logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 3 - Elemen Penyembuh

Putri Sophia duduk di bingkai jendela besar kamar peraduannya. Termenung dengan menatap tanaman-tanaman yang telah berbunga. Istana itu seperti sangkar emas bagi dirinya si burung kecil. Ia tak pernah ingin terlahir sebagai seorang putri—tidak karena kebahagiaan tak pernah dirasakannya. Menjadi rakyat jelata dengan keluarga petani sederhana mungkin lebih baik.
Angin menerbangkan helai rambut panjangnya. Mata sang putri terpejam. Andai ia adalah angin, sudah tentu akan bisa ia mengarungi dunia. Bukannya terjebak di dalam sangkar emas. Benar pintu sangkar terbuka, namun gerakannya tetaplah terbatas. Putri Sophia hanya bisa berjalan di sekitar Paviliun Timur, tempat tinggalnya. Itupun dengan diikuti beberapa dayang dan juga pengawal.
King Stephan melihat sang putri dari sudut lain. Jenderal Maddhika berada di sebelahnya. Mereka memandang ke arah yang sama. Sebenarnya King Stephan merasa sedikit penasaran dengan Putri Sophia. Sang putri selalu termenung, nampak sangat terbebani dengan entah apa hal tersebut, King Stephan tak mengetahuinya.
“Dia selalu terlihat muram,” gumam King Stephan tanpa mengalihkan pandangannya.
“Saya dengar dari pelayan di bagian dapur, Sang Putri memang diperlakukan berbeda.”
“Berbeda bagaimana maksudmu?”
“Ampun, Yang Mulia. Raja membatasi ruang gerak Putri Sophia. Sebab Sang Putri memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Menurut saya, mungkin sang putri merasa terkekang.”
“Begitu,” gumam King Stephan.
Putri Sophia jelas tak pernah terlihat bahagia. Sebagian cadar memang menutupi wajah hingga King Stephan tak bisa melihat ekspresinya. Namun dari kedua matanya, King Stephan bisa menilai bahwa sang putri selalu berduka.
Derap langkah terdengar. Baik King Stephan maupun Jenderal Maddhika, menggeser tubuh untuk menepi dan sedikit membungkuk atas rasa hormat terhadap raja yang berjalan ke arah mereka diikuti oleh dua orang pelayan. Rupanya sang raja berhenti di depan King Stephan.
“Zhafran.”
“Saya, Yang Mulia.” King Stephan mengangguk sopan.
“Mengapa kau tak menjaga Putri Sophia dan malah berkeliaran di tempat ini?”
King Stephan tidak pernah diperintah sebelumnya. Semua orang tunduk patuh padanya, mereka bicara sambil membungkuk dan dengan nada penuh penghormatan. Ketika diposisikan diri menjadi bawahan, King Stephan yang temperamental merasa tersinggung. Beruntunglah dengan cepat bisa menguasai diri.
“Ampun, Yang Mulia. Putri Sophia meminta saya untuk menjaga dari jauh.”
“Begitu?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Baiklah,” angguk sang raja, memandang ke arah jendela peraduan putrinya yang terbuka lebar, tempat Putri Sophia duduk dan melamun. “Sekarang katakan padanya bahwa aku menunggunya di ruang jamuan. Ada tamu untuknya.”
“Baik, Yang Mulia.”
Sang raja pun berlalu. King Stephan kembali ke posisinya semula.
“Sebaiknya kau tidak sering-sering menemuiku kecuali ada hal penting yang bisa kau laporkan, Jenderal.”
“Baik, Yang Mulia.”
King Stephan melihat ke arah Putri Sophia. Kebetulan saat itu sang putri juga tengah melihat ke arahnya. Lalu dengan gerakan perlahan, sang putri turun dari bingkai jendela itu dan menutup jendelanya rapat-rapat. King Stephan melangkah pergi, hendak menyampaikan amanah raja kepada sang putri.
Dua pengawal yang menjaga di depan pintu peraduan sang putri, mengangguk kecil padanya. Bagaimana pun, King Stephan dikenal sebagai pengawal utama Putri Sophia. Dengan kata lain pangkatnya lebih tinggi dari mereka.
King Stephan mengetuk pintu. “Saya Zhafran, Putri.”
“Masuk.”
King Stephan mendorong pintu itu terbuka dan masuk. Ia membungkukkan punggungnya sopan.
“Ada apa?”
“Raja Handaru meminta Anda datang ke ruang jamuan, Putri.”
Putri Sophia menghela napas pelan. Tahu begitu saja bahwa ayahnya tidak semata-mata ingin bertemu dengannya. Tapi akan ada hal penting yang ayahnya bicarakan padanya. Putri Sophia tidak boleh menolak, perintah raja adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Jadi ia berjalan mendahului King Stephan.
“Katakan pada mereka untuk tidak mengikutiku, Zhafran.”
King Stephan mengulang permintaan sang putri ke arah para pengawal. Kemudian diikutinya sang putri dari dekat. Sang putri berbeda dari para saudara-saudaranya. Pakaian Putri Sophia hanya gaun sederhana berbahan ringan. Warna-warna pastel adalah kesukaannya. Tidak ada pernak-pernik apapun yang menghiasi selain tiara yang dipasang di kepalanya.
Tiba di ruang makan, King Stephan berdiri di belakang tempat Putri Sophia duduk. Ada seorang tamu di sana. Dari penampilannya, King Stephan berasumsi bahwa lelaki itu adalah keluarga raja. Atau mungkin seorang raja.
“Tidakkah lebih baik Putri Sophia melepaskan cadarnya, Yang Mulia?” ujar tamu raja.
Meski Putri Sophia menangkap keberadaan lelaki itu, sang putri bergeming. Apapun yang terjadi, cadar itu tak akan dilepaskannya. Apalagi di depan orang asing. Sang putri bahkan tidak repot-repot menyapa sopan.
“Berikan salam, Sophia. Tamu kita adalah Raja Medina. Dan, lepaskan cadarmu.”
King Stephan memandang tamu raja. Raja Medina, raja dari Kerajaan Magenta. Letaknya di luar Negeri Zouphirrow. King Stephan hanya mendengar selentingan kabar tentangnya. Bahwa Raja Medina memiliki banyak istri, sering menikahi gadis-gadis muda demi memuaskan hasrat binatangnya.
“Selamat sore, Yang Mulia.” Sang putri menyapa datar tanpa melepas cadarnya.
Terlihat Raja Medina mengamati sang putri dengan mata kurang ajarnya, penuh minat. Penasaran dengan wajah di balik cadar tersebut. Mungkin ini bukan kali pertama sang putri dihadapkan pada situasi seperti ini, pikir King Stephan. Sebab sang putri terlihat sudah sangat terbiasa.
“Raja Medina datang dengan tujuan mulia, Putriku. Dia ingin meminangmu.”
Putri Sophia lantas memandang ayahnya, “Kali ini dengan alasan apa, Ayah? Dia memberimu separuh dari wilayah kekuasaannya?”
“Sophia, jaga bicaramu.”
Putri Sophia membuang muka. Pandangannya beralih ke arah Raja Medina yang diam dan tampak marah. Raja Medina sudah cukup tua, mungkin seperempat abad lebih tua dari Putri Sophia. Sang putri melempar pandangan mencemoohnya.
“Dan Anda, Yang Mulia. Sudahkah Anda bercermin sebelum datang kemari?”
Mata Raja Medina melebar marah.
“SOPHIA!” Teriakan murka sang raja menggelegar. “Sampaikan permohonan maafmu sekarang juga!”
Putri Sophia berdiri. “Maaf,” tukasnya lalu pergi dari sana.
“Apa-apaan ini, Raja Handaru? Putrimu menginjak-injak harga saya!”
“Maafkan putri saya, Yang Mulia. Saya akan memberinya pengertian. Tolong, jangan anggap ini sebagai penolakan.” Raja Handaru berkata-kata menenangkan, lalu menoleh ke arah King Stephan. “Zhafran, pastikan putriku tiba di kamarnya.”
Adalah pengusiran halus. King Stephan yang sejak mendengar maksud Raja Medina datang ke sana adalah hendak menyunting Putri Sophia, ikut merasa geram. Bagaimana mungkin Raja Medina begitu percaya diri ingin menyunting Putri Sophia yang masih muda? Dan bagaimana mungkin Raja Handaru bersikap tak bijaksana sama sekali?
King Stephan mengejar langkah sang putri dengan cepat. Putri Sophia terlihat sangat kacau. Langkahnya terburu-buru, bahkan sampai sedikit mengangkat gaunnya. Sang Putri pun masuk ke ruang peraduannya. King Stephan menyusul di belakang, tidak peduli meski sang putri belum membolehkannya masuk.
Putri Sophia menekuk lututnya di atas lantai dan terduduk di sana. Tangis pelannya terdengar samar.
“Ini sudah kesekian kalinya,” ujar Putri Sophia di sela isakannya. “Aku tahu ayah ingin aku segera keluar dari kerajaan ini. Selama ini ayah mempertahankanku hanya karena aku berbeda.”
“Ampun, Putri. Raja Handaru pasti ingin yang terbaik untuk Anda. Anda tak seharusnya berpikiran buruk tentang beliau.” King Stephan menenangkan meski menyetujui sebagian dari perkataan Putri Sophia. Apa Raja Handaru sudah gila ingin memberikan putri bungsungnya kepada raja kurang ajar itu?
“Tahu apa kau?!” raung Putri Sophia, berdiri dan melangkah cepat menuju meja. Ada pisau buah di sana. Ia menggenggamnya, memutar badan dan mendekat ke arah King Stephan dengan mata merahnya.
“Apa yang hendak Anda lakukan, Putri Sophia? Letakkan pisaunya.”
“Akan kutunjukkan mengapa ayah mengurungku selama ini,” tutur sang putri datar.
King Stephan pikir Sang Putri akan menyakiti dirinya sendiri. Karena itu, ketika Putri Sophia mengayunkan pisau itu untuk menusuknya, ia tak sempat menghindar. Tak hanya sekali, tapi dua, tiga, Putri Sophia menusuk King Stephan sambil menangis. Dan akhirnya, King Stephan berhasil menangkap tangan sang putri. Namun tubuhnya sudah lemah. Sang Putri ikut meluruh bersamaan dengan tubuh King Stephan yang ambruk.
Kesadaran King Stephan masih tersisa dalam usahanya untuk menyembuhkan diri dengan kekuatan elemen di dalam tubuhnya. Ia mendengar sang putri tersedu-sedan, sangat terguncang. Lalu pendar cahaya yang sangat terang membuat mata King Stephan terpejam. King Stephan tersentak kuat. Sakit di bagian tubuhnya yang ditusuk oleh Putri Sophia kian mereda dan perlahan hilang.
King Stephan membuka kedua matanya. Cahaya itu sudah tidak seterang tadi. Betapa terkejutnya ia melihat apa yang tengah Putri Sophia lakukan. Cahaya itu berasal dari tangan sang putri yang terarah pada luka di tubuhnya. King Stephan memandang wajah sang putri yang kali ini tidak bercadar, cadarnya entah ke mana. Rambut sang putri berubah warna menjadi keperakan. Ada corak hitam yang menghiasi pelipis hingga pipinya.
Kekuatan apa ini?
King Stephan sudah tak merasakan sakitnya lagi begitu cahaya dari tangan sang putri lenyap. Corak yang merambati pelipis hingga ke pipi Putri Sophia, menghilang bersama dengan warna rambutnya yang kembali ke asal.
Sang putri melemas, King Stephan dengan segera bangkit dan menangkapnya.
“Itulah mengapa ayah masih menahanku,” bisik Putri Sophia. “Jika aku tak memiliki keanehan ini, pasti ayah sudah membuangku.”
Tidak. Itu bukanlah keanehan. Putri Sophia memiliki kekuatan hebat. Sebuah elemen penyembuh. Mungkin ini jawaban dari perasaan aneh ketika tempo hari ia menyentuh tangan Putri Sophia. King Stephan memiliki empat yang lain, dan elemen penyembuh, akan membuatnya sempurna. King Stephan memandang wajah sang putri yang pucat. Untuk pertama kalinya ia melihat wajah itu secara langsung.
Putri Sophia memiliki bibir tipis, hidung mungil. Wajahnya sangat cantik. Detik ketika sang putri benar-benar hilang kesadaran, detik itu pula King Stephan memutuskan bahwa ia telah menemukan calon permaisurinya.
***

Komento sa Aklat (238)

  • avatar
    AhkamAqila

    Sangat menarik! Penulisannya rapi, alurnya teratur, dan diksinya beragam. Sangat nyaman untuk dibaca dan dinikmati sembari bersantai👍🏻 Best of luck, author!

    20/01/2022

      1
  • avatar
    Nur Ellie Syafiqa Iqa

    👍🏻.... 💞

    28d

      0
  • avatar
    AlexAlex

    nice story

    11/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata