruu bgtt🥹🤍

    22d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata