logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

MPH, 3

Pagi harinya.
Semalaman Zea hanya menangis sambil membenamkan wajahnya di dalam bantal. Dia tahu, dia salah. Tetapi sang ayah memperlakukannya seolah seorang penjahat.
"Zea," Dewi mengetuk-ngetuk pintu kamar putrinya. "Teman kamu ada di bawah, Nak. Dia mencarimu."
Teman? batin Zea bingung. Siapa dari teman-temannya yang datang sepagi ini? Sangat jarang para temannya berani mengunjungi rumahnya akibat sikap tegas sang ayah. Pasti mereka, entah cewek atau cowok, akan diinterogasi Arya sebelum menemuinya.
“Iya, Bu ... “ sahut Zea lesu. Dia segera turun dari kasur, membasuh wajahnya sebelum pergi membuka pintu.
“Ada apa, Bu?"
"Teman kamu ingin bertemu denganmu, Sayang, dia sudah menunggu di bawah bersama Ayah."
Zea menghela napas berat. "Ayah?" ulangnya malas. Orang itu pasti jenuh dan tegang karena harus berurusan dengan ayahnya yang akan disodorkan dengan beragam pertanyaan.
"Aku turun dulu, ya, Bu." Zea meninggalkan Dewi dan turun ke bawah untuk menemui temannya.
Zea sangat penasaran, siapa di antara teman-temannya yang berani menemuinya hingga ke rumah.
Langkah Zea terhenti saat berada di ujung tangga bawah. Ia melongo syok hingga mematung tak percaya.
"Ke-kevin?"
Arya dan Kevin langsung menoleh pada Zea.
Pria itu tersenyum kaku. "H-hai, Zea."
"Sini, Nak,” pinta Arya.
Zea berjalan mendekati Arya dan Kevin, lalu duduk di samping ayahnya.
"Ke-kevin ....”" Zea masih terperangah menatap pria itu. “Apa yang kamu inginkan, sampai tiba-tiba datang ke sini?” tanyanya setengah memprotes.
Kevin tersenyum manis.
"Dia mau mengajakmu makan siang," jelas Arya singkat. "Kamu mau atau tidak?"
"Ma-maksud Ayah?!" tanya Zea syok.
"Kamu mau atau tidak?" ulang Arya tegas.
"Memangnya Ayah mengizinkanku pergi?" tanya Zea kaget.
"Tentu saja. Kalau Ayah tidak izinkan, mana mungkin Ayah bertanya padamu 'mau atau tidak'?" tegas Arya.
Zea mengangguk cepat. "Mau, Ayah!"
"Ya sudah, sana, cepat siap-siap. Malu kalau keluar belum mandi."
"Baik, Ayah." Zea tersenyum bahagia pada Kevin sekilas sebelum bergegas pergi ke kamarnya.
***
Arya dan Dewi mengantarkan Zea dan Kevin hingga ke teras rumah.
"Ingat. Kamu harus menjaga putri saya baik-baik. Jangan sampai lecet sedikit pun. Paham?" tegas Arya.
Kevin mengangguk sopan. "Baik, Om. Saya berjanji."
"Zea harus pulang jangan sampai lewat dari jam enam sore," tambah Arya.
"Baik, Om."
"Ya sudah, pergilah. Hati-hati di jalan."
***
"Bagaimana bisa kamu mendapatkan izin dari ayahku dengan begitu mudah?"
Kevin dan Zea duduk berhadapan di salah satu kafe yang cukup ramai.
Kevin terkekeh kecil. "Entahlah, aku tadi hanya berniat menjelaskan soal kemarin, alasan kenapa kamu pulang sampai larut malam. Lalu, aku meminta izin untuk mengajakmu makan siang, ayahmu pun mengizinkannya."
"Semudah itu?" Zea ternganga lebar.
Kevin mengangguk kecil. "Kenapa, Zea? Kok kamu sampai kaget?" tanyanya heran.
Zea menghela napas berat, langsung teringat kembali semua kelakuan Arya pada teman-temannya. "Ayahku sangat tegas, bahkan tidak membiarkanku berteman atau pergi dengan sembarang orang. Makanya, setiap kali temanku datang, entah pria atau wanita, ayahku pasti langsung menginterogasi mereka. Dan, dia sendiri yang memutuskan apakah bisa mengajakku keluar atau tidak," keluhnya.
Kevin mendengar curahan hati Zea penuh perhatian. "Sepertinya kamu tidak suka dengan sikap ayahmu, ya?"
Dengan hati berat, Zea mengangguk pelan. "Ya, begitulah …."
Kevin tersenyum lembut. "Apa kamu tahu? Itu adalah tanda bahwa dia sangat menyayangimu, Zea. Hargailah cintanya. Tidak ada satu orang tua pun di dunia ini yang mau anaknya salah pergaulan."
"Tapi, apakah harus teman-temanku sampai diinterogasi segala, Kev?" protes Zea jengkel, meluapkan seluruh unek-uneknya yang selama ini terpendam. "Aku juga sudah dewasa. Aku bisa memutuskan mana yang baik dan yang jahat bagi diriku sendiri."
Kevin menatap mata Zea lembut. "Apa kamu sadari, banyak anak-anak di luar sana yang mau diperlakukan seperti kamu, Zea?"
Zea tertawa hambar. "Itu tidak mungkin! Apalagi di zaman modern seperti ini, semua anak muda suka kebebasan."
"Buktinya aku."
Zea langsung terdiam seribu bahasa. Ia menatap Kevin bingung cukup lama. Terpancar kesedihan yang terperangkap dari sorot matanya.
"Ma-maksud kamu?" tanya Zea hati-hati.
"Aku ingin diperlakukan seperti anak-anak lain yang memiliki orang tua lengkap." Kevin menghela napas berat dan perlahan menunduk dalam. "Tapi, rasanya semua itu hanyalah mimpi."
Zea tertegun, ikut merasakan luka yang sangat mendalam dari setiap kalimat Kevin. "Maaf ... kalau boleh aku tahu, orang tua kamu ke mana, Kev? Tinggal di luar negeri?"
Kevin terkekeh, terdengar miris. "Kalau di luar negeri, mungkin aku masih punya harapan untuk bertemu dan diperhatikan mereka."
Zea mengernyit, kalimat Kevin makin sulit dijabarkan.
"Aku dibesarkan di panti asuhan, Zea."
Zea melongo syok. Dia langsung membeku seperti diguyur air es. Apa? Yatim piatu?!
"Aku tidak tahu siapa orang tuaku sejak aku lahir di dunia ini," lirih Kevin sedih.
Zea bergeming. Ya ampun, aku tidak menyangka bahwa Kevin menyimpan kisah sekelam ini.
"Karena itu," Kevin tersenyum penuh arti. "kamu bersyukurlah karena masih memiliki orang tua yang sangat menyayangimu. Aku senang karena kamu tidak merasakan seperti yang aku alami, yaitu dibuang seperti sampah."
Zea meraih tangan Kevin di atas meja dan menggenggamnya. "Maafkan aku, Kev. Seharusnya aku tidak menceritakan masalahku padamu."
Kevin menggeleng cepat sambil tersenyum. "Kamu sama sekali tidak perlu minta maaf, karena kamu tidak salah."
***
Matahari mulai tenggelam. Langit perlahan berubah kuning telur.
Kevin dan Zea berjalan beriringan menyusuri taman yang dipenuhi orang tua, yang sedang menemani anak-anak mereka bermain.
"Maaf ya, Zea. Aku hanya bisa mengajakmu makan di kafe kecil." Kevin terkekeh kecil, malu.
Zea lantas menjawab, "Kamu bicara apa, sih? Tidak perlu meminta maaf, Kev. Aku suka makan di mana pun. Bahkan di warung pinggir jalan."
Kevin tersenyum manis. Ponsel di sakunya berdering nyaring.
"Tunggu sebentar, ya," Pria itu menatap Zea sekilas sebelum mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Tertera nama "Tias" di layar ponsel.
"Halo, Tias? Ada apa?"
'Kevin, tolong bantuin gue, dong, lo buruan ke sini. Gue lagi ditilang polisi karena lupa bawa SIM.'
Kevin berdecih kesal. "Lo gimana, sih? SIM aja lupa dibawa," omelnya.
Zea bisa mendengar suara seorang gadis dari ponsel Kevin.
"Ya udah, gue ke sana!" Kevin langsung mematikan teleponnya.
Kevin tersenyum tak enak pada Zea. "Maaf ya, Zea. Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan jalan-jalan kita lagi, karena aku harus pergi sebab ada urusan mendadak."
"Tidak masalah, kok." jawab Zea.
"Ayo, aku akan antar kamu pulang."
"Tidak apa-apa, Kevin. Kamu pergi saja. Aku bisa pulang sendi—"
"Jangan!" sergah Kevin cepat. "Aku harus mengantarmu pulang karena aku sudah berjanji pada ayahmu."
"Tapi kamu sedang ada urusan lebih penting lagi, kan?"
"Sebenarnya tidak terlalu penting, kok. Masih ada waktu untuk mengantarmu pulang," terang Kevin sambil tersenyum.
Pipi Zea memerah, jantungnya berdegup kencang. Selain baik dan perhatian, Kevin juga merupakan pria yang bertanggung jawab.
"Ayo."
Zea mengangguk. Keduanya kembali ke tempat parkir.
***
Mobil rental Kevin berhenti tepat di depan lobi rumah Zea sebelum jam empat sore. Sesudah mematikan mesin mobil, Kevin segera melepaskan sabuk pengamannya dan hendak turun.
"Kamu langsung pergi saja, Kev. Biar aku yang sampaikan salam kamu sama Ayah."
"Tapi aku harus pamit sama ayahmu dulu."
"Nggak apa. Nanti biar aku yang bilang kalau kamu punya urusan mendadak. Kasihan teman
lama-lama ditilang polisi." Zea tersenyum.
Zea kemudian keluar dari mobil. “Kalau begitu, aku masuk dulu, ya.”
***
Tbc

Komento sa Aklat (32)

  • avatar
    PutriAmelia

    sangat bagus

    08/08

      0
  • avatar
    IrawanFahri

    bagus

    20/06

      1
  • avatar
    KhusnulDinda

    bagus baget

    07/06

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata