logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 5 - Melihat Dunia Luar

Izin itu didapatkan setelah Raja Handaru mengultimatum bahwa jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan, maka kepala King Stephan akan berakhir dengan tebasan pedangnya. Raja Handaru menganggap King Stephan terlalu berani mengajukan permohonan itu hingga terkesan lancang.
Dengan setitik kemarahan yang tersulut, King Stephan berusaha membujuk dengan kalimat-kalimat persuasif. Ia berkata bahwa Putri Sophia butuh udara segar agar sang putri bisa memikirkan lamaran Raja Medina dengan kepala dingin. Hingga akhirnya Raja Handaru memberinya izin untuk membawa sang putri keluar dengan syarat-syarat tadi.
Putri Sophia yang duduk menyamping di atas kuda yang berlari melewati gerbang kerajaan, merasa sangat bersemangat. Sang putri bertanya dan menunjuk ini-itu. King Stephan juga bisa berdalih agar sang putri tak perlu dikawal banyak pengawal dan dayang atau dibawa dengan kereta. Sebab itu akan membuat mereka terlihat mencolok. Jadi kuda terbaik kerajaan menjadi alternatif lain.
“Bagaimana kau bisa membujuk ayahku?” tanya Putri Sophia.
“Melalui beberapa kesepakatan, Putri.”
“Kesepakatan apa?” Sang putri sedikit menoleh.
King Stephan yang sedang memacu kuda agar berlari tak terlalu kencang pun menunduk. Ingin sekali ia melepas cadar di wajah sang putri agar ia bisa menikmati kecantikannya.
“Anda tak perlu tahu.”
Putri Sophia tertawa, tawa pertama yang King Stephan dengar.
“Aku tak akan bertanya lagi dan aku berjanji akan bersikap baik.”
“Dan berjanjilah untuk beristirahat bila Anda merasa lelah.”
“Ya,” angguk Putri Sophia mantap.
King Stephan memacu kuda itu memasuki hutan. Putri Sophia nampak sangat senang menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba di dekat sebuah sungai dengan bebatuan besar, King Stephan menghentikan kudanya. Kedua mata Putri Sophia membelalak melihat keindahan di dalam hutan itu. Kedua tangannya berpegangan ke pundak King Stephan saat King Stephan mengangkat pinggangnya untuk menurunkannya dari kuda yang tinggi. King Stephan mengikat tali kekang kudanya ke salah satu pohon.
“Kau sering kemari?”
“Saya seorang pemburu. Hutan adalah rumah saya, Putri.”
“Wah, pasti menyenangkan sekali melihat ini setiap hari. Aku boleh ke sana?” tunjuk sang putri ke arah sungai.
King Stephan mengangguk. “Saya akan menunggu di sini sambil beristirahat.”
Tidak perlu menunggu lama sampai Putri Sophia tiba di tepi sungai dan mencelupkan kakinya di sana. King Stephan beranjak duduk di bawah pohon, bersandar tenang tanpa melepas pengawasannya. Sang putri terlihat seperti anak kecil. Begitu polos nan menggemaskan. Berbahagia hanya karena bisa memercikkan air ke wajah cantiknya. Oh, sang putri memang membuka cadarnya.
Tangan King Stephan terangkat membentuk pola acak di udara. Hasilnya, aliran air di sungai yang semula deras dan membuat Putri Sophia berdiri dengan goyang, kini agak tenang. Semakin jernih hingga Putri Sophia bisa melihat ikan-ikan kecil yang bermain di antara kakinya. Putri Sophia menoleh ke arah King Stephan dan tersenyum riang. Tanpa King Stephan sadari, sinar matanya melembut memandang sang putri.
“Zhafran! Kemarilah!” Sang putri memanggil.
King Stephan berdiri dan menghampirinya.
“Ada banyak ikan di sini. Mungkin di tengah sana ada yang lebih besar. Kau bisa menangkapnya?”
“Untuk apa, Putri? Di tengah sana, arusnya deras.”
“Jadi tak bisa?” Sang putri nampak kecewa. “Kupikir kita bisa membakar ikan di sini.”
“Bisa. Tapi Anda harus bersabar. Selagi saya menangkap ikan, Anda diamlah sebentar. Bagaimana?”
Putri Sophia tersenyum cerah dan mengangguk. Dengan cepat, ia sudah duduk di atas batu besar di sana. King Stephan melangkah ke dalam hutan untuk mencari kayu yang bisa dipakainya untuk menangkap ikan. Sekembalinya ia dari hutan dengan sebilah kayu yang bisa dijadikannya alat untuk menombak ikan, ia dikejutkan karena Putri Sophia tak ada di mana-mana.
King Stephan melempar tombaknya ke tanah dan berteriak memanggil, “Putri Sophia!”
Sang raja muda memfokuskan pikiran demi mendengar sedikit saja suara keberadaan sang putri. Ia yakin tak ada yang membuntuti atau mengawasi mereka tadi. Ke mana perginya Putri Sophia? Mengapa Putri Sophia tak mematuhi perkataannya untuk diam menunggu?
Rahang King Stephan terkatup rapat karena sikap sang putri hari ini mengusik emosinya. Terkadang ia tak menyukai seorang pembangkang. Namun, bisa saja bukan, bahwa Putri Sophia diculik dan bukannya pergi dengan sendirinya? Kesadaran itu menyentak King Stephan pada kecemasan. Putri Sophia jelas buta tentang wilayah sana, bagaimana jika sang putri bertemu orang jahat?
“Ah!” Rintihan yang terdengar membuat King Stephan mendatangi asal suara secepat yang ia bisa.
Putri Sophia terduduk sambil memegangi kakinya di antara akar-akar pohon tinggi dan besar. Melihat tak ada orang lain di sekitar sang putri, King Stephan menghirup napasnya dalam-dalam. Mendengar keberadaan seseorang, Putri Sophia menoleh. Air menggenangi matanya karena luka di siku. Melihat sang pengawal yang menghampirinya dengan langkah tegas dan tatapan menghunus bak ujung pedang, membuat Putri Sophia gentar.
“Zhafran, aku—”
King Stephan menginterupsi dengan meletakkan sepasang lengannya masing-masing di belakang lutut dan punggung Putri Sophia, kemudian mengangkat tubuh sang putri ke gendongannya dan berjalan meninggalkan tempat itu dalam diam.
Putri Sophia merasakan kemarahan yang disembunyikan. Ia menyadari kesalahannya yang sudah ingkar janji untuk bersikap baik. Tiba-tiba saja ia takut ulahnya membuat Zhafran tak mau mengajaknya keluar lagi.
King Stephan mendudukkan Putri Sophia di atas batu besar. Ia meraih lengan sang putri, menyingkap gaunnya dan memeriksa lukanya dalam diam. Keterdiaman yang tak biasa hingga membuat Putri Sophia gelisah.
“Zhafran, aku hanya—”
King Stephan melempar pandangan tajam yang seketika membuat Putri Sophia terhenyak. Bukan jenis pandangan sopan seperti yang biasa ia terima dari sang pengawal, namun jenis pandangan yang melukiskan riak emosi.
“Aku hanya mengejar kelinci tadi,” bisik Putri Sophia sambil menunduk. “Di istana tidak ada hewan semacam itu. Jadi aku....” Suaranya tercekat.
“Anda tahu apa yang akan terjadi jika Anda hilang? Apakah Anda mengenali daerah ini? Bagaimana jika seseorang berbuat jahat?” tanya King Stephan beruntun.
“Kupikir itu akan baik mengingat ayah tidak—s-sakit,” rintih sang putri karena King Stephan mencengkram pergelangan tangannya.
“Anda harus berhenti memikirkan hal itu,” ujar King Stephan dingin. Ia membilas siku Putri Sophia dengan air. Lalu merobek bagian bawah gaun sang putri yang membuat Putri Sophia ketakutan, lantas membebat luka di sikunya dengan robekan gaun tersebut.
“Kita kembali.”
Putri Sophia yang diangkat kembali dalam gendongan King Stephan, lantas meronta. Ia tak mau pulang sekarang. Masih terlalu sebentar ia melihat keindahan di dunia luar istana. Dan yang paling ia takutkan, Zhafran tak mau mengajaknya keluar lagi.
“Anda bisa membuat kita jatuh, Putri,” tegur King Stephan, berhenti di sebelah kudanya.
“Aku tidak mau pulang!” jerit Putri Sophia saat King Stephan hendak menaikkannya ke punggung kuda.
King Stephan menunduk, mendapati kedua mutiara Putri Sophia memandangnya dengan mata berkaca-kaca sekaligus marah. Putri Sophia kembali meronta hingga King Stephan mau tak mau harus menurunkannya. Sang putri berlari menjauh masuk kembali ke dalam hutan.
“Kau pergilah. Katakan pada ayah bahwa aku sudah mati.”
Benar-benar menguras emosi. King Stephan menghela napas kasar. Jangan sampai ia juga berbuat kasar pada Putri Sophia. Tapi sikap Putri Sophia saat ini sungguh menjengkelkan. King Stephan bukan tipe orang yang bisa sabar dalam jangka waktu lama.
Putri Sophia masih berlari ke dalam hutan meski tak tahu arah. Ia kesal bukan main. Pengawalnya sudah memperlakukannya dengan kasar dan tak sopan. Memang benar dirinya salah. Namun tak bisakah Zhafran bersikap lebih lembut? Putri Sophia sampai dibuat ketakutan.
Suara geraman membuat Putri Sophia membeku di tempat. Ia menoleh, membelalak dan pucat melihat seekor hewan dengan tubuh besar bercorak loreng, tengah mendekat seperti pemangsa.
“Z-Zhafran....” Putri Sophia melangkah mundur. Hewan buas itu semakin mendekat, ketika telinganya mendengar geraman lagi, air matanya tumpah.
Putri Sophia membalikkan badan dan berlari, “Zhafran!” panggilnya panik. Ia tak tahu arah. Ia tak tahu di mana Zhafran ditinggalkannya tadi. Geraman hewan itu sekali lagi membuat wajahnya banjir oleh air mata.
Putri Sophia tersandung, sudah akan jatuh andai seseorang tak menangkapnya. Orang itu, pengawalnya sendiri.
“Zhafran!” seru Putri Sophia, segera menghambur memeluk pengawalnya dan menangis keras.
King Stephan diam dengan ekspresi datar. Ia melihat harimau yang membuat Putri Sophia ketakutan. Tangannya yang sudah siap dengan panah, terangkat. Ia tarik anak panahnya dan mesat tepat di tubuh besar harimau tersebut.
Putri Sophia masih menangis. Sungguh ia ketakutan. Dalam bayangannya, hewan tadi memakan kepalanya hingga berpisah dari tubuhnya. Lantas mengoyak tubuhnya sampai ia hancur berdarah-darah. Imajinasi itu terlalu mengerikan untuk dipikirkan. Namun apalah daya sang putri yang bahkan tak pernah melihat seekor kelinci di istana.
King Stephan memegang pundak Putri Sophia yang masih menangis meredakan ketakutannya. Ia memberi dorongan kecil namun Putri Sophia enggan melepaskan belitan lengannya. Hela napas kasarnya terdengar lagi. Dengan sekali sentak, ia memanggul Putri Sophia di pundak. Sontak membuat tangis sang putri berhenti namun ia tetap diam tanpa meronta meski perlakuan pengawalnya sudah kuranh ajar. Setidaknya ia aman bersama Zhafran.
Lagi-lagi King Stephan menurunkan Putri Sophia di atas batu. King Stephan berjongkok di hadapannya, memberi pandangan dingin. Putri Sophia menunduk dengan jemari bertaut.
“Maaf,” lirihnya penuh penyesalan. “Aku masih ingin di sini. Aku takut kau tak mau mengajakku keluar lagi.”
“Jika sekali lagi Anda kabur, saya tidak akan mengejar apalagi menyelamatkan. Saya tidak peduli jika Anda mati.”
Putri Sophia mengangguk pelan. King Stephan berdiri untuk mengambil kayu yang tadinya akan ia jadikan alat menombak ikan. Lalu kembali dan mulai berusaha untuk mencari dan menangkap ikan-ikan yang Putri Sophia inginkan.
Dari kecil, ayahanda tidak pernah mengekang King Stephan. King Stephan memiliki banyak teman di desa dan sering bermain di sungai. Ia memiliki waktu bermain yang cukup, dan bisa membaginya dengan jadwal belajar. Menangkap ikan seharusnya bukan masalah besar. Dengan elemen air yang dimilikinya, ikan-ikan itu akan diam di dalam air dan King Stephan tinggal mengambilnya. Namun bila itu dilakukannya sekarang, sudah pasti terlihat aneh di mata Putri Sophia.
“Kau marah?” Tiba-tiba saja sang putri sudah di sebelahnya, memandangnya dengan lugu.
“Seharusnya Anda bisa berpikir dewasa.”
“Aku menyesal, Zhafran. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Tapi berjanjilah bahwa kau tetap akan menemaniku bermain di luar.”
Oh, tentu saja sang putri berjanji bukan karena telah melakukan kesalahan. Namun karena takut tak bisa bermain di luar lagi. King Stephan menyimpan dengusan ketika kepalanya mengangguk.
Senyum Putri Sophia merekah. “Bolehkah aku mencoba menangkap ikannya?”
King Stephan memberikan kayunya agar Putri Sophia bisa menggantikannya. Saat itulah ia gunakan kekuatan elemen airnya agar sang putri tidak kesulitan. Putri Sophia memekik riang begitu berhasil menangkap seekor ikan.
“Hebat,” puji King Stephan.
Senyum Putri Sophia melebar. “Aku senang melakukannya. Kau pergilah mencari ranting dan aku akan menangkap ikan-ikan ini. Kali ini aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
Mendengar kalimat terakhir itu, King Stephan menuruti permintaan sang putri. Ia pergi mencari ranting di dekat sana dan mengumpulkannya tidak jauh dari sungai. Tidak lama kemudian, sang putri menyusul dengan tiga ekor ikan yang berhasil ditangkapnya.
“Bagaimana cara kita menghidupkan apinya?”
Sebenarnya King Stephan tinggal menjentikkan jarinya. Tapi agar semuanya terlihat alami, King Stephan menggunakan batu untuk membuat api. Putri Sophia memerhatikan dengan tertarik. Ketika api itu melalap ranting menjadikannya arang berwarna merah, ia mulai memanggang ikannya.
Putri Sophia memerhatikan ikan yang dipanggangnya. Warna ikan itu perlahan berubah. Aroma sedapnya mulai tercium samar.
“Kupikir aku lebih senang hidup di luar daripada di istana,” lirih Putri Sophia menyuarakan pikirannya, ia mendongak dan bicara lagi. “Apakah kita bisa keluar lagi nanti?”
“Entahlah, Putri.” King Stephan kembali pada kesopanannya.
“Aku ingin pergi ke rumahmu.”
“Rumah saya hanya gubuk kecil biasa, Putri. Anda tak akan suka berada di sana. Kayunya sudah lapuk dan udaranya pengap.”
“Tidak apa-apa.”
“Jaraknya jauh dari sini. Sekembalinya ke istana nanti mungkin sudah malam. Saya akan mengajak Anda ke rumah saya, tapi tidak sekarang.”
“Baiklah.” Putri Sophia menghela napas kecewa. “Tapi berjanjilah bahwa itu secepatnya.”
King Stephan mengangguk setuju. Jika hari ini mereka kembali tak sesuai titah Raja Handaru, maka akan sulit membawa Putri Sophia untuk melihat dunia luar lagi.
Putri Sophia memakan ikannya yang sudah matang dengan mencubitnya sedikit demi sedikit dan hati-hati. Di istana, makanan disiapkan oleh para pelayan. Putri Sophia hanya tinggal duduk dan makan. Sensasinya berbeda dengan yang dirasakannya sekarang. Ia menangkap ikan sendiri, memanggangnya sendiri lalu memakannya. Rasanya sangat menyenangkan.
Usai menghabiskan ikan-ikan itu, Putri Sophia mencuci tangannya di sungai. King Stephan berjongkok di sebelah sang putri.
“Pakai kembali cadar Anda.”
“Sebenarnya aku tak suka memakainya.” Putri Sophia berdiri dan mengambil cadar yang ditinggalkannya di atas batu dengan menahannya menggunakan batu kecil agar tak terbang. “Tapi ayah memaksaku.”
“Memang sebaiknya Anda menggunakannya untuk meminimalisir ancaman.”
Putri Sophia memasang cadarnya lagi. “Jadi kita harus kembali sekarang?”
“Ya.”
Putri Sophia menghela napas berat. Masih tak rela meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tak punya pilihan lain. Jadi hanya bisa patuh saat King Stephan menaikkannya ke atas kuda.
“Aku senang akhirnya ada yang mau memahami diriku,” ujar sang putri pelan saat King Stephan menarik tali kekang kuda besar berwarna hitam itu.
“Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan keinginannya, Putri.”
“Orang tuamu pasti mendidikmu dengan sangat baik. Aku senang bisa berteman denganmu, Zhafran.” Kepala Putri Sophia bersandar begitu saja. “Anginnya sejuk sekali.”
Setelahnya, Putri Sophia tak bicara apa pun. Sang putri rupanya tertidur. King Stephan sedikit menunduk. Sebelah tangannya melingkari pinggang sang putri guna memperbaiki posisi mereka. Hingga mereka tiba di istana, sang putri masih terlelap damai.
***

Komento sa Aklat (238)

  • avatar
    AhkamAqila

    Sangat menarik! Penulisannya rapi, alurnya teratur, dan diksinya beragam. Sangat nyaman untuk dibaca dan dinikmati sembari bersantai👍🏻 Best of luck, author!

    20/01/2022

      1
  • avatar
    Nur Ellie Syafiqa Iqa

    👍🏻.... 💞

    28d

      0
  • avatar
    AlexAlex

    nice story

    11/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata