logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

CEMBURU

CHAPTER 9 CEMBURU
Rania sampai di kantor yang ditunjukkan oleh Arez tepat tiga puluh menit kemudian. Entah sudah berapa kali ia meminta abang ojol untuk mengebut di jalanan. Ia takut pria itu akan mengeluarkan kata-kata pedas level sepuluh jika dia terlambat sedetik saja. Dan kesalnya, ia tidak pernah bisa membantahnya. Ternyata jika dihadapkan oleh penguasa uang, terlebih penguasa itu adalah pria yang sudah membeli kebebasan dan tubuhnya, maka Rania hanya bisa bungkam.
Ia cukup sadar diri dengan apa yang akan menimpanya jika ia menentang Arez untuk saat ini.
Dengan langkah gontai, Rania berjalan memasuki kantor mewah itu. Ia sempat menganga lebar, menatap gedung pencakar langit dengan bangunan bertingkat yang lebih dari dua puluh lantai itu, dengan tatapan tak percaya. Tidak percaya akan menginjakkan kakinya di hotel berbintang lima yang bahkan harga sewa per malamnya lebih dari uang jajannya selama satu bulan.
Rania berjalan cepat melewati pintu masuk Hotel Kavindra. Rasa gugup membuat jemari Rania sedikit bergetar. Ini kali pertama dia menginjakkan kaki di hotel bintang lima tersebut. Berulang kali Rania meremas jemarinya kala sepatu platform warna hitam yang dikenakannya menggemakan suara yang khas saat beradu dengan lantai marmer di bawahnya.
“Selamat siang, Mbak. Saya Rania. Saya mau bertemu dengan Bapak Arez…,” cicit Rania berubah menciut ketika baru teringat jika dirinya bahkan lupa nama lengkap Arez.
Resepsionis cantik, yang masih muda itu tersenyum ramah. Namun mata curiganya dipenuhi tanda tanya, “Bapak Arez?”
“Iya, Bapak Arez, saya diminta datang ke hotel ini,” balas Rania gugup. Ia berusaha tersenyum seramah mungkin, namun ia tahu rasa gugupnya melebihi apapun. Senyum yang ia berikan pasti terlihat konyol dan memalukan .
“Apakah beliau pengunjung hotel? Berapa nomor kamarnya kalau saya boleh tahu?”
“Sa-saya juga tidak tahu. Dia pengunjung atau bekerja di sini.”
Resepsionis itu memutar bola mata saat mendengar jawabannya, “Kalau Anda juga bahkan tidak tahu, bagaimana saya bisa membantu?”
“Tapi ini benar Hotel Kavindra, ‘kan?”
“Iya benar.”
“Kalau tidak salah, nama Arez juga ada nama Kavindra.”
Resepsionis cantik itu menaikkan sebelah alisnya, terlihat tidak percaya dengan penjelasan Rania. “Bapak Alvarezy Kavindra Aiwin, maksud Anda?” ucapnya dengan nada sinis. Rasanya resepsionis cantik itu ingin tertawa saja, bagaimana mungkin gadis bau kencur di hadapannya itu ingin bertemu bos-nya? Jelas-jelas, Alfarezy tidak pernah bertemu dengan wanita di kantornya kecuali hanya untuk urusan pekerjaan.
“Iya. Benar! Alvarezy Kavindra!”
“Sorry, have you make an appointment to see Mr. Alvarezy?” tanyanya lagi dengan suara lembut yang terlatih.
“Belum,” jawab Rania cepat, “Tapi tadi dia yang menyuruh saya ke sini. Bisakah Anda memberitahunya?”
Sang resepsionis kembali tersenyum sinis, lantas berpura-pura sibuk dengan planner dan layar monitor komputernya, sebelum menjawab permintaan Rania.
“Baiklah, akan saya tanyakan apa beliau mau menemui Anda. Mr. Alvarezy sangat sibuk. Sebentar lagi beliau harus menemui perwakilan dari Malik’s Corporation itu yang saya dengar dari sekretarisnya.”
Rania tersenyum kecut mendengarnya. Ia terdiam, kemudian mengangguk pelan. Bertingkah seakan mengerti, padahal otaknya sedang mencerna keras atas jawaban yang diberikan sang resepsionis.
“Maaf siapa nama Anda?”
“Rania. Nama saya Rania Chantika.”
“Sir, Nona Rania ingin bertemu dengan Sir Alvarezy,” kata resepsionis itu melalui intercom ke asisten pribadi Arez.
“Antar dia ke ruang tamu pimpinan, Natasha,” perintah seorang laki-laki terdengar berat di intercom. “Biar aku hubungi Fira untuk menjemputnya.”
“But, Sir, tadi Ibu Fira mengatakan bahwa siapapun yang mencari—”
“Natasha!” ada nada tegas yang tidak dapat dibantah saat lelaki itu memanggil nama si resepsionis yang kini langsung menekuk wajah.
“Mr. Alfarezy sudah menunggu Nona Rania! Segera antar ke ruang tamu pimpinan!”
“Baik, Sir!” jawab Natasha enggan. Setelah menutup intercom wanita itu bangkit dari kursi. Matanya menatap Rania dengan pandangan seolah-olah ingin melumatnya.
“Saya diminta mengantar Anda. Silakan!” resepsionis cantik itu berjalan mendahului Rania sebelum mempersilakan gadis itu untuk mengikutinya menuju lantai teratas gedung ini. Mereka beriringan dalam diam dan Rania memilih menjaga jarak dan berjalan beberapa langkah di belakang wanita seksi itu.
Lift karyawan kosong pada pukul 10 pagi. Hanya ada resepsionis cantik itu dan Rania yang masih saling berdiri diam menatap pantulan banyangan mereka pada lapisan kaca elevator yang terus membawanya naik hingga lantai teratas gedung ini.
Belum sempat Rania berpikir siapa sebenarnya Arez, lift berdenting dan pintu otomatis terbuka.
Tanpa bicara sepatah kata pun, wanita cantik itu lantas keluar dari lift dan berjalan cepat membuka sebuah pintu yang paling dekat posisinya dari lift kemudian mempersilakan Rania masuk.
“Silakan ditunggu di sini, Nona. Sir Alvarezy masih ada meeting. Sebentar lagi beliau akan menemui Anda.”
“Terima kasih.”
“Apakah Anda ingin camilan atau minuman?”
Rania yang belum sempat makan apapun dari kampus lantas menjawab lugas, “Mau banget, Mbak. Saya sempat kehausan tadi saat naik ojol.”
Perempuan itu hanya mendengkus lalu mengangguk. Rania lagi-lagi hanya bisa tersenyum kecil seraya merapikan rambutnya yang kini ia gulung di bawah leher.
Sepeninggal perempuan itu, Rania segera menghempaskan tubuhnya di sofa empuk berwarna hitam panjang tanpa lengan. Menatap kagum pada keseluruhan ruangan yang mungkin bisa difungsikan sebagai ruang tamu atau ruang meeting sekaligus.
Dindingnya tampak teduh dengan warna broadwalk, kontras dengan sofa yang ia tempati berhadapan dengan dua buah club armchair warna senada dan ada sebuah meja kayu persegi berada di bagian tengahnya.
Beberapa pigura terpasang di dinding, menunjukkan berbagai foto hotel dengan nama yang sama. Jaringan hotel Kavindra memang sudah tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Setahu Rania, hotel ini pertama kali di bangun pada tahun 1970-an di Singapura, dan sekarang sudah merambah di Indonesia bahkan di beberapa negara Asia.
Merasa bosan, karena resepsionis tadi tak kunjung datang dengan minuman serta camilan yang dijanjikan, Rania keluar dari ruangan dengan diam-diam.
Gadis itu seketika terdiam ketika tiba di depan ruangan dengan pintu kayu bercat hitam –dengan tulisan Direktur Utama di atasnya, dan seorang wanita cantik keluar dari dalam ruangan.
Bukan wanita muda dan cantik itu yang membuatnya heran. Tapi masalahnya di sini, adalah penampilan wanita itu yang sedikit berantakan.
Rambut wanita itu yang ia tahu bernama Fira –dari nametag yang ada di dada kiri blazer wanita itu— sedikit acak-acakan. Bajunya kusut, dan lipstiknya sedikit belepotan.
Rania yang masih berdiri manis –di depan meja wanita cantik itu— meringis geli melihat Fira tengah sibuk merapikan rambut dan pakaiannya.
“Nona tamunya Pak Arez?” tanya wanita itu sambil merapikan pakaiannya dengan kikuk.
Bayangan aneh-aneh seketika menyita kesadaran Rania, “Ya.”
“Beliau sudah menunggu Anda,” ucapnya sambil menunjuk pintu bercat hitam di depannya, “Silakan masuk.”
Rania mengangguk lalu langsung menyeret langkah menuju ruangan Arez dan segera mendekati meja kerja pria itu.
Arez duduk di sana tanpa jas yang tadi pagi ia lihat menghiasi bahu lebar pria itu, tapi Rania tidak peduli.
“Ada apa menyuruhku ke sini?”
“Diam dulu,” Arez menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop. Rania yang merasa kehadirannya tidak dibutuhkan menggaruk tengkuknya sebelum kemudian memilih untuk berpamitan.
“Kalau saya mengganggu, saya bisa keluar dulu.”
“Duduk, Rania!”
“Tapi—”
Rania menelan kembali kalimat yang hendak ia lontarkan. Gadis itu sedang malas berdebat. Ia hanya berdexak lalu mengempaskan tubuhnya ke sofa tak jauh dari meja kerja Arez.
Tapi setelah sepuluh menit berlalu, Gadis itu kini meringis kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa. Dia sudah bosan bermain ponsel. Dan dia juga jengah jika hanya duduk diam di hadapan Arez yang masih fokus bekerja. Rania mulai gelisah, rasanya aneh jika harus berdiam diri dengan suasana canggung begini.
“Mas?”
Arez yang kini sudah menutup laptopnya bertopang dagu di atas buku-buku jari yang tergenggam, “Ada apa?”
“Kok malah tanya? Harusnya aku yang bertanya.”
Arez hanya melengkungkan bibirnya ke atas, “Kamu sudah makan?”
Rania menggeleng. Wajahnya berpaling ke arah almari yang ada di sebelah meja kerja Arez. Ia baru sadar buku-buku di sana berserakan di lantai.
“Wah! Parah!”
“Apa?”
“Ha?” Rania berpaling melihat Arez yang sudah menatapnya dengan tatapan menyelidik. Pria itu mengikuti arah pandang Rania sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Apanya yang parah?”
“Mainnya… Eh,” Rania menutup mulutnya. Rasanya ia ingin memotong lidahnya sendiri yang berucap tanpa kompromi.
“Mainnya?” pria dengan bola mata abu-abu itu berdecak. “Apa maksudmu dengan ‘mainnya’? Kamu sedang memikirkan apa?”
Arez berdiri, mendekati Rania yang langsung bisa menyerap maksud dari pertanyaan Arez.
“Kamu berpengalaman sekali, ya?”
Rania menelan salivanya susah payah. Ia menggeleng dengan tangan yang saling meremas satu sama lain.
“Nggak… nggak…”
“Bagaimana kalau kamu mencoba dan merasakan sendiri? Parah atau tidak permainanku?” Arez membuat gerakan tiba-tiba dengan menarik bahu Rania hingga dada gadis itu bertubrukan dengan tubuhnya yang keras. Kemudian tanpa ucapan apapun bibir pria itu membungkam bibir Rania yang terkatup lalu melumatnya dengan liar, sambil bergerak maju mendorong tubuh Rania hingga menubruk dinding di belakangnya.
Rania memberontak. Tapi tubuhnya yang kecil jelas tidak bisa lepas begitu saja dari kungkungan tubuh Arez.
Namun tak lama kemudian tiba-tiba saja pria itu melepaskan lumatannya lalu menatap Rania penuh intimidasi yang berbaur dengan gairah yang berkilat dari matanya, “Jangan pernah berpikiran yang anek-aneh. Sekretarisku hanya mencari data dan tidak bisa menemukannya hingga aku menendang almari itu karena kesal.”
Rania tanpa sadar mencondongkan tubuhnya ke arah Arez dan menatap lawan bicaranya lekat-lekat.
“Lalu rambut yang kusut dan lipstick yang berlepotan? Bukan karena dia terkena tentanganmu, bukan?” Rania menghela napas kasar. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Bibirnya terasa bengkak. Punggungnya terasa nyeri. Namun yang paling dipertanyakan adalah, mengapa hatinya terasa perih?
*****

Komento sa Aklat (1014)

  • avatar
    PatimahSiti

    oke

    12/08

      0
  • avatar
    SetyaY tri sunu

    bagus

    06/07

      0
  • avatar
    Seind Rz

    bagus

    23/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata