logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

PERTEMUAN

Rania mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja dengan gelisah. Restoran mewah ini tidak begitu ramai karena memang jam makan siang sudah lewat. Hanya ada beberapa orang yang terlihat mengobrol santai atau duduk seorang diri dengan laptop dan makanan serta minuman yang tersaji di atas meja.
Berulang kali Rania melirik ke arah ponselnya. Tidak ada notifikasi apapun yang masuk membuatnya mendengkus kesal. Ia berada di sini bukan untuk berniat makan atau sekadar duduk-duduk santai. Ia sedang menunggu seseorang. Seorang pria yang akan dikenalkan Sully kepadanya.
Rania meremas tangannya gelisah ketika mengingat percakapannya semalam saat pria itu menghubunginya.
“Saya Arez. Teman Bobby, cowoknya Sully.”
“I-iya. Sa-saya Rania.”
“Saya bisa bantu kamu, Rania.”
“B-bantu gimana, Om?”
“Saya bisa melunasi biaya kuliah kamu.”
“Benarkah?”
“Ya. Tapi ada syaratnya.”
“Apa?”
“Kamu jadi baby saya.”
“Baby? Tapi saya sudah dewasa, Om?”
Saat itu Rania termenung memikirkan baby yang dimaksud pria itu. Apa itu sugar babby? Seperti yang ia baca di novel-novel romantis milik Sully?
“Baby. Sugar babby.”
Tuh kan? Ternyata tidak ada yang gratis di dunia ini.
“Kamu mau?”
“Istri om gimana?”
Terdengar suara lelaki itu terkekeh pelan, “Saya lajang.”
Rania meremas jemarinya. “Tapi ini hanya sekadar status, kan? Kita hanya seperti orang pacaran? Ini tidak akan lama, hanya sampai saya lulus kuliah, kan, Om?” tanya Rania beruntun dengan bibir gemetar.
Gila.
Brengsek.
Sial.
Sully emang brengsek. Ternyata pekerjaannya ganti-ganti pacar adalah menjadi sugar baby. Pantas, mobil kekasihnya selalu ganti dan ponselnya selalu keluaran terbaru.
“Pacaran?”
“Ya.”
“Terserah kalau itu definisi kamu. Saya akan transfer malam ini untuk melunasi SPP kamu terlebih dahulu. Besok kita ketemu untuk membahas detail perjanjiannya.”
Rania menggelengkan kepala ketika lelaki itu menutup ponselnya. Perasaannya kalut. Tubuhnya merinding. Lelaki itu tidak mungkin memberinya uang cuma-cuma jika tidak ada imbalannya. Tapi belum sempat ia berpikir jernih, ia mendapat pemberitahuan kalau saldo rekeningnya bertambah dua puluh lima juta.
Mengingat semua itu seketika Rania bergidik. Tiba-tiba ponselnya berdering dan lamunannya buyar seketika. Nama ‘Om-om temannya Sully’ tertera di layar ponselnya, Rania langsung mengangkat panggilan tersebut dengan jantung yang berdebar-debar.
“Kamu dimana?” tanya suara berat di ujung telepon.
Rania menghela napas pelan. Belum apa-apa ia sudah merasa terintimidasi hanya dengan mendengar suara lelaki ini. Bagaimana dengan nanti?
“Sa-saya ada di meja nomor sepuluh,” jelasnya dengan terbata. “Saya memakai dress hijau bermotif—“
Tut-Tut-Tut
Rania mendelik, menatap ke arah ponselnya lalu mengumpat pelan. Dasar tidak sopan. Pria itu mematikan panggilannya begitu saja tanpa pemberitahuan.
Tidak berapa lama muncul sosok pria tinggi dengan kulit putih dan terkesan sangat bersih. Namun, pria itu masih meninggalkan kesan maskulin dan wajahnya tampak dingin.
Rania lagi-lagi merinding. Wajah tampan itu terlihat datar tanpa ekspresi. Baju slim fit-nya yang melekat sangat pas di tubuhnya membuat Rania harus menelan ludah berkali-kali. Terlihat seperti pegawai kantoran dengan jabatan tinggi, sangat tampan, mapan, dan juga elegan.
“Alvarezi Kavindra,” Pria itu mengulurkan tangan, mengajak Rania berkenalan, “Panggil saja, Arez.”
Rania bangkit dari duduknya lalu menyambut uluran tangan besar pria itu, “Rania Chantika,” jawabnya sopan sambil menganggukkan kepala lalu duduk kembali.
“Sudah pesan?” tanya suara bariton Arez dengan mata memicing menatap meja di depannya yang masih tampak kosong.
“Be-belum,” Rania menjawab dengan terbata. Entah mengapa berada di depan pria itu membuatnya sulit untuk bernafas. Ada sedikit rasa tertekan karena dia merasa pria itu terlalu sempurna. Pria itu juga terlalu dewasa dari segi usia. Mungkin dia berada di antara rentang usia 30-40 tahun. Entahlah. Namun sepertinya pria itu sangat menjaga tubuhnya, hal itu tampak dari betapa proporsialnya tubuh yang tercetak jelas dari kemeja slim-fit yang dia kenakan.
Tapi Rania tidak boleh gentar. Toh, pria itu temannya Bobby, cowoknya Sully, teman baiknya. Dan mereka hanya terikat asas simbiosis mutalisme, bukan perasaan atau melibatkan hati. Semua hanya tentang untung dan rugi.
“Kamu ingin makan apa?” suara rendah yang membuat hati siapa pun berdesir. Suara pria yang memiliki alunan tegas namun sensual. Rania berusaha menentramkan degup jantungnya sementara napasnya semakin menderu karena hati yang berkecamuk.
“Ter-terserah Om Arez,” Rania menelan ludahnya. Jujur saja, pria ini meninggalkan kesan misterius yang sangat kuat. Penampilannya saja mampu membuat Rania bingung. Melihat banyaknya benda mewah yang melekat pada tubuhnya membuat Rania menebak-nebak apa pekerjaan pria ini. Tidak mungkin dia hanya pegawai kantoran biasa seperti yang diceritakan Sully.
“Panggil saja saya, Arez,” ucap pria itu tegas. “Saya tidak menikah dengan tante kamu.”
Arez lalu memanggil pelayan dengan elegan. Memesan minuman dan berbagai jenis makanan yang membuat Rania melongo dengan besarnya digit angka dan simbol dollar di depan angkanya.
“Jadi, kamu mau dibayar berapa?” tanya Arez to the point.
Rania mendelik. Rasanya dia jengah mendengar ucapan Arez yang terlalu vulgar. Ia tidak sanggup mengangkat kepalanya karena malu dan salah tingkah. Meski, setelah transaksi dilakukan, itu berarti Arez punya segala hak untuk menerobos masuk ke dalam ranah pribadinya.
“Kenapa muka kamu merah padam seperti itu? Tulis saja berapa nominal angka yang kamu butuhkan,” Arez berkata datar tanpa rasa bersalah.
“Apa hal ini tidak bisa dibicarakan di tempat yang lebih privacy?” Rania berkata tanpa berani menatap wajah Arez walau jarak mereka cukup dekat.
Arez tertawa.
“Jadi kamu malu? Kenapa kamu lakukan ini kalau malu? Apakah ini pertama kali buatmu?” Aez terkekeh yang membuat pipi Rania nyaris semerah tomat.
“Oke lupakan ucapan saya,” Arez tiba-tiba kembali berbicara, kali ini tampak raut serius di wajah tampannya, “Kamu bisa menulisnya di kertas ini. Pengacara saya akan segera membuat perjanjiannya.” lanjutnya.
Dengan cemas pikiran Rania bekerja keras. Ia meraih bolpoin dan kertas yang disodorkan Arez lalu menuliskan sesuatu.
Tidak ada sentuhan fisik.
Jika ada sentuhan fisik maka pihak pertama akan membayar denda pada pihak kedua dengan aturan sebagai berikut.
Satu, pegangan tangan lima juta.
Dua, sentuhan sengaja sepuluh juta.
Tiga, sentuhan tidak sengaja dua juta.
Empat, ciuman dua puluh juta.
Lima, pelukan lima puluh juta.
Enam, hubungan badan 1M.
“Saya setuju,” jawaban Arez yang membuat mata Rania membola. “Tapi kita menikah.”
“Tidak… tidak. Saya masih terlalu muda.”
Arez tersenyum tipis, “Jika kamu menolak bisa kita batalkan perjanjiannya. Saya tidak yakin uang yang saya transfer semalam masih utuh,” Arez melontarkan kalimat sindiran dengan raut yang menyebalkan.
Rania hampir saja melempar vas bunga yang ada di atas meja ke arah wajah tampan pria itu. “Saya sudah gunakan untuk membayar SPP saya hari ini,” sungutnya dan dengan sengaja menekankan ucapannya.
“Oh, dan saya yakin kamu tidak bisa mengembalikannya sekarang,” reaksi Arez tampak biasa saja. Pria itu membiarkan beberapa pelayan meletakkan minuman dan beberapa makanan di atas meja.
“Apa pekerjaan, Om?” Rania bertanya pada Arez yang meliriknya sekilas.
“Apa itu penting?” Ada nada menyindir dalam nada bicaranya, “Bukankah yang paling penting seberapa besar saya menghargai jerih payah kamu?”
“Terserah,” ucap Rania sedikit jengkel.
Arez tertawa pelan, entah apa yang terdengar lucu. Pria ini sedikit sulit dan susah sekali untuk ditebak.
“Kamu mahasiswa? Di kampus mana?”
“Sama dengan Sully,” sahutnya pelan. Takut juga jika ada orang lain yang mendengar.
“Kapan kita akan mulai kerja sama?” tanya Arez kemudian seraya menatap Rania dengan alis terangkat.
“Terserah.”
“Bersiap-siaplah. Besok siang kamu harus sudah pindah ke apartemenku.”
“Kenapa saya harus pindah? Kita bisa janjian seperti ini jika ingin bertemu?” tolak Rania cepat. Yang benar saja? Dia harus tinggal satu atap dengan pria asing?
Arez hanya diam. Pria itu menyesap minumannya dengan tenang. Terkadang Rania tidak begitu paham dengan kepribadian pria ini. Sepersekian detik dia punya sisi menyebalkan kemudian dia berubah menjadi sosok yang tenang bahkan terkesan misterius.
“Kamu tidak berhak untuk menolak,” Arez mengeluarkan lembaran dollar dari dompetnya. Pria itu berdiri lalu menatap Rania lekat.
“Ini kartu nama saya. Datanglah ke alamat itu! Okey! See you,” pamit Arez sambil tersenyum manis.
Rania hanya diam memandangi punggung tegap Arez yang keluar dari restoran. Ada perasaan aneh yang membuatnya merasa sangat penasaran dengan sosok pria itu. Padahal selama ini ia biasa saja dengan banyaknya pria yang mendekatinya. Seolah-olah Rania menemukan sosok pria yang bisa menyelesaikan segala permasalahan hidupnya.
Ya, paling tidak, untuk saat ini ia tidak perlu memikirkan masalah uang kuliahnya dan semua kebutuhannya selama di Jakarta. Ia hanya perlu berdoa agar kedua orang tuanya tidak mengetahui apa yang ia lakukan sekarang. Harapannya saat ini hanya Arez seorang. Alfarezi Kavindra, pria yang bahkan belum sehari ia kenal. Tapi pria itu akan membawa perubahan masa depannya. Memuluskan cita-citanya sekaligus menghancurkan hidupnya.
*****

Komento sa Aklat (1014)

  • avatar
    PatimahSiti

    oke

    12/08

      0
  • avatar
    SetyaY tri sunu

    bagus

    06/07

      0
  • avatar
    Seind Rz

    bagus

    23/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata